Namaku Rendra, seorang guru sastra di sekolah yang lebih mencintai angka daripada kata, lebih menghargai nilai daripada mimpi.
Setiap pagi aku berdiri di depan papan tulis, mengajarkan “puisi” seperti rumus—dengan rima, struktur, dan tanda baca yang sempurna. Tapi setiap kali aku menatap wajah murid-muridku, aku tahu sesuatu telah mati di mata mereka: rasa ingin hidup.
Mereka hafal makna setiap bait, tapi tak satu pun yang memahami mengapa kata-kata itu ditulis.
Sampai suatu hari, seorang murid bertanya:
“Pak, kenapa orang menulis puisi kalau akhirnya semua akan dilupakan juga?”
Aku terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tapi menikam.
Dan di saat itu aku sadar—selama ini, aku sendiri telah lupa mengapa aku mencintai kata-kata.
Malamnya aku membuka buku tua milik ayahku, berisi tulisan tangan yang samar:
“Kita menulis bukan untuk diingat, tapi agar kita tak pernah benar-benar hilang.”
Kata-kata itu seperti membangunkanku dari tidur panjang.
Keesokan harinya, aku mengajak murid-muridku keluar kelas. Ke taman belakang sekolah yang sudah lama terlupakan. Rumputnya tinggi, bangkunya berkarat. Tapi di sanalah aku melihat sesuatu yang lebih hidup dari ruang kelas mana pun.
“Mulai hari ini,” kataku, “kita tidak belajar tentang puisi. Kita hidup di dalamnya.”
Aku menyuruh mereka menulis apa pun—tanpa aturan, tanpa nilai.
Ada yang menulis tentang ibunya yang selalu bekerja hingga larut.
Ada yang menulis tentang rasa takutnya menjadi dewasa.
Ada pula yang hanya menulis satu kalimat:
“Aku ingin hidup tanpa takut menjadi salah.”
Hari itu, taman kecil itu dipenuhi dengan suara pena dan tawa.
Tidak ada yang sempurna, tapi semua terasa nyata.
Beberapa bulan kemudian, sekolah memecatku.
Mereka bilang aku “merusak sistem pembelajaran yang baik”.
Tapi sebelum aku pergi, seseorang menyelipkan sebuah amplop ke mejaku.
Isinya: selembar kertas bertuliskan tangan yang bergetar,
“Terima kasih, Pak. Sekarang aku tahu bahwa hidup bukan tentang menjadi benar, tapi tentang berani menjadi diri sendiri.”
Aku menatap kalimat itu lama sekali.
Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, aku menangis—bukan karena sedih, tapi karena lega.
Bertahun-tahun kemudian, di sebuah kafe kecil di kota yang berbeda, aku melihat nama yang familiar di halaman belakang sebuah majalah sastra.
“Puisi oleh: Laras Satria, Alumni SMA Wijaya Kusuma.”
Aku tersenyum.
Bait pertamanya berbunyi:
“Kami pernah diajari, bahwa hidup bukanlah soal nilai atau angka.
Tapi tentang keberanian menulis baris terakhir dalam cerita kita sendiri.”
Aku menutup majalah itu, menatap langit sore yang berwarna oranye lembut.
Di hati kecilku, aku tahu—puisi tidak pernah mati.
Ia hanya berpindah tempat…
dari buku tua berdebu ke dada-dada yang berani bermimpi.
“Carpe Diem,” aku berbisik pelan.
Raih hari ini, sebelum kata-kata kita menghilang bersama waktu.