Kampung ini telah dikutuk badai datang tanpa diundang, membawa duka.
Kalimat itu bukan sekadar legenda bagi warga Kampung Lembah Hening, melainkan kenyataan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Tak ada satu pun warga kampung yang berani bermain-main dengan laut bila langit mulai berwarna abu. Bagi mereka, badai adalah tanda murka dari masa lalu—dosa yang tak pernah benar-benar dimaafkan
Sore itu, langit di atas Kampung Lembah Hening tampak muram. Awan hitam bergerak perlahan dari arah laut, menutup cahaya matahari yang mulai tenggelam. Ombak bergulung lebih keras dari biasanya, seperti sedang menyiapkan amarah.
Raka, pemuda tujuh belas tahun, berdiri di ujung dermaga kayu yang mulai rapuh. Tatapannya kosong ke arah laut yang tak bertepi.
“Raka! Cepat pulang! Langitnya sudah aneh,” seru ibunya dari kejauhan.
Namun Raka tak beranjak. Ia masih menatap cakrawala, berharap bisa melihat perahu Mawar Laut milik ayahnya yang berangkat sejak pagi.
Biasanya ayahnya, Arman, sudah pulang menjelang senja, tapi hari ini belum juga terlihat.
Raka menghela napas panjang. Hatinya cemas. Sejak kecil, ia sering mendengar cerita dari orang-orang tua bahwa badai yang datang tiba-tiba selalu membawa kehilangan.
Dulu pamannya hilang saat badai datang. Tahun berikutnya, rumah tetangganya tersapu ombak. Semua terjadi saat langit menutup diri dan angin mulai berteriak.
Kampung Lembah Hening bukan sekadar kampung nelayan biasa. Di balik ketenangannya, ada kisah lama yang tak pernah diceritakan dengan lantang.
Konon, ratusan tahun lalu, kampung itu berdiri di atas tanah yang dilindungi seorang tua bijak bernama Ki Samudra. Ia dikenal sebagai penjaga laut—orang yang bisa berbicara dengan ombak dan memahami bahasa angin.
Setiap bulan purnama, warga kampung membawa hasil laut pertama mereka ke tepi pantai. Mereka menyalakan dupa, meletakkan bunga, dan berdoa agar laut tetap memberi rezeki dan keselamatan.
Namun ketika generasi baru datang, kebiasaan itu dianggap tak masuk akal.
“Sudah cukup kita bekerja keras,” kata salah satu kepala nelayan kala itu. “Untuk apa memberi ikan kepada laut? Laut tidak lapar.”
Pendeta laut itu diusir, ritualnya dihentikan, dan altar pemujaan di tepi pantai dihancurkan.
Ki Samudra meninggalkan kampung dengan langkah pelan, sambil berkata:
“Kalian boleh mengusirku, tapi kalian tidak bisa mengusir murka laut. Saat manusia lupa menghormati alamnya, badai akan datang tanpa diundang… membawa duka dari generasi ke generasi.”
Tak lama setelah kepergiannya, badai pertama datang. Separuh kampung hilang, dan sejak itu, tak ada tahun yang benar-benar tenang.
Menjelang malam, angin mulai menggila. Suara petir menyambar di kejauhan, dan laut bergemuruh seolah ingin menelan daratan.
Raka masih di dermaga, menatap gelombang yang memantulkan cahaya petir.
“Raka! Masuk, Nak!” teriak ibunya panik, menyusul ke luar rumah.
Namun sebelum Raka menjawab, suara keras memecah udara. Petir menyambar pohon kelapa di dekat pantai hingga terbakar. Angin menjerit seperti serigala lapar.
Raka menatap ke laut dan… ia melihatnya. Sebuah bayangan perahu terombang-ambing di tengah badai, jauh di luar sana.
“Itu Ayah!” serunya, lalu tanpa pikir panjang ia berlari menuju pantai.
Ibunya berteriak, tapi suaranya tertelan angin.
Hujan menampar wajah Raka. Ombak setinggi dada menghantam tubuhnya, tapi ia terus berlari hingga lututnya terbenam air asin.
“AYAH!”
Hanya debur ombak yang menjawab. Dalam kilat sesekali, ia melihat perahu Mawar Laut terbalik. Kayu-kayunya tercerai-berai. Di antara gelombang, selembar kain hitam hanyut ke arahnya—kain penutup kepala ayahnya.
Air mata Raka bercampur hujan. Ia berlutut di tepi air, berteriak ke langit yang bergemuruh.
“Kenapa selalu mengambil dari kami?!”
Pagi datang dengan sunyi. Badai telah pergi, tapi meninggalkan luka.
Rumah-rumah roboh, pohon tumbang, dan pasir pantai penuh serpihan kayu. Laut tampak tenang, tapi tenang yang menakutkan.
