Part 1____
Langit sore di atas penginapan tua itu berwarna kelabu, seolah menahan hujan yang tak kunjung turun. Di bawah papan nama yang catnya mulai mengelupas, dua perempuan muda menurunkan tas mereka.
“Yakin kita nginep di sini, Rin?” tanya Mira, suaranya ragu.
Karin, teman sekamarnya, hanya tersenyum samar. “Cuma semalam. Besok pagi langsung berangkat lagi. Lagipula... semua penginapan lain penuh.”
Resepsionis tua yang duduk di balik meja hanya menatap mereka tanpa banyak bicara. “Kamar tujuh, lantai dua. Jangan buka jendela setelah jam sepuluh malam,” katanya lirih sambil menyerahkan kunci.
Karin dan Mira saling berpandangan, mengira itu hanya nasihat aneh dari orang tua kesepian. Namun, ketika mereka sampai di lantai dua, hawa dingin langsung menyergap. Koridor panjang dengan lampu redup itu seperti bernafas perlahan—seolah temboknya sendiri mendengar setiap langkah mereka.
Begitu pintu kamar 7 dibuka, aroma lembap dan debu menyambut. Di sudut ruangan, ada cermin tinggi berbingkai kayu hitam. Entah kenapa, Karin merasa cermin itu sedikit berembun... padahal udara begitu kering.
Malam pun datang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.56.
Mira tertidur lebih dulu, sedangkan Karin masih menatap layar ponselnya. Hujan mulai turun, mengetuk jendela dengan irama tak beraturan. Saat Karin hendak mematikan lampu, suara samar terdengar dari arah cermin.
“...tolong...”
Karin menegakkan tubuh.
“Mira?” bisiknya. Tapi temannya masih terlelap.
Suara itu terdengar lagi—lebih jelas kali ini.
“...tolong aku keluar...”
Karin memandang cermin. Di balik pantulannya, ia melihat seorang perempuan berdiri, rambutnya menutupi wajah, mengenakan pakaian putih lusuh. Tubuh Karin menegang, napasnya tertahan.
Perempuan di cermin itu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya kosong, pucat, dan hitam di bagian tengah. Bibirnya bergerak tanpa suara, tetapi Karin bisa merasakan kata yang diucapkannya:
“Buka... jendela...”
Seketika lampu kamar berkelap-kelip. Dari kasur, Mira terbangun panik.
“Rin... apa yang kau lakukan?”
Karin menatapnya dengan wajah kaku, tangan kanannya sudah menggenggam kunci jendela.
“Dia... bilang butuh udara...”
Dan tepat saat jam berdetak 10:00, bunyi “klik” terdengar.
Udara dingin segera menyeruak begitu jendela kamar 7 terbuka. Angin malam menerobos masuk, membawa aroma tanah basah dan suara gemuruh halus seperti bisikan dari jauh. Tirai menari liar, dan lampu kamar padam seketika.
“Mira...” suara Karin terdengar serak, hampir tak seperti miliknya. “Kau juga dengar, kan? Dia minta bantuan...”
Mira bangkit dari kasur, menatap ngeri ke arah cermin. Pantulan di dalamnya tidak menunjukkan mereka berdua — hanya Karin yang berdiri di depan jendela, dan sosok perempuan berpakaian putih berdiri di belakangnya, menempel seperti bayangan.
“Rin! Tutup jendelanya! Sekarang!”
Karin tidak bergerak. Perlahan, dia menoleh... dan Mira menjerit — karena mata Karin kini berwarna hitam legam, seperti kolam tanpa dasar.
“Dia... ingin keluar,” bisik Karin. “Tapi pintunya cuma ini.”
Hembusan angin berubah menjadi pusaran. Cermin di dinding bergetar, retak di sudut-sudutnya. Dari celah retakan itu, tangan pucat mulai menjulur keluar, menggenggam udara, lalu bahu Karin. Suara gemeretak memenuhi kamar, disusul jeritan panjang yang melengking dan tiba-tiba terputus.
Ketika semua tenang kembali, jendela sudah tertutup lagi — dengan sendirinya. Lampu berkelap sebentar, lalu menyala.
Mira berdiri kaku, tubuhnya gemetar. Karin sudah tidak ada. Yang tersisa hanyalah cermin yang kini tampak utuh kembali, tak ada retakan... tapi di dalam pantulannya, Mira bisa melihat Karin sedang berdiri di sisi lain, menatap dengan wajah kosong.
“Rin...?”
Pantulan itu menatapnya — lalu tersenyum tipis.
Bibirnya bergerak, tanpa suara, tapi Mira bisa membaca jelas kata yang diucapkannya:
> “Sekarang giliranmu...”
Suara pintu terkunci dengan bunyi klik pelan.
Lampu padam.
Dan dari dalam cermin, suara berbisik kembali terdengar:
“...tolong aku keluar...”