Bisikan semesta terdengar halus ditelingaku, kulitku yang merasakan kehadirannya. Dingin sudah menembus kain yang membalut tubuhku. Lelah itu pasti. Tetapi itu tak membuat ku beranjak dari teras rumah untuk masuk kedalam dan segera tidur. Aku masih setia menatap atap semesta yang mungkin ada ratusan meter jaraknya dari tempat ku duduk.
Lentera malam bertaburan menghiasi atap semesta, dilengkapi dengan rembulan yang sempurna memeluk malam. Sepertinya langit malam ini penuh dan terisi banyak cahaya. Berbeda dengan raga yang didalam nya hanya ada ruang tanpa ada penerangnya, tak bisa dijangkau oleh siapa pun.
Waktu terus berjalan, terlalu cepat berlalu. Tetapi, aku masih tersesat di tempat yang sama. Semua orang mendengar tawaku, melihat senyumku, dan ketenangan ku tanpa ada yang tahu betapa sunyi dan berantakan ruang didalam nya.
Bahagia ini terasa asing. Terakhir kali aku merasakannya adalah ketika bahagia iti masih milikku, jauh sebelum segalanya berakhir.
“Kakak, ini udah tanggal septembel belum?” ucapku polos, sambil memainkan boneka kesayangan.
“September, Dek. Itu bulan, bukan tanggal,” jawab Kak Ulan, kakak perempuanku, sambil tersenyum geli.
“Kapan Nala ulang tahun? Nala nggak sabar mau ngerayain bareng Mama sama Papa,” kataku dengan logat yang belum terlalu lancar.
“Bentar lagi, kok. Tunggu aja empat hari lagi,” katanya sambil mengusap kepalaku.
“Asiiik! Bental lagi aku ulang tahuuun! Yeeeeee!” teriakku sambil melompat kegirangan.
Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Aku masih ingat jelas malam ketika aku tak sengaja mendengar pertengkaran Mama dan Papa. Mama menangis, sementara Papa berteriak. Dengan polosnya aku ikut berteriak, “Papa jahat!” tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Besoknya, tepat di hari ulang tahunku yang kelima, datang seorang wanita paruh baya. Ia mengaku sebagai istri pertama Papa, dan menyebut Mama sebagai perebut suami orang.
Setelah hari itu, segalanya berubah. Pertengkaran demi pertengkaran tak pernah berhenti. Hingga akhirnya, tak lama setelah ulang tahunku yang kelima, Mama dan Papa memutuskan untuk berpisah.
Aku yang masih kecil tak benar-benar mengerti arti kata “cerai.” Yang kupahami hanya bahwa Papa tak lagi tinggal di rumah, dan malam-malamku menjadi sunyi tanpa suara tawa mereka.
Namun setahun kemudian, dunia kecilku runtuh lagi. Mama memelukku erat-erat suatu pagi, matanya basah oleh air mata yang berusaha ia sembunyikan.
“Naraa sayang… ikut Papa dulu, ya. Mama bakal jemput Nala nanti,” ucapnya lembut, suaranya bergetar.
Aku mengangguk, percaya. Dalam pikiranku yang polos, aku yakin Mama hanya pergi sebentar. Tapi hari-hari berubah menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Mama tak pernah datang.
Aku tumbuh bersama Papa yang tak pernah menyebut nama Mama lagi. Setiap kali aku bertanya, jawabannya selalu sama.
“Papa nggak tahu, Ra. Mama entah di mana sekarang, " Papa menjawab dengan nada malas seakan tidak mau ditanya tentang itu lagi.
Ketika aku masuk sekolah dasar, aku mulai belajar menggambar , aku sering datang ke perpustakaan sekolah bukan untuk membaca buku pelajaran aku lebih suka membaca cerita dongeng disana.
Aku masih ingat bagaimana api di halaman rumah itu menelan sampul warna-warni yang selama ini jadi pelarianku. Cerita-cerita yang menemaniku tidur, tokoh-tokoh yang membuatku tersenyum, semuanya berubah menjadi abu.
Aku hanya bisa berdiri memeluk tas sekolahku, menahan napas agar tangisku tidak terdengar.
“Kenapa buku Nara dibakar…?” suaraku kecil, hampir tak terdengar, tapi aku tetap bertanya.
Mama sambungku menoleh dengan tatapan sinis, seolah aku hanyalah beban yang tak pernah ia inginkan. “Siapa yang izinkan kamu membeli barang-barang nggak berguna itu?” katanya sambil menyibak rambutnya dengan angkuh. “Belajar saja yang benar. Syukur saya masih mau sekolahin kamu!” Ucapannya seperti cambuk yang mencabik bagian paling lembut dalam diriku.
Aku ingin membela diri bahwa aku menabung dari uang jajanku sendiri, bahwa aku tidak pernah minta apa-apa selain buku kecil itu. Tapi aku tahu, percuma. Sekali aku membuka mulut, ia akan memutarbalikkan segalanya. Dan Papa… aku sudah tahu jawabannya.
Setiap kali aku mencoba bercerita, Papa hanya menghela napas panjang, lalu menatapku seolah akulah sumber masalah di rumah ini.
“Sudahlah, Ra. Jangan buat masalah,” katanya sambil mengibaskan tangan.
“Kamu itu sensitif banget. Mama itu maksudnya baik.”
Baik. Aku tersenyum pahit dalam hati. Kata yang begitu asing bagi perempuan itu.
Sejak saat itu, aku belajar menelan semuanya sendiri. Kata-kata kasar, tuduhan, perlakuan tak adil. Setiap luka baru rasanya seperti potongan puzzle yang melengkapi alasan kenapa aku semakin jarang bicara. Kenapa aku lebih nyaman menunduk. Kenapa aku merasa ada ruang kosong di dada yang tak pernah bisa penuh, meskipun aku mencoba mengisinya dengan menggambar dan membaca.
Aku tumbuh menjadi anak pendiam bukan karena aku tidak punya suara—tapi karena setiap kali aku mencoba bersuara, suaraku selalu dibungkam, dipatahkan, atau dianggap tidak penting. Dan tanpa kusadari, masa kecilku perlahan membentuk siapa aku kini: seseorang yang belajar memeluk dirinya sendiri, karena tak ada yang melakukannya untukku.
Aku belajar menahan rindu. Menahan perih. Menyimpan jutaan pertanyaan tanpa jawaban. Hingga aku lulus sekolah menengah atas, Mama tetap tak pernah muncul, bahkan hanya untuk sekadar melihat aku tumbuh.
Angin malam menyentuh kulitku, membuatku tersadar. Aku mengusap pipi, menghapus sisa air mata. Cukup. Kenangan itu tak seharusnya mengikatku lagi. Rindu ini tetap ada, tapi bukan untuk ditujukan. Ia hanya menetap, seperti bintang-bintang yang tak pernah lelah berkelip meski tak ada yang benar-benar melihatnya. Dan mungkin… di balik langit yang luas ini, Mama juga sedang menatap langit yang sama, entah dimana.