Elora mengusap embun tipis di jendela kafe, mencari-cari siluet familiar di antara lautan payung yang basah oleh hujan sore. Jantungnya berdesir setiap kali melihat seorang pria paruh baya mengenakan syal wol—syal yang persis seperti milik Ayah dulu. Sudah sepuluh tahun sejak Tembok Besar itu dibangun, sepuluh tahun sejak pagi yang dingin itu memisahkan mereka.
Elora ingat betul. Saat itu, ia baru berusia tujuh tahun, sibuk mengejar kupu-kupu di halaman belakang rumah mereka yang asri, tepat di garis perbatasan. Tiba-tiba, sirene meraung, dan segerombolan tentara berbaju hijau datang, wajah-wajah tegang di bawah topi baja. Ayah, seorang teknisi listrik yang keras kepala, berada di sisi lain, sedang memperbaiki gardu induk. Ibu menarik Elora menjauh, menjerit agar Ayah cepat kembali. Namun, secepat kilat, truk-truk pengangkut material datang, dan dalam hitungan jam, beton-beton tebal mulai menutup pandangan, membelah desa, membelah negara, dan membelah Keluarga Widjaya.
Ayah mereka, Bagas, kini tinggal di Wilayah Utara, yang kabarnya makmur, tapi ketat aturannya. Elora dan Ibu, Ratna, terperangkap di Wilayah Selatan, yang lebih bebas, namun kesulitan ekonomi. Komunikasi terputus total. Surat dikembalikan. Panggilan telepon? Mustahil. Tembok itu bukan hanya beton; ia adalah kuburan bagi kenangan dan harapan.
"Lagi-lagi melamun, Ra?" Suara serak Ratna membuyarkan lamunan Elora. Ratna meletakkan secangkir cokelat panas di hadapan putrinya. Wajah Ratna kini dihiasi garis-garis halus, bekas tangis yang tak terhitung jumlahnya.
"Aku cuma berharap, Bu, ada celah kecil saja, cukup untuk melambaikan tangan." Elora menggenggam tangan Ratna, yang dingin.
"Celah itu tidak ada, Nak. Sudah ribuan orang mencobanya. Kita hanya punya satu sama lain, itu sudah cukup," Ratna berujar, mencoba terdengar tabah, namun matanya memancarkan kesepian yang dalam.
Bertahun-tahun berlalu. Elora tumbuh menjadi seorang mahasiswi arsitektur, ironisnya, ia belajar cara meruntuhkan—atau setidaknya, cara menghubungkan kembali. Sementara itu, Ratna bekerja keras, menyimpan setiap sen.
Suatu malam, ketika Elora sedang mengerjakan sketsa desain jembatan imajiner di meja belajarnya, Ratna masuk dengan wajah pucat. Di tangannya, selembar kertas lusuh.
"Ini... ini dari Pak Ardi," bisik Ratna, menyebut nama seorang mantan tetangga yang sempat menyeberang ke Utara sebelum perbatasan ditutup total. "Dia berhasil mengirimkan pesan rahasia melalui jalur logistik. Dia bilang... dia bertemu Ayahmu."
Jantung Elora berpacu kencang. Ia merebut kertas itu. Hanya ada dua kalimat, ditulis tergesa-gesa dengan tinta pudar: “Gardu Induk Lama. Jam 12 malam, Purnama.”
Gardu Induk Lama. Itu adalah tempat terakhir kali mereka melihat Bagas. Dan malam itu, adalah malam Purnama.
"Bu, ini dia. Ini celah yang kita tunggu!" Elora berseru, matanya berkaca-kaca.
Ratna menarik napas dalam-dalam. "Ini sangat berbahaya, Ra. Patroli di sana sangat ketat. Jika kita tertangkap..."
"Kita harus mencobanya, Bu. Sudah sepuluh tahun. Kita perlu tahu Ayah baik-baik saja."
