Kabut tipis masih menggantung di atas perbukitan saat suara seruling bambu terdengar lembut dari arah lembah. Nada-nadanya merambat di udara pagi yang sejuk, melewati pepohonan meranti dan sungai kecil yang mengalir jerhutan.
Itulah Lembah Hijau, salah satu lembah di pedalaman Kalimantan Timur, tempat warga hidup sederhana dari ladang dan hutan.
Di padang rumput seorang anak gembala bernama Sam duduk di batu besar bersama teman-temannya. Di tangannya tergenggam seruling bambu peninggalan Datuk Angguk, kakeknya yang dulu di kenal sebagai pemimpin desa. Seruling itu terbuat dari bambu.
Seruling itu sederhana, dibuat dari bambu dengan ukiran motif Dayak di ujungnya. Namun bagi Sam, benda itu sangat berharga. Kakeknya pernah berkata, "Seruling ini bukan hanya alat musik," kata Datuk Angguk suatu sore sebelum meninggal. "Ia adalah suara hutan. Kalau kau tiup dengan hati yang jernih, angin akan menjawab, dan hutan akan tahu siapa yang masih menjaganya."
Sam selalu mengingat kalimat itu. Setiap pagi, ia meniup seruling di tepi padang rumput tempat ia menggembala. Nada-nadanya menyatu dengan suara alam. Burung-burung kadang terbang rendah, seolah ikut mendengarkan, dan suara air sungai seakan menyesuaikan iramanya. Warga desa pun senang mendengarnya. Suara seruling Sam menjadi tanda hari yang damai di Lembah Hijau.
Sam juga selalu di puji oleh orang-orang desa bukan karena dia adalah cucu dari tetua adat, tapi karena sikapnya yang ramah dan gemar membantu orang-orang.
Namun kedamaian itu mulai terusik ketika suatu pagi, deru mesin mobil besar terdengar di jalan tanah desa. Sekelompok orang kota datang mengenakan rompi bertuliskan nama perusahaan tambang. Mereka membawa peta, alat ukur, dan menancapkan bendera kecil berwarna oranye di beberapa titik tanah.
"Tempat ini punya cadangan batu bara yang besar sekali," kata salah satu dari mereka. "Kalau proyek ini berhasil, desa kalian akan makmur. Kami akan buat jalan, listrik, dan sekolah baru."
Beberapa warga yang belum paham tentang tambang tampak senang. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih mudah. Tapi sebagian lain, terutama para tetua, justru diam dan saling pandang. Mereka tahu, jika tambang dibuka, maka hutan, sungai, dan ladang mereka akan hancur.
Sam dan teman-temannya berdiri di tepi jalan, menatap alat-alat berat yang masuk. la menggenggam serulingnya erat, dadanya sesak. la tahu betul bahwa lembah itu bukan sekadar tanah dan pohon, melainkan sumber kehidupan. Di sanalah padi tumbuh, air mengalir, dan hewan mencari makan. Jika lembah itu rusak, desanya akan kehilangan napasnya.
Malam pun tiba, Sam duduk di tepi sungai. Bulan separuh memantul di permukaan air. la meniup serulingnya pelan. Nada-nadanya lirih, seperti bisikan doa yang melayang bersama kabut malam. Suara itu membuat angin berhenti sejenak, dan air sungai beriak lembut.
Beberapa warga yang mendengar dari kejauhan berhenti bekerja dan menatap ke arah lembah. "Itu suara seruling Datuk Angguk," bisik seorang nenek. "Mungkin hutan sedang menangis."
Keesokan harinya, Petinggi Leman, tetua adat yang menggantikan Datuk Angguk, memanggil semua warga ke balai adat. Wajahnya yang sudah keriput menggambarkan beratnya tanggung jawab yang ia pikul.
"Kita tidak bisa mengusir mereka dengan kekerasan," katanya pelan. "Tapi kita punya cara sendiri. Cara yang diajarkan leluhur dengan hati yang bersih dan doa yang tulus."
la lalu memutuskan untuk mengadakan upacara Balian, ritual adat untuk memohon restu dan perlindungan roh penjaga hutan.
Persiapan pun dimulai.
Para perempuan menyiapkan sesajen dari beras kuning dan menyiapkan tarian tradisional, sementara para laki-laki menata gong dan gendang di balai.
Sam duduk di tengah lingkaran itu dengan serulingnya. Saat upacara dimulai, tabuhan gong bergema, diikuti lantunan doa dalam bahasa Dayak yang kuno. Sam mulai meniup serulingnya kali ini dengan hati penuh harap. Nada-nada lembut itu berpadu dengan suara mantra, mengalun seperti bisikan yang memanggil roh hutan.
Angin tiba-tiba berembus kuat. Daun-daun bergetar, api obor menari-nari, dan beberapa warga meneteskan air mata tanpa sadar. Seolah alam mendengar.
Berita tentang ritual itu menyebar ke luar desa. Wartawan dari kota datang meliput, menulis tentang perjuangan masyarakat adat yang melindungi alam dengan cara damai. Beberapa hari kemudian, surat keputusan datang. Proyek tambang di Lembah Hijau ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan.
Warga bersorak gembira, tapi Sam hanya tersenyum kecil. la tahu perjuangan belum selesai. Namun malam itu, ia meniup serulingnya lagi di bawah langit berbintang. Suaranya tak lagi sedih, melainkan lembut dan penuh rasa syukur.
Seiring berjalannya waktu, Lembah Hijau kembali tenang.
Teman-temannya sering mendatangi Sam untuk belajar meniup seruling. la mengajarkan mereka bukan hanya cara memainkan nada, tapi juga bagaimana menghormati alam dan menjaga warisan leluhur.
"Seruling ini bukan sekadar bambu berlubang," katanya suatu sore. "la mengingatkan kita untuk hidup selaras dengan alam. Kalau kita mendengarkan dengan hati, alam akan selalu menjawab."
Dan setiap pagi, saat kabut turun perlahan dan burung-burung mulai bernyanyi, suara seruling bambu kembali terdengar dari bukit kecil di tepi lembah. Suara itu tidak hanya menceritakan tentang seorang anak gembala, tapi juga tentang kearifan manusia yang tahu cara mencintai alam tanpa merusaknya.