Aku duduk di bangkuku seperti biasa, di sebelah temanku, bukan karena kami akrab, tapi karena kursi di dekatnya kebetulan kosong. Susunan tempat duduk kami memang berjejer, jadi aku nggak punya banyak pilihan. Awalnya kami dekat, sering bercanda, kadang juga makan bareng di kantin. Tapi belakangan ini, kami sering bentrok.
Masalahnya selalu sama, beda persepsi. Aku orangnya to the point, sementara dia gampang tersinggung. Kadang cuma karena cara aku ngomong, dia bisa salah paham padahal maksudku ngga gitu, apalagi dia ngga mau denger penjelasan dari aku. Dan yang paling bikin capek, dia suka memojokkan aku soal tugas, padahal aku juga kerja keras ngerjainnya.
Hari ini aku sebenarnya cuma pengin semuanya berjalan normal. Udah beberapa hari kami lumayan baikan, nggak ada ribut kecil lagi. Tapi ternyata, suasana bisa berubah secepat kedipan mata.
Aku lagi fokus ngerjain tugas di laptop. Kelas lumayan tenang, cuma suara kipas dan beberapa teman yang ngobrol dibelakang. Aku sudah hampir selesai, tapi pengin sedikit memastikan jawabanku.
Aku melirik ke sebelah dan berkata pelan, “Btw, kamu yang nomor ini jawabnya gimana? Aku sih gini, tapi pengin bandingin aja.”
Nada suaraku biasa aja, bahkan sambil senyum kecil. Tapi dia malah mendengus pelan, menatapku sebentar, lalu bilang ketus, “Kenapa sih?”
Aku sempat diam, kaget juga dengan nadanya. Tapi aku berusaha tetap tenang. “Cuma mau bandingin aja kok,” jawabku pelan.
Dia langsung mengalihkan pandangan ke layar laptop, pura-pura sibuk. Aku cuma bisa narik napas dalam. "Yaudah, mungkin dia lagi nggak pengin diganggu" Ucapku dalam hati. Aku pun lanjut ngetik tanpa komentar apa pun.
Beberapa menit kemudian, suasana di sekitar kami mulai agak ramai. Teman di sebelah dia, sebut aja Mitha, lagi ngobrol santai sambil semprot-semprot sesuatu.
“Astaga, wangi banget Mit. Parfum baru ya?” tanyaku, sedikit melirik ke arahnya.
Mitha tersenyum bangga. “Hehe, iya. Beli di mall kemarin. Katanya limited edition, loh.”
Aku mendekat sedikit, iseng mencium aroma yang menguap di udara. “Hmm, ini wangi vanilla campur floral ya? Manis dan nggak bikin enek. Cocok banget buat cewek kalem kayak kamu.”
Dia tertawa kecil. “Kalem dari mana, woy. Aku kan tukang ketawa paling kenceng di kelas.”
Aku ikut ketawa. “Iya juga sih.”
Tiba-tiba, temanku yang di sebelah — yang dari tadi dingin, nyeletuk tanpa menoleh, “Kayak biasa aja wanginya. Banyak kok parfum kayak gitu di toko.”
Nada suaranya datar tapi jelas banget kedengeran nyentil. Mitha dan aku saling pandang, bingung harus nanggepin atau nggak. Akhirnya Mitha cuma jawab ringan, “Iya sih, tapi aku suka aja, lagian diskon besar.”
“Diskon berapa?” tanya si dingin, kali ini dengan nada lebih santai.
“Setengah harga. Aslinya tujuh ratus, jadi tiga ratus lima puluh.”
“Pantes kamu langsung beli,” katanya sambil tersenyum.
Obrolan mereka sempat lanjut sebentar. Mereka bahas soal brand parfum lain, mana yang lebih tahan lama, mana yang cepat hilang. Mitha semangat banget jelasin, sementara dia ngangguk-ngangguk kecil, sesekali kasih komentar singkat. Aku cuma dengar sambil lanjut ngetik, sesekali ikut nimbrung kalau ada yang lucu.
“Eh tapi, kamu tuh lebih suka aroma manis kayak gitu atau yang woody gitu, yang agak maskulin?” tanya Mitha.
“Yang woody, jelas. Lebih calm dan nggak terlalu nyegrak,” jawab si dingin sambil mengetik. “Aku juga pernah beli yang vanilla kayak kamu, tapi cepet bosen.”
Aku menimpali, “Wajar sih. Vanilla tuh kayak… wangi yang aman tapi tahan lama banget.”
Mitha pura-pura manyun. “Yaudah deh, kalian berdua emang tim aroma yang kalem.”
Kami bertiga sempat tertawa kecil, suasananya agak cair.
Setelah itu, Mitha kembali nunduk ke laptopnya, lalu bergumam, “Eh, ngomong-ngomong, kalian udah ngerjain nomor tujuh belas belum? Aku ragu deh, jawabanku kayaknya salah, pakai cara yang ini ngga sih?”
Dia menoleh ke arah si dingin dulu. “Kamu jawab apa?”
“C,” jawabnya cepat. “Soalnya rumusnya pakai substitusi langsung.”
“Serius?” Dira mengernyit. “Aku malah pakai cara beda. Nggak yakin juga sih.”
Mitha lalu menoleh ke arahku. “Kamu gimana, udah ngerjain nomor itu?”
Aku menoleh, sedikit senang karena ada yang bertanya materi kesukaan aku. “Udah, aku jawab A, sih. Soalnya aku mikir logikanya kayak gitu.”
Baru aja aku selesai ngomong, si dingin itu langsung menutup layar jawabannya cepat-cepat ketika aku menoleh kearahnya. Gerakannya kayak orang panik.
