Hari ini adalah hari ke-7 setelah aku resmi menjadi istri dari seorang pria yang selama ini aku pikir adalah jawaban dari segala doa panjangku—Raka. Aku masih bisa merasakan aroma bunga melati yang menempel di rambutku saat pernikahan, masih bisa mendengar suara tawa para tamu yang memuji betapa serasinya kami. Tapi ternyata, seminggu pernikahan cukup untuk menghapus semua bayangan indah yang dulu aku simpan dengan harapan.
Pagi ini aku bangun dengan semangat yang entah datang dari mana. Aku ingin memasak untuk suamiku—ya, sesuatu yang belum pernah kulakukan seumur hidup. Bukan karena aku anak orang kaya yang selalu disiapkan segalanya, bukan. Aku hanya... malas. Dulu aku selalu beralasan tidak bisa, tapi mungkin sebenarnya aku hanya tidak mau. Namun hari ini berbeda. Aku ingin mencoba. Aku ingin membuat sesuatu yang bisa membuat suamiku tersenyum dan berkata, “Istriku hebat.”
Setelah menelusuri YouTube, aku menemukan resep sederhana: tumis jamur enoki telur.
“Ah, ini gampang,” gumamku kecil sambil mengikat rambut dan mengenakan apron bergambar bunga sakura—hadiah kecil dari ibu sebelum aku menikah.
Aku menyalakan kompor, menumis bawang putih hingga harum, memasukkan jamur dan telur dengan penuh semangat. Tanganku gemetar, bukan karena takut, tapi karena ini pertama kalinya aku benar-benar merasa menjadi seorang istri. Saat aroma tumisan memenuhi dapur, aku membayangkan Raka tersenyum bangga, memuji hasil masakanku. Hati kecilku mekar seperti bunga yang menanti matahari.
Setelah selesai, aku menuang masakanku ke dalam mangkuk putih besar. Warnanya cantik, harum, dan aku yakin rasanya pun akan lumayan untuk ukuran pemula. Aku menaruhnya di meja makan, lalu pergi mandi sebelum Raka pulang dari kantor.
Air dingin mengalir di tubuhku, membawa rasa lega. Aku berulang kali tersenyum membayangkan wajah Raka mencicipi masakanku. Ah, betapa bahagianya menjadi istri yang dicintai dan dipuji karena perhatian kecil seperti ini.
Tapi semua kebahagiaan itu berhenti tepat ketika aku keluar dari kamar mandi.
Mangkukku... hilang.
Aku menatap meja makan kosong. Tidak ada tumisan jamur. Tidak ada aroma sedap yang tadi memenuhi ruangan. Hanya kesunyian dan rasa cemas yang tiba-tiba menyergap.
Aku melangkah ke arah dapur dengan langkah ragu. Lalu terdengar suara panggilan:
“Dera!”
Aku menoleh. Itu suara Mbak Rini, pembantu yang sudah bekerja di rumah ini jauh sebelum aku datang. Wajahnya terlihat kaku, seolah menahan sesuatu.
“Itu… masakanmu, ya?” katanya pelan, menunjuk ke arah teras belakang.
Aku berjalan mendekat. Dan di sanalah aku melihatnya—masakanku, berserakan di tanah, mangkuknya pecah, minyaknya berceceran.
Tanganku refleks menutup mulut. Ada rasa panas yang naik ke mata. Aku menatap kekacauan itu dengan napas memburu.
“Siapa… siapa yang melakukan ini?” suaraku bergetar.
Mbak Rini menunduk lama sebelum menjawab lirih, “Bu Wina, Non.”
Aku terdiam. Bu Wina. Mertuaku.
Wanita yang seminggu ini terlihat begitu lembut, tersenyum manis di hadapanku, memanggilku “Nak” dengan nada keibuan. Wanita yang memelukku di hari pernikahan dan berbisik, “Selamat datang di keluarga kecil kami.”
Rupanya semua itu hanya topeng.
Langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Aku menegakkan tubuhku. Mertua ku datang, mengenakan daster hijau dengan perhiasan berkilau di tangan. Senyumannya kali ini berbeda. Dingin.
