Pond Naravit tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah gara-gara kopi tumpah.
Serius. Satu gelas iced latte di tangan, dan nasibnya langsung jungkir balik.
Pagi itu, ia datang ke kafe langganan di dekat kampus. Di sana, seperti biasa, ada mahasiswa yang sibuk dengan laptop, ada yang lagi baca buku, dan ada satu orang yang mencuri perhatiannya sejak beberapa minggu terakhir: Phuwin, barista baru yang selalu tersenyum ramah.
“Pagi, Kak Pond! Mau pesen yang biasa?” sapa Phuwin sambil menata gelas.
“Wah, kamu hafal juga,” jawab Pond sambil tersenyum.
“Ya iyalah, pelanggan tetap harus dihafal, dong.”
Pond pura-pura batuk kecil, menutupi wajahnya yang tiba-tiba panas.
Senyum Phuwin terlalu manis buat ukuran jam 8 pagi.
---
Setelah menunggu beberapa menit, Phuwin datang membawa pesanan. Tapi di detik yang sama, ada anak kecil berlari dan—Braak!—gelas kopi Pond terjatuh, isinya tumpah ke celana jeansnya.
“Aduh!!” Pond berdiri panik.
Phuwin langsung meraih tisu. “Ya ampun, maaf banget! Aku nggak sengaja—eh bukan aku sih, tapi—ya pokoknya aku minta maaf!”
Pond hanya bisa tertawa. “Santai, santai, bukan kamu kok yang nabrak.”
“Tapi aku yang merasa bersalah! Sini, aku bantu bersihin—eh, maksudnya, aku ambilkan lap!” Phuwin bicara terlalu cepat, lalu kabur ke belakang kasir dengan wajah merah.
Beberapa pelanggan menahan tawa melihat barista yang biasanya tenang itu mendadak panik total.
---
Sepuluh menit kemudian, Phuwin kembali membawa celana training hitam dari loker staf.
“Nih, buat ganti dulu. Celanamu basah banget.”
Pond menatapnya heran. “Kamu nyiapin cadangan buat pelanggan juga?”
Phuwin menunduk. “Nggak juga... ini punyaku. Tapi udah dicuci kok!”
“Jadi aku harus pakai celanamu?”
“Daripada celana basah, kan?”
Mereka berdua saling menatap — lalu tertawa.
Dan entah kenapa, mulai hari itu Pond datang ke kafe setiap pagi. Bukan cuma buat kopi, tapi buat lihat barista yang katanya “gugup cuma kalau ketemu pelanggan tetap.”
---
Seminggu kemudian, Pond datang lagi.
Phuwin sudah hafal langkah kakinya bahkan sebelum melihat wajahnya.
“Mau pesen yang biasa?”
“Nggak,” kata Pond, tersenyum misterius. “Hari ini aku mau sesuatu yang beda.”
“Oh? Mau ganti menu?”
“Enggak. Aku mau ngajak baristanya jalan.”
Phuwin hampir menjatuhkan cangkir yang sedang dia pegang.
“A-APA?”
Pond menyandarkan dagu di meja. “Aku cuma mau ngobrol di luar kafe, bukan di balik mesin espresso.”
Phuwin terdiam beberapa detik, lalu menjawab, “Tapi... aku masih kerja.”
“Yaudah, aku tunggu sampe tutup.”
“Serius?”
“Serius banget.”
Dan Pond benar-benar menunggu. Dari jam 5 sore sampai lampu kafe mulai diredupkan jam 9 malam, ia duduk sambil main HP, kadang melirik ke arah Phuwin yang sibuk mencatat pesanan. Tiap kali pandangan mereka bertemu, Phuwin pura-pura fokus ke mesin kopi lagi.
---
Begitu semua pelanggan pulang, Phuwin akhirnya keluar dengan tas kecil.
“Kamu beneran nunggu?”
“Katanya kopi terbaik itu yang diseduh dengan sabar,” jawab Pond sambil tersenyum.
Phuwin tak bisa menahan tawa. “Dasar tukang gombal.”
Mereka jalan kaki ke taman kampus yang sepi. Angin malam lembut berhembus, dan lampu jalan berkelip redup.
“Jadi... kamu suka ngopi tiap hari?” tanya Phuwin.
“Dulu iya. Sekarang sih, kopinya udah kalah manis sama baristanya.”
Phuwin menatapnya tidak percaya. “Kamu selalu ngomong kayak gitu ke semua orang, ya?”
“Enggak. Cuma ke kamu.”
Hening sejenak.
Phuwin berusaha menahan senyum tapi gagal. “Kalau aku bales, kamu jangan geer ya.”
“Coba aja.”
“Kalau aku bilang, kamu pelanggan paling ngeselin tapi paling aku tunggu tiap hari?”
Pond terdiam sebentar, lalu tertawa pelan.
“Berarti kita imbang.”
---
Sejak malam itu, Pond bukan cuma pelanggan tetap, tapi alasan tetapnya Phuwin tersenyum setiap pagi.
Setiap kali Pond datang, Phuwin pura-pura mengeluh,
> “Kamu lagi?! Jangan salahin aku kalau kopi kamu kebanyakan gula.”
Dan Pond akan menjawab,
> “Gapapa, aku suka yang manis — kayak kamu.”
Sampai suatu hari, Phuwin menggambar hati kecil di atas busa latte dan menatap Pond dengan senyum tipis.
> “Kali ini bukan salah kirim pesanan, ya.”
Pond menatap cangkir itu lama, lalu mengangkatnya.
> “Kalau gitu… aku minum tanda cintamu dulu, barista favoritku.”
Phuwin memutar bola matanya sambil tertawa.
> “Astaga, Pond. Gombal terus gak capek?”
“Capek sih… tapi kalau hasilnya bisa bikin kamu senyum, ya worth it.”
---
Tamat.
☕💗
(Cinta itu kadang datang lewat kopi yang tumpah dan senyum yang gak sengaja terbaca terlalu lama.)
---