Malam itu, di bawah cahaya bulan purnama yang pucat, Elora dan Ratna menyelinap. Mereka berjalan kaki selama berjam-jam, menyusuri jalan-jalan gelap yang sudah lama tidak dilalui orang, hingga akhirnya mencapai bayangan raksasa Gardu Induk Lama. Tembok Besar itu menjulang di hadapan mereka, beton abu-abu yang dingin dan mengancam.
Tepat pukul 12 malam, terdengar suara gesekan logam yang amat pelan dari balik tembok. Elora dan Ratna menahan napas.
Suara itu semakin keras, seperti seseorang yang sedang memindahkan benda berat.
Tiba-tiba, di dasar Tembok, di dekat pondasi Gardu, terlihat celah sempit, hanya sebesar kotak pos. Celah itu tercipta dari beton yang sedikit bergeser karena getaran mesin tua gardu.
Dari celah itu, muncul sehelai kertas terlipat. Elora dengan gemetar mengambilnya. Tulisannya adalah tulisan tangan Ayah.
“Ratna, Elora. Aku baik-baik saja. Aku bekerja di gardu ini. Setiap purnama, tekanan listrik membuat fondasi ini bergeser sedikit. Cuma sebentar. Aku harap kalian bahagia. Jangan pernah kembali ke sini. Bahaya. Ayah mencintai kalian.”
Air mata Elora membasahi kertas itu. "Ayah! Ayah, ini aku, Elora!" bisiknya, air mata mengalir deras. Ratna menutup mulutnya, menangis tanpa suara.
"Ayah!" panggil Elora sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Dari balik tembok, sebuah suara parau terdengar, suara yang samar-samar namun sangat dirindukan, suara yang sama seperti saat Ayah mendongeng sebelum tidur.
"Elora... Kau sudah besar, Nak. Maafkan Ayah. Jaga Ibumu baik-baik."
"Kami merindukanmu, Ayah! Kapan kita bisa berkumpul lagi?" tanya Elora, suaranya tercekat.
Ada keheningan panjang, hanya bunyi deru angin. Lalu, suara itu kembali, penuh dengan kesedihan dan ketegasan.
"Tidak akan ada 'lagi', Sayang. Tapi ingat, Tembok ini hanya memisahkan tempat kita berdiri. Ia tidak pernah bisa memisahkan hati kita. Hiduplah. Untuk Ayah."
Kemudian, terdengar bunyi krak yang keras, dan celah itu menutup rapat, tak meninggalkan jejak. Beton abu-abu itu kembali sempurna, mengunci Bagas di satu sisi, dan meninggalkan Ratna serta Elora di sisi yang lain.
Mereka berjalan pulang dalam diam. Ratna memeluk erat putrinya. Mereka terpisah, tapi tidak lagi sendiri. Kata-kata Ayah telah menjadi jangkar mereka.
Tahun berikutnya, Elora lulus dengan predikat terbaik. Proyek tugas akhirnya? Sebuah desain kota baru yang terletak tepat di sepanjang Tembok, di mana setiap bangunan dirancang untuk memiliki jendela yang menghadap ke Tembok, bukan untuk melihat beton, melainkan untuk mengingat bahwa di baliknya, ada harapan. Ia menamai proyek itu: "Kota Harapan: Di Sisi yang Berlawanan."
Elora tahu, mereka mungkin tidak akan pernah makan malam bersama lagi. Tapi, setiap malam purnama, Elora dan Ratna akan berdiri di dekat Gardu Induk Lama, menatap Tembok yang dingin. Mereka tahu, di sisi lain, Bagas melakukan hal yang sama.
Keluarga Widjaya terpisah oleh beton dan politik, tapi disatukan oleh bulan, sebuah janji, dan keyakinan bahwa cinta, sekuat apapun Tembok yang menghalangi, akan selalu menemukan jalannya untuk melampaui.
-~selesai-_