Ending_____
Sudah tiga hari sejak malam itu.
Tiga hari sejak Mira terakhir melihat Karin — atau lebih tepatnya, bayangan Karin di dalam cermin.
Polisi datang, menanyakan kronologi. Mereka bilang, “Tidak ada yang hilang, nona. Kami memeriksa kamar itu — cuma ada satu orang di sana, Anda.”
Tapi Mira tahu itu bohong. Ia masih ingat suara bisikan, hembusan angin, dan mata hitam milik Karin.
Setiap malam, sejak ia kembali ke rumah, kejadian aneh mulai terjadi. Cermin di kamarnya sering berembun meski udara panas. Kadang ia mendengar ketukan lembut dari balik kaca. Tiga kali setiap kali tengah malam. Tok... tok... tok.
Malam keempat, Mira memutuskan untuk menutup semua cermin dengan kain putih. Namun entah kenapa, cermin besar di ruang tamu tiba-tiba tak tertutup. Ia yakin sudah menutup semuanya.
Saat ia mendekat, pantulan yang tampak di sana bukan dirinya — melainkan Karin, berdiri dengan pakaian putih lusuh yang sama seperti malam itu.
“Mira...” suara itu terdengar, seperti datang dari dalam pikirannya. “Kau berjanji... menolongku...”
Mira mundur, tubuhnya gemetar.
“Aku... aku nggak tahu harus gimana...”
“Buka jalannya,” bisik suara itu. “Sama seperti aku dulu...”
Mira memejamkan mata, air matanya menetes. “Aku nggak mau!”
Ketika ia membuka mata, Karin sudah tidak ada. Tapi di cermin, bayangan Mira sendiri kini menatap dengan mata hitam legam.
Sejak saat itu, bayangan itu tak lagi menirunya. Kadang tersenyum ketika ia tidak, kadang melambaikan tangan ketika Mira hanya menatap kosong.
Mira mulai mencari jawaban. Ia kembali ke penginapan tua itu, membawa keberanian yang tersisa. Namun, tempat itu sudah kosong. Resepsionis tua yang dulu memberinya kunci sudah tak ada. Di balik meja hanya tergantung papan berdebu dengan tulisan samar:
> “Dilarang menggunakan kamar 7 sejak kejadian 2005.”
Jantung Mira berdegup cepat. Ia menyusuri koridor gelap yang masih berbau lembap. Sampai di depan kamar 7, pintunya terbuka pelan — seolah menantinya. Di dalam, cermin itu masih berdiri di sudut yang sama, memantulkan ruangan kosong.
Mira menatapnya lama, air matanya menetes.
“Rin... kalau kau memang masih di sana...”
Bayangan di dalam cermin bergerak lebih dulu. Karin menatapnya, tersenyum... lalu mengangkat tangan perlahan, menyentuh permukaan kaca dari dalam.
“Bersamaku, Mira...” bisiknya lembut.
Mira menatapnya, langkahnya goyah. Suara bisikan itu makin keras, memanggil, memohon. Dan ketika ujung jarinya menyentuh permukaan cermin, sesuatu hangat — seperti denyut nadi — terasa menyambutnya dari balik sana.
Lalu semuanya gelap.
Keesokan harinya, penginapan itu ditutup total. Di kamar 7, hanya ada dua bayangan perempuan di dalam cermin, berdiri berdampingan, tersenyum samar ke arah siapa pun yang berani melihat terlalu lama.