Bangunan putih itu menjulang seperti labirin tak berujung. Lorong-lorongnya sunyi, hanya suara nafasku yang tersengal memenuhi udara. Lantai licin berkilat, dinding dingin memantulkan jejak langkahku yang tergesa.
Di belakangku, seekor buaya raksasa mengaum ganas. Sisiknya hijau gelap bercampur coklat berlumpur, matanya merah menyala seperti bara, dan giginya panjang berlapis, berkilat tajam di bawah cahaya pucat bangunan. Buaya itu tidak hanya melata—ia bisa memanjat dinding, berlari dengan kecepatan tak wajar, bahkan menghantam pintu baja hingga hancur.
Aku berlari melewati satu ruangan ke ruangan lain. Pintu-pintu putih berderit setiap kali kubanting, sementara suara buaya menggesek lantai semakin dekat. Keringat membanjir, dadaku seperti mau pecah.
Lalu—keheningan.
Aku berhenti, menoleh ke belakang. Lorong itu kosong. Buaya itu… lenyap.
Tapi sebelum lega, aku bertemu tiga laki-laki tampan. Mereka muncul dari persimpangan lorong.
Pria pertama berambut hitam legam, rapi tersisir ke samping. Wajahnya tegas, rahang kuat, tatapannya penuh wibawa. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, menampakkan urat-urat di lengannya. Pria kedua berambut pirang keemasan, sedikit berantakan seolah baru saja berlari. Senyumnya hangat, tapi matanya tajam penuh siaga. Ia mengenakan jaket hitam tipis dan celana kargo, tubuhnya ramping dan lentur. Pria ketiga berkulit sawo matang, rambut coklat gelap ikal jatuh ke dahi. Matanya jenaka tapi menyimpan keraguan. Ia mengenakan hoodie abu-abu, sneakers kotor, memberi kesan santai namun siap tempur.
Mereka mendekat dengan wajah serius.
“Jadi kau juga dikejar buaya itu?” tanya pria berambut hitam.
Aku mengangguk cepat. Nafasku masih tak teratur.
“Kita harus selesaikan ini bersama,” sambung si pirang.
Tiba-tiba, secarik kertas kusut melayang jatuh dari langit-langit. Aku mengambilnya. Isinya: soal matematika SMP tentang suku ke-n.
Kami menatap kertas itu sama-sama. Suasana seketika jadi seperti ruang ujian.
“Kalau kita mau lolos, ini harus dikerjakan,” gumam si hoodie abu-abu.
Aku dan mereka menekuni soal dengan serius, menulis di dinding dengan spidol yang entah dari mana muncul. Aneh, tapi aku ikut tenggelam dalam hitungan. Deret, pola, logika—semua jadi pintu keluar.
Saat kami mulai merasa seperti tim, tiba-tiba si pirang menoleh kepadaku. Suaranya dingin.
“Kalau kau penjahatnya… aku akan menghajarmu habis-habisan.”
Kata-katanya menampar. Aku terdiam, merasa asing di antara mereka. Tanpa bicara, aku keluar dari mobil putih yang kami gunakan untuk melarikan diri.
“Aku cuma butuh udara segar,” kataku singkat.
Tapi sebenarnya, aku memilih meninggalkan mereka.
Di luar, langit abu-abu, gedung-gedung runtuh. Aku berjalan sampai menemukan markas musuh. Tempat itu gelap, tapi ada bendera merah hitam berkibar. Anehnya, sambutan di sana… hangat.
Pimpinan mereka datang menemuiku. Ia seorang pria berwajah tampan tapi bergaya nyentrik: rambut panjang dicat ungu, bibir tipis dilapisi gloss, pakaian ketat berwarna mencolok seperti fashion runway. Namun di balik tampilannya, matanya penuh kepedulian.
“Selamat datang,” ucapnya lembut. “Di sini, kau tidak akan dihakimi.”
Dua pria lain menghampiri. Mereka lebih sederhana:
Yang pertama berambut pendek rapi, memakai kemeja hitam polos. Suaranya kalem, ia menyodorkan segelas air padaku.
Yang kedua lebih santai, mengenakan kaos putih longgar, wajahnya ramah dan penuh rasa ingin tahu.
Mereka menemaniku mengobrol, tertawa kecil, membuatku merasa spesial. Aku sadar… aku satu-satunya perempuan di sana. Tapi bukannya merasa terancam, justru ada rasa diterima.
“Duduklah, makan dulu,” kata sang pimpinan nyentrik sambil menunjuk meja penuh makanan sederhana.
Aku baru akan menyentuh piring ketika suara dentuman keras mengguncang markas. Dinding bergetar, lampu bergoyang.
Tim lamaku datang.
Mereka muncul dengan wajah dingin, tanpa ragu menodongkan senapan laser. Cahaya merah menyambar, menembaki ruangan brutal.
Aku terhuyung, berlari bersama pimpinan nyentrik dan dua pria yang tadi bersamaku. Mereka berteriak:
“Lari duluan! Selamatkan dirimu!”
Aku menoleh, melihat mereka berusaha menahan tembakan dengan perisai darurat. Tatap mata mereka jelas—ada yang rela melindungiku.
Aku berlari ke lorong gelap, sementara di belakang, suara pertempuran bergema, bercampur denting laser, jeritan, dan tekad yang tak tergoyahkan.
Mimpi itu berhenti di situ. Tapi rasa takut, bingung, dan anehnya hangat masih membekas saat aku terbangun. Seolah aku baru saja hidup di dunia lain—dikejar buaya, diuji soal matematika, dikhianati sekaligus diterima, dan akhirnya memilih jalan yang tak pernah kuduga.
Selesai.