Jarum jam terus berdetak seirama dengan ritme jantung Jeno. Malam ini ia kembali ke luar, menembus kesunyian.
Handle pintu bergerak selaras dengan pintu yang terbuka, menampakkan eksistensinya dari dalam kamar.
Suasana hening menyapa, maklum saja waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 KST. Kakinya yang jenjang terayun menuruni tangga demi tangga. Langkah lebarnya terus bergerak hingga membawanya ke depan pintu dan keluar.
Dari balik celah-celah tirai, seluruh gerak-gerik Jeno tak luput dari pandangan mata besar Jaemin. Sedikit mengerutkan kening, Jaemin merasa heran dengan sepupunya itu. Mau ke mana ia malam-malam begini?
Deru motor memecah kesunyian malam, bersamaan dengan gas polutan yang menari-nari di udara akibat sang kuda besi berwarna hitam kebanggaan Jeno.
“Jeno pergi ke mana, ya? Kok malam banget, apa dia ikut balap liar, sekarang?” monolog Jaemin diselimuti rasa penasaran.
Ia kembali berjalan ke arah sofa meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Meski itu bukan urusannya, tak ayal Jaemin tetap merasa penasaran.
Matanya memandang ke arah laptop yang menampilkan bahan untuk presentasi meeting besok. Namun, pikirannya tetap melayang-layang pada kebiasaan dan perilaku Jeno yang perlahan-lahan berubah.
“Sejak kapan kamu kenal sama dunia malam, Jen? Setahuku kamu nggak pernah begini,” gumam Jaemin dalam kesunyiannya.
Dahulu saat mereka masih kecil, Jeno dan Jaemin selalu bersama menghabiskan masa kecil mereka. Di matanya, Jeno seperti seorang pahlawan, yang selalu melindunginya dari anak-anak yang berniat jahat padanya.
Jeno dan Jaemin sempat terpisah, Jaemin dan orang tuanya pindah ke Amerika lantaran tuntutan pekerjaan sang ayah. Dan kembali lagi ke Seoul saat sekolah menengah atas, setelah kedua orang tuanya tiada.
Di saat itulah semua perubahan dimulai tanpa disadari.
“Aku kangen kita kaya dulu, Jen. Kangen di mana kamu yang selalu jadi pahlawan buat aku saat aku di-bully, kangen saat kamu payungi aku biar aku nggak kehujanan, padahal kamu sendiri kebasahan sampai paginya kena flu. Aku kangen sama kebersamaan kita dulu, Jeno. Nana kangen banget sama Nono,” gumam Jaemin dengan nada suara yang terdengar bergetar.
Setetes kristal bening meluncur dari pelupuk mata Jaemin kala ingatannya memutar—mengenang kedekatannya dengan Jeno bak kaset rusak.
***
Dinginnya udara malam bak sebuah hujan panah yang menusuk kulit pucat milik Jeno hingga ke tulang. Namun, semua itu tidak membuat Jeno gentar. Ia terus menambah persneling-nya. Menggilas debu jalanan dan menembus kegelapan malam hingga mencapai tempat yang ia tuju.
Hingga roda-roda yang bergulir itu berhenti pada sebuah bangunan sederhana, sebuah studio yang terletak di pinggir kota, dengan cahaya oranye yang berpendar menerangi beranda.
Derit pintu yang begitu nyaring menyapa rungu Jeno sesaat ia memutar kunci untuk membuka pintunya.
Kegelapan menyapa netra. Jeno masuk ke dalamnya menyalakan saklar. yang menerangi sepanjang lorong studio.
Tangannya terjulur begitu sampai di salah satu ruangan dalam studio itu. Terbukalah pintu dan tampaklah kegelapan yang lagi-lagi menyapa netranya.
Jeno berjalan tanpa suara, sambil menyibakkan tirai yang menutupi jendela remang-remang cahaya langsung menembus masuk ke dalam sebuah ruangan yang dihiasi aroma cat minyak yang sangat pekat dan khas.
Di depan jendela sendiri, terdapat kursi dan sebuah kanvas yang berisi lukisan sebuah kota mati.
Dengan duduk membelakangi jendela Jeno memegang kuas dan menyiapkan cat minyak yang dibutuhkan, setelah semua persiapan selesai, ia melanjutkan menyapukan kuasnya dan serta palet dan alat lukis lainnya guna merampungkan lukisannya yang sudah 95% itu.
Sepersekian detik Jeno larut dan tenggelam dalam pekerjaannya tangannya yang terlihat tegas tampak menari-nari membentuk suatu objek dalam sebuah kanvas menjadikan lukisan itu tampak hidup, hingga pengerjaannya usai.
Sebuah lukisan kota mati dengan beberapa kerangka manusia bernyawa, tanpa daging, tanpa kulit, hanya sebuah tulang bernyawa.
Lukisan ini ia beri judul bat country, setiap detail lukisannya seakan bercerita bahwa kota ini hidup tetapi mati, hidup secara harafiah, tetapi menggambarkan empati manusia yang mati karena tergerus rasa individualis dan keserakahan manusia hingga menindas manusia lain.
Keadilan yang dulu bergema kini perlahan tenggelam dalam rasa haus keegoisan beberapa orang.
Lukisan dengan horizon yang memiliki warna nyala api, dengan pelataran berwarna hijau lumut yang begitu gelap layaknya kubangan lumpur yang bercampur dengan genangan darah.
Beberapa warna merah darah tampak menghiasi di kanvas besar itu dan tak lupa sang objek utama yang menatap kosong tanpa harapan, ada pula yang tengah berperang mencoba mencari dan merebut keadilan yang tenggelam, dengan sekelilingnya ada beberapa gambar kelelawar yang menghiasi, tampak sempurna.
Senyum kepuasan yang sarat akan kegetiran terbit di wajah Jeno.
“Perfect! Tinggal gue jual, lumayan juga nih yang pesan punya selera berkelas,” gumam Jeno dalam kesendirian.
Malam itu, Jeno benar-benar merasa hidup kembali hanya sekedar menatap lukisannya yang sudah selesai hidup dalam kegelapan dan menyatu dengan kegelapan itu sendiri.