Arman, ayah Raka, tak pernah ditemukan. Yang tersisa hanya gelang kerang putih yang biasanya ia pakai di pergelangan tangan.
Raka menggenggam gelang itu erat. “Ini kutukan,” gumamnya.
Pak Darsa, nelayan tua yang dulu teman dekat ayahnya, menghampiri.
“Laut tidak jahat, Nak. Ia hanya menagih janji yang dilupakan manusia.”
“Janji?” tanya Raka dengan mata merah.
“Ya,” jawabnya lirih. “Leluhur kita dulu berjanji menjaga laut, tapi kita melanggarnya. Selama janji itu tak ditebus, badai akan terus datang.”
Raka menatap laut yang berkilau di bawah matahari pagi. Ia berjanji dalam hati: jika badai datang karena kesalahan manusia, maka ia akan memperbaikinya.
Beberapa malam kemudian, ketika bulan setengah purnama menggantung di langit, Raka memutuskan pergi ke Teluk Karang Hitam—tempat yang selama ini dilarang untuk didatangi.
Menurut cerita, di sanalah Ki Samudra menghilang, dan di sanalah badai pertama lahir.
Ia membawa perahu kecil dan gelang kerang milik ayahnya. Ombak malam itu aneh: tidak besar, tapi juga tidak tenang.
Begitu tiba di tengah teluk, Raka berdiri dan berdoa.
“Jika benar ini karena kesalahan kami,” katanya, “aku mohon ampun untuk semua. Aku kembalikan apa yang bukan milik kami.”
Ia melempar gelang itu ke laut.
Sejenak, air laut bergolak. Permukaan laut berkilau biru kehijauan, dan dari dasar air terdengar suara lembut seperti desahan napas.
“Bukan benda yang kami minta... tapi hati yang tulus memohon maaf.”
Suara itu bergema pelan di telinganya. Air mata Raka menetes tanpa ia sadari.
Ia berlutut di perahunya, menunduk. “Kalau begitu… ampunilah kami. Jangan ambil lagi orang yang kami cintai.”
Tiba-tiba, ombak kecil menyentuh perahu, lembut seperti tangan. Dari riak air muncul sehelai kain, lusuh tapi masih berbau asin laut — kain hitam milik ayahnya.
Raka memeluk kain itu erat. Hatinya bergetar. Ia tahu laut telah menjawab.
Keesokan harinya, Raka kembali ke kampung. Orang-orang heran melihat wajahnya yang tampak tenang.
“Ke mana kau semalam?” tanya ibunya cemas.
Raka tersenyum lembut. “Aku hanya meminta maaf kepada laut, Bu.”
Sejak hari itu, laut berubah.
Angin menjadi sejuk, ikan melimpah, dan tak ada badai yang datang selama berbulan-bulan.
Warga kampung mulai percaya, kutukan itu akhirnya reda. Mereka mengadakan doa bersama di tepi pantai, membangun kembali altar kecil dari batu karang sebagai tanda penghormatan pada laut.
Malam-malam berikutnya menjadi lebih damai. Kadang Raka duduk sendirian di tepi air, mendengarkan debur ombak. Ia merasa, di antara suara ombak itu, ada suara ayahnya yang berbisik:
“Terima kasih, Nak. Engkau telah mengembalikan kedamaian yang dulu hilang.”
Tahun-tahun berlalu, dan Raka tumbuh menjadi nelayan muda yang bijak.
Ia mengajarkan anak-anak kampung untuk tidak membuang sampah ke laut, tidak menangkap ikan berlebihan, dan selalu berdoa sebelum berlayar.
Ia tahu, laut adalah teman, bukan lawan.
Namun, setiap kali awan hitam mulai berkumpul di cakrawala, Raka tak pernah lupa berbisik dalam hati:
“Datanglah, jika kami lupa. Ingatkan kami agar tak sombong lagi.”
Karena ia tahu, badai bukan musuh — badai adalah peringatan.
Badai datang bukan untuk menghancurkan, tapi untuk mengingatkan bahwa manusia hidup berdampingan dengan alam, bukan di atasnya.
Sejak itu, setiap tahun pada tanggal datangnya badai besar, warga Kampung Lembah Hening berkumpul di pantai.
Mereka menyalakan seribu lampu minyak, menyanyikan lagu laut, dan menunduk hening untuk mengenang mereka yang hilang.
Laut kini menjadi sahabat, tapi kisahnya tetap hidup — diceritakan berulang-ulang dari generasi ke generasi.
“Kampung ini pernah dikutuk badai datang tanpa diundang membawa duka,” kata para tetua pada anak-anak kecil.
“Namun seorang anak bernama Raka telah mengubahnya menjadi doa yang tak pernah berhenti.”
Dan di antara suara ombak malam yang berdebur lembut, seolah ada bisikan yang datang dari jauh:
“Kami datang bukan untuk menghukum, tapi untuk mengingatkan…”
🌊 Tamat