Hujan sore itu turun pelan, membasahi halaman kecil rumah Naina. Dari balik jendela, perempuan berusia tiga puluh dua tahun itu menatap derasnya langit sambil menggenggam cangkir kopi yang sudah tak lagi panas. Suara tawa kecil anaknya, Rafi, terdengar dari ruang tengah—menonton kartun kesayangannya sambil memeluk bantal biru lusuh.
“Ma, hujannya deras banget! Boleh main hujan?” seru Rafi.
Naina tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Nanti kamu pilek, Nak. Mama belum punya uang buat beli obat lagi.”
Rafi manyun, tapi tak lama kemudian ia kembali tertawa melihat karakter kartun jatuh terpeleset di televisi.
Senyum itu—kecil, sederhana—cukup buat Naina bertahan. Sudah dua tahun ia membesarkan Rafi sendirian sejak suaminya pergi tanpa kabar. Tak ada kata cerai, tak ada pesan pamit, hanya keheningan yang menyakitkan. Dulu, Naina sempat berpikir ia tak akan bisa bertahan. Tapi ketika melihat mata Rafi yang sama seperti ayahnya—hangat dan penuh harap—ia tahu, menyerah bukan pilihan.
Setiap pagi, Naina berangkat bekerja sebagai kasir di minimarket kecil. Ia biasa bangun jam empat, menyiapkan sarapan sederhana, lalu mengantar Rafi ke sekolah sebelum berangkat kerja. Kadang, saat tubuhnya terlalu lelah, ia hanya bisa duduk diam di dapur sambil menatap dinding, mencoba menenangkan diri dari rasa capek dan cemas. Tapi setiap kali Rafi memeluknya sambil berkata, “Mama hebat,” semua rasa sakit itu pelan-pelan mencair.
Suatu sore, setelah menutup kasir, Naina menerima kabar dari sekolah: Rafi terpilih untuk mewakili kelasnya dalam lomba membaca puisi Hari Ibu. Jantungnya berdebar. Rafi bukan anak yang suka tampil di depan umum, tapi entah kenapa kali ini dia semangat.
Di rumah, Naina bertanya sambil menyiapkan makan malam, “Kamu nggak takut tampil di depan orang banyak?”
Rafi menggeleng mantap. “Nggak. Aku mau bacain puisi buat Mama.”
Ucapan itu sederhana, tapi air mata langsung menggenang di mata Naina. Ia berusaha menahan, tapi suaranya serak waktu menjawab, “Terima kasih ya, Nak.”
Hari lomba tiba. Naina datang dengan seragam minimarketnya, langsung dari tempat kerja karena tak sempat pulang. Rambutnya agak berantakan, dan tangan masih bau deterjen dari tumpukan stok yang tadi ia bereskan. Tapi ketika Rafi naik ke panggung kecil di aula sekolah, semua lelah itu menguap.
Rafi berdiri tegak, suaranya lantang walau sedikit bergetar.
_______________________________________
“Untuk Mama,
Yang selalu bangun sebelum matahari,
Tapi jarang sempat istirahat.
Yang tangannya kasar karena kerja,
Tapi selalu lembut saat mengelus rambutku.
Mama, kamu bukan cuma hebat.
Kamu rumah buat hatiku.”
_______________________________________
Tepuk tangan menggema di ruangan, dan Naina tak bisa menahan air matanya. Ia menunduk, menutup wajah dengan tangan yang gemetar. Saat lomba usai, Rafi berlari menghampirinya dan memeluk erat.
“Ma, aku menang juara dua!” katanya bangga.
“Buat Mama, juara satunya kamu,” jawab Naina, suaranya pelan tapi penuh makna.
Malam itu, di rumah yang sederhana, Naina memeluk Rafi lebih lama dari biasanya. Di luar, hujan kembali turun, tapi di dalam dada Naina ada kehangatan yang sulit dijelaskan—hangat dari rasa syukur, dari perjuangan yang tak sia-sia.
Ia tahu hidup belum mudah. Tapi selama Rafi masih memeluknya sambil bilang “Mama hebat,” ia tak butuh apa-apa lagi.
Karena jadi kuat bukan berarti tak pernah lelah.
Tapi tetap berdiri, meski dunia berkali-kali mencoba menjatuhkanmu.
Dan Naina… sudah membuktikan itu setiap hari.