“Oh, Dera,” katanya dengan nada ringan, “Ibu cuma khawatir Raka sakit perut. Masakanmu belum tentu bersih, kan? Baru pertama kali masak, ya?”
Aku mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Bu… saya sudah cuci semua bahan. Saya… saya cuma ingin—”
“—menyenangkan suamimu?” potongnya cepat. “Nak, di rumah ini, cukup aku yang tahu cara menyenangkan anakku.”
Kata-katanya menampar lebih keras dari apapun. Dunia seolah berhenti sesaat. Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Seketika, segala semangat yang tadi pagi menyala berubah jadi abu.
Aku menunduk, berusaha menelan luka. “Saya minta maaf, Bu. Saya tidak bermaksud—”
“Sudahlah,” katanya lagi sambil berjalan menuju ruang tamu. “Lain kali, serahkan saja urusan dapur ke Mbak Rini. Ibu nggak mau rumah ini berantakan karena eksperimenmu.”
Mbak Rini menatapku dengan wajah iba. Aku hanya bisa menggeleng pelan, lalu berjongkok memunguti sisa masakanku satu per satu. Tanganku bergetar. Setiap pecahan mangkuk seperti cermin dari hatiku yang retak.
Raka pulang tak lama kemudian. Ia memeluk ibunya lebih dulu. Aku berdiri di sudut, menatap mereka dari jauh.
“Sayang, kamu masak hari ini?” tanyanya sambil tersenyum padaku.
Aku terdiam. Mertuaku menepuk pundaknya dan berkata cepat, “Ibumu buatin sup ayam kesukaanmu. Enak, loh. Istrimu belum sempat belajar masak, kan?”
Aku menatap wajah Raka yang hanya tertawa kecil, seolah tak menyadari apa yang terjadi.
“Oh, gitu ya. Ya sudah, makasih, Ma.”
Lalu ia mencium pipi ibunya, tanpa sadar menghancurkan sedikit sisa harga diriku yang masih tersisa.
Malam itu aku menangis dalam diam. Raka tertidur di sebelahku, kelelahan setelah makan malam yang katanya “enak banget, kayak masakan Mama.”
Aku menatap langit-langit kamar yang asing. Dulu kupikir pernikahan adalah rumah untuk dua hati yang saling memilih. Tapi ternyata, aku hanya tamu yang diterima dengan senyum sementara.
Keesokan harinya, aku tetap bangun pagi. Bukan untuk memasak, bukan untuk menunjukkan sesuatu. Aku hanya ingin melihat sisa-sisa semangatku di dapur. Tapi begitu masuk, aku mendengar suara tawa lirih dari arah belakang.
Bu Wina sedang menumis sesuatu. Aromanya sama—jamur enoki dan telur.
“Pagi, Bu,” sapaku pelan.
“Oh, Dera. Lihat, Ibu masak tumis jamur enoki. Anak Ibu suka banget ini. Katanya kemarin pengen, tapi gak jadi makan. Kasihan, kan?”
Aku hanya berdiri diam. Ia menatapku dengan senyum tipis yang tak lagi bisa kusebut manis.
“Lain kali, kalau mau masak,” katanya sambil menatap tajam, “belajar dulu yang benar. Jangan bikin rumah ini malu.”
Aku menunduk. Hatiku penuh sesak. Tapi entah kenapa, di balik semua luka itu, ada satu tekad kecil tumbuh:
Aku tidak akan pergi. Aku tidak akan kalah.
Sore itu, ketika Raka pulang dan memuji masakan ibunya lagi, aku hanya tersenyum kecil. Ada air mata di sudut mataku, tapi juga api kecil di dalam dada. Aku akan belajar. Aku akan membuktikan bahwa aku pantas berada di rumah ini—bukan sebagai tamu, tapi sebagai istri.
Malam semakin larut. Di luar, hujan turun pelan. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi jari-jariku yang masih bau bawang.
“Tangisku hari ini, mungkin bahagia mertua,” bisikku lirih.
“Tapi suatu hari nanti… aku akan tertawa—tanpa harus menyakiti siapa pun.”
Dan di tengah gelap malam itu, untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar hidup. Meski dengan luka, meski dengan air mata, aku tahu… dari sinilah kisahku sebagai istri benar-benar dimulai.