Aku berhenti bicara. Untuk beberapa detik, suasana hening. Mataku otomatis tertuju ke arah tangannya yang buru-buru menutupi layar dan wajahnya yang menatap aku seperti aku berniat mencontek, seolah aku sedang ingin nyontek.
Padahal… astaga. Aku nggak pernah sekalipun nyontek. Apalagi hal sepele kayak gini bisa aku kerjain sendiri.
Aku menatap dia lama-lama, lalu berkata pelan tapi tegas, “Aku nggak tertarik sama jawaban kamu. Aku udah punya jawaban sendiri. Aku bukan tukang nyontek.”
Mitha langsung melirik ke arahku, kaget. Si dingin itu cuma diam, menatap ke arah lain, pura-pura nggak dengar.
Aku langsung berdiri, membereskan buku, dan pindah duduk ke kursi kosong di sebelah. Kursi itu cuma berjarak satu meja dari dia, tapi rasanya jauh banget.
Beberapa teman lain yang ngelihat cuma saling pandang, tapi nggak ada yang berani komentar.
Aku duduk diam, menatap layar, tapi isi kepala udah berantakan. Rasanya panas, campur jengkel dan kecewa. Aku bukan marah karena dia sensitif, tapi karena tatapan dia yang ngga suka, rasanya seperti sedang menilai aku.
Dalam hati aku ngomel, "padahal dulu dia sering banget minta bantuin tugas. Sering nanya rumus ke aku, bahkan kadang nyalin caraku ngerjain. Tapi sekarang, aku nanya baik-baik aja udah begitu reaksi dia padahal biasanya selalu bilang kalau lagi ngga mau di ganggu".
Jam pelajaran itu rasanya panjang banget, karena aku merasa masih jengkel.
Beberapa hari kemudian, nilai tugas diumumkan. Aku membuka portal kampus di laptop dengan jantung berdebar. Ini tugas 50 soal yang aku kerjakan sendiri, dengan logika yang kadang aku ragu tapi tetap aku yakin.
“Wah…” gumamku pelan begitu angka itu muncul. 90.
Aku sempat menatap layar lama, antara nggak percaya dan bangga. Aku nyengir kecil, bukan karena mau sombong, tapi karena ternyata kerja keras sendirian bisa membuahkan hasil juga.
Suasana kelas ramai, semua orang sibuk buka nilai masing-masing. Suara riuh mulai terdengar.
“Gila, aku cuma 78!” seru salah satu teman di belakang.
“Aku malah 60! Kayaknya nomor 34 sampe 40 salah semua,” timpal yang lain.
Aku cuma tersenyum kecil. Lalu tanpa sengaja, aku menoleh ke arah kursi sebelah, tempat dia duduk. Dia juga sedang buka portal nilainya. Dari jarak segitu, aku bisa lihat sekilas angka di layarnya.
80-an.
Aku nggak berniat sombong, tapi dalam hati aku merasa lega. Bukan karena nilainya lebih rendah, tapi karena aku punya bukti, aku nggak perlu nyontek siapa pun untuk bisa dapat nilai bagus bahkan soal nomor 17 itu jawabannya memang benar yang A.
Mitha menepuk pundakku sambil nyengir. “Eh, kamu 90 ya? Gokil! Kerjain sendiri semua?”
Aku mengangguk. “Iya, aku nggak sempat nanya siapa-siapa kemarin, kan.”
Dia tertawa kecil. “Pantes. Aku aja nyesel nggak sempat diskusi sama kamu.”
Aku menatap ke depan lagi. Si dingin itu hanya diam, tapi aku sempat lihat dia melirik sekilas ke arahku. Pandangannya nggak bisa aku baca.
Yang jelas, kali ini aku nggak menunduk, nggak menghindar seperti minggu lalu waktu nilai aku kecil. Aku menatap layar laptopku sambil tersenyum.
"Kadang orang baru sadar setelah lihat hasil, ya".
Sore harinya, setelah kelas selesai, aku keluar sendirian. Angin sore berhembus pelan, membawa wangi rumput basah. Aku berhenti sebentar di taman depan fakultas, duduk di bangku sambil membuka botol air minum.
Kupandangi langit jingga yang mulai gelap. Dalam hati aku bergumam pelan, “Lucu ya, cuma gara-gara beda nada ngomong dan salah paham, hubungan bisa renggang kayak gitu.”
Aku nggak tahu apa nanti kami bakal ngobrol lagi seperti dulu atau nggak. Tapi aku tahu satu hal, aku nggak perlu terus merasa bersalah cuma karena aku tegas membela diri.
Aku juga nggak perlu pembuktian lagi. Nilai itu udah cukup jadi jawaban.
Angin kembali berhembus. Di kejauhan, aku bisa lihat dia jalan keluar kelas bersama dua temannya. Matanya sempat menatap sekilas ke arahku, tapi kali ini aku ngga lagi menatap dia seperti sebelumnya. Dan rasanya itu udah cukup.
Karena diam kadang lebih elegan daripada minta maaf padahal kita ngga tau salah kita apa.
Aku berdiri, merapikan tas, dan melangkah pelan meninggalkan halaman kampus. Langit di atas tampak bersih, seperti ikut menghapus semua kesal yang sempat menumpuk di hari-hari sebelumnya.
Dalam hati aku bicara pada diri sendiri,
“Mungkin aku memang nggak perlu dimengerti semua orang dan mengerti keinginan orang lain, kita juga ngga bisa diam terus kalau ada masalah, kita harus bisa berkomunikasi kalau ada hal yang membuat kita merasa ngga nyaman dan tersinggung, bukan malah melakukan silent treatment. Cukup tahu bahwa aku berusaha jujur dan nggak pernah main curang. Itu aja udah cukup.”