happy reading~
灬灬灬灬
—START—
灬灬灬灬
Mark mengelola sebuah kedai kopi kecil di sudut kota yang ramai. Namanya "The Quiet Corner"—sesuai dengan suasana yang ia ingin ciptakan. Bukan tempat untuk hiruk-pikuk, melainkan surga kecil bagi mereka yang mencari ketenangan dan secangkir kopi berkualitas. Mark sendiri adalah perwujudan kedai kopinya yang tenang, sedikit penyendiri, dan sangat teliti. Dia tahu setiap biji kopi yang dipanggangnya, setiap detail suhu air, dan setiap pelanggan tetapnya.
Kehidupan Mark yang teratur mulai terganggu saat Haechan datang.
Haechan adalah seorang desainer grafis freelance yang baru pindah ke apartemen di seberang kedai. Dia adalah badai warna cerah di tengah palet monokrom Mark. Rambutnya dicat ungu, pakaiannya selalu mencolok, dan dia punya kebiasaan bicara terlalu keras untuk ukuran kedai yang tenang ini.
Pertama kali Haechan memesan kopi, dia menunjuk daftar menu dengan ekspresi bingung.
"Americano? Espresso? Aduh, kenapa semua pahit begini sih? Tidak ada kopi yang manis-manis gitu?"
Mark dengan kesabaran terbatasnya, menjelaskan, "Kopi memang dasarnya pahit. Kalau mau manis, ada gula atau sirup."
Haechan mendengus. "Ya sudah, Americano dengan banyak gula kalau begitu!"
-
Sejak itu, Haechan menjadi pelanggan tetap. Bukan karena dia suka kopi pahit Mark, tapi entah kenapa, dia suka suasana kedai itu... atau lebih tepatnya, dia suka mengusik Mark. Dia akan duduk di meja dekat jendela, laptopnya terbuka, dan mulai mengobrol dengan siapa pun yang mau mendengarkan, termasuk Mark yang sedang sibuk meracik kopi.
"Mark, tahu tidak? Tadi aku melihat kucing oren di depan. Menggemaskan sekali!"
—
"Mark, desainku hari ini ditolak klien. Mereka bilang terlalu tajam. Padahal kan keren!"
Mark biasanya hanya akan menjawab dengan gumaman, atau anggukan kepala, sambil terus membuat latte art yang sempurna. Tapi dia selalu mendengarkan. Dia tahu Haechan suka kopi yang sangat manis, dengan tambahan hazelnut syrup. Dia tahu Haechan suka lagu-lagu pop ceria yang kontras dengan playlist jazz Mark. Dan dia tahu, di balik keceriaan Haechan, ada seorang seniman muda yang sangat bersemangat dengan karyanya.
Suatu sore, hujan turun deras. Kedai kopi sepi. Hanya ada Mark dan Haechan. Haechan terlihat murung, matanya menatap kosong ke layar laptopnya. Mark, tanpa berkata apa-apa, membuatkan secangkir kopi. Bukan Americano manis, melainkan mocha hangat dengan whipped cream tebal dan taburan cokelat.
"Ini," kata Mark, meletakkannya di hadapan Haechan.
Haechan mendongak, matanya sedikit berkaca-kaca.
"Aku... aku kehilangan klien besar, Mark... Proyek impianku." Suaranya terdengar serak.
Mark duduk di kursi di seberang Haechan. Ini pertama kalinya dia duduk bersama Haechan di luar konter.
"Aku tahu rasanya," ujarnya pelan.
"Kegagalan itu bagian dari proses. Kau akan menemukan yang lebih baik."
Haechan menatap Mark, terkejut dengan jawaban penuh kehangatan dalam suaranya.
Haechan pun menyesap mocha itu. Rasanya manis, hangat, dan menenangkan.
"Terima kasih, Mark."
Malam itu, mereka mengobrol panjang. Haechan bercerita tentang ambisinya sebagai desainer, tentang mimpinya mendirikan studio sendiri. Mark bercerita tentang alasannya membuka kedai kopi, tentang kecintaannya pada aroma biji kopi yang baru dipanggang. Mereka menemukan bahwa di balik perbedaan mereka, ada banyak kesamaan—semangat yang sama untuk apa yang mereka cintai.
—
Setelah malam itu, suasana di The Quiet Corner berubah. Obrolan Haechan tidak lagi terasa seperti gangguan, melainkan melodi yang menemani hari Mark. Mark mulai sesekali tersenyum saat Haechan membuat lelucon. Dia bahkan memasang satu lukisan Haechan di dinding kedainya, sebuah pemandangan kota yang cerah dan penuh warna.
Suatu malam, setelah kedai tutup, Haechan membantu Mark membersihkan meja. Mark melihat Haechan tertawa saat mencoba mengelap tumpahan gula yang lengket. Ada tetesan whipped cream di ujung hidung Haechan.
Mark refleks meraih tangan Haechan, menghentikan gerakannya. Haechan mendongak, tatapan mata mereka bertemu. Jarak di antara mereka terasa menipis. Cahaya remang dari lampu kedai menyinari wajah Haechan, membuatnya terlihat begitu... nyata, begitu dekat.
Mark merasa jantungnya berdebar kencang. Selama ini, dia terbiasa menjaga jarak, membangun tembok di sekeliling dirinya. Tapi Haechan, dengan keceriaannya, dengan manisnya, perlahan meruntuhkan tembok itu.
Tanpa sadar, Mark mendekatkan wajahnya. Hidung mereka bersentuhan. Haechan menahan napas, matanya sedikit terpejam. Aroma kopi dan cokelat bercampur dengan wangi Haechan yang manis.
Mark memejamkan mata, dan bibirnya bertemu dengan bibir Haechan. Ciuman itu lembut, seperti sentuhan pertama embun pagi, perlahan mendalam, penuh dengan kehati-hatian dan penemuan. Ada rasa kopi pahit bercampur manisnya gula di sana, seperti representasi hubungan mereka yang kontras namun saling melengkapi.
Haechan balas mencium Mark, tangannya melingkar di leher Mark, menariknya lebih dekat.
Di tengah kedai kopi yang sepi. Dibawah cahaya temaram, dua dunia yang berbeda itu bertemu, melebur menjadi satu dalam ciuman yang manis dan penuh makna. Mereka mungkin tau, bahwa ini adalah awal dari kisah baru yang lebih dari sekadar kopi dan gula.
—SELESAI—
25/10/25