Aku sedang berjalan santai bersama seseorang yang kukenal baik—Bang Nikko. Kami berjalan beriringan dengan tenang, hanya berdua, tanpa terganggu oleh siapa pun.
Namun, tiba-tiba seorang temanku, seorang perempuan, muncul dari arah lain. Kebetulan kami bertemu di tengah jalan. Ia tersenyum dan mengajakku menonton film. Dalam hatiku, aku ingin ikut, tapi aku juga sedang bersama Bang Nikko. Maka dengan ragu aku menoleh kepadanya, lalu bertanya pelan,
“Bang, mau ikut nonton?”
Wajahnya berubah. Nada suaranya terdengar berat ketika menjawab,
“Yaudah, nontonlah sana.”
Tanpa menungguku lagi, ia berbalik pergi. Panik, aku segera mengejarnya. Tetapi karena kami berada di dalam mall yang begitu ramai, langkahku tersendat, pandanganku kabur oleh kerumunan orang. Aku berlari, namun akhirnya kehilangan jejaknya.
Aku berdiri di tengah hiruk-pikuk, perasaan sesak menyesak. Ada rasa bersalah yang menindih dadaku. Seharusnya aku tidak ragu. Seharusnya aku tidak meninggalkannya hanya karena ajakan orang lain. Air mataku hampir jatuh.
Aku terus berjalan, tapi semakin jauh aku melangkah, semakin aku merasa tersesat. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah jalan kecil. Jalannya sempit, hanya terbentuk dari potongan papan kayu. Kiri dan kanan jalan itu dipenuhi tangan-tangan berlumur darah, bergerak-gerak seolah ingin meraihku.
Tubuhku bergetar, ketakutan menelan seluruh keberanianku. Aku ingin menangis, ingin berlari, tapi tidak tahu ke mana. Dengan tangan gemetar, aku mengeluarkan ponsel dan menelpon Bang Arief. Suaraku serak, penuh tangis.
“Bang... aku takut...”
Di ujung sana, terdengar suaranya, tegas namun menenangkan.
“Tunggu. Aku bakal datang.”
Aku terus berjalan di jalan kayu itu, air mata mengalir deras. Di ujung lorong sempit, aku akhirnya berhenti. Tubuhku lemas, hampir tak mampu menahan rasa takut. Tapi tak lama kemudian, aku melihat sosoknya datang.
Bang Nikko.
Aku menatapnya, berusaha menahan air mata, tapi tak kuasa. Ia berdiri di depanku, memandangku dalam-dalam. Dengan suara yang dalam ia berkata,
“Lain kali pilih salah satu. Aku punya perasaan, jangan dipermainkan.”
Kata-katanya menghujam, membuat tangisku pecah. Aku tak sanggup lagi menahan perasaan. Aku langsung meraih tubuhnya, memeluknya erat-erat. Air mataku jatuh tanpa henti, membasahi bahunya.
Yang membuatku semakin terisak, ia tidak menolak pelukan itu. Tidak ada dorongan untuk menjauh. Ia hanya diam, membiarkanku, seolah mengerti bahwa aku benar-benar tidak ingin melepaskannya.
Di dalam pelukan itu, aku merasa takut, bersalah, sekaligus lega. Aku tahu aku tak ingin kehilangannya lagi.