Hari pertama masuk SMP, Noren Morozova duduk di bangku paling depan dekat
meja guru. Matanya menatap kosong ke papan tulis yang masih bersih seolah papan itu bisa
memberinya jawaban atas rasa takut yang berputar di dadanya. Suara riuh teman-temannya
yang saling bercanda membentuk lingkaran pertemanan justru membuatnya makin merasa
asing. Ada geng anak-anak yang kaya dengan ponselnya, ada geng anak-anak bandel yang
gaduh sejak awal yang kebanyakan dari mereka anak laki-laki, ada barisan anak-anak cantik
yang sudah sibuk ber-selfie, dan ada pula kelompok anak-anak populer yang seperti sudah
saling mengenal sebelumnya.
Deg,deg,deg,deg,deg,deg…
Dadanya berdegup kencang seolah-olah jantungnya berusaha menerobos keluar dari
tulang rusuk, keringat dingin mulai merembes di telapak tangannya membuat genggaman
kedua tangannya terasa licin dan gelisah. Napasnya tidak beraturan, kadang terburu-buru
seakan udara di sekelilingnya menipis. Bayangan masa SD muncul kembali, masa di mana ia
sering dirundung hanya karena pintar dan menjadi anak kesayangan guru. Teman-temannya
dulu menganggap Noren adalah anak yang suka mencari perhatian,pengadu dan berlagak
pintar. Padahal ia hanya melakukan apa yang dianggap benar. Luka itu masih membekas di
hatinya membuatnya sulit percaya pada orang baru.
Saat ia mulai tenggelam dalam ketakutannya, tiga wajah familiar menghampirinya.
“Noren!?” suara lembut itu milik Eri Meijer, diikuti Bunga Sundari dan Violet
Isabelle. Mereka adalah teman-teman baiknya semasa SD.
Senyum mereka membuat Noren
sedikit lega.
“Ternyata kita sekelas lagi ya!” tambah Violet dengan tawa senangnya. Noren
menarik napas lega.
Rupanya aku tidak sendirian, batinnya.
Hari-harinya semasa SMP menjadi sedikit lebih ringan karena keberadaan mereka
bertiga. Meski Noren masih sering diam setidaknya ia punya sandaran. Namun semua
berubah ketika naik ke kelas 8.
---
KELAS BARU, DUNIA BARU
Peringkat tiga di rapor membuat Noren harus masuk kelas unggulan 8A. Ironisnya,
teman-teman dekatnya justru tersebar di kelas lain, Eri di 8D, Bunga di 8C, dan Violet di 8E,
rasanya seperti ditinggalkan. Kembali lagi ia harus menghadapi ruang asing dengan wajahwajah baru. Hari pertama di kelas 8A, Noren hanya bisa menunduk seraya membereskan
buku-buku di mejanya hingga sebuah suara ceria terdengar.
“Hai cantik, nama kamu Noren kan? Aku Helena salam kenal ya”.
Noren mendongak, seorang gadis berambut pendek datang sambil menghentakkan kedua
tangannya di meja Noren membuat pulpen di atas mejanya bergeser pelan. Sebatang permen
masih terselip di sudut bibirnya sementara dasi yang longgar membuat penampilannya
tampak santai. Dengan wajah ceria ia menunduk sedikit mendekatkan kepalanya pada Noren
seolah mereka memang sudah lama akrab. Ia adalah Helena Beatriz anak yang populer
disekolah. Anehnya ia justru mendekati Noren yang pendiam.
Sejak hari itu Helena sering menarik Noren ke dalam lingkaran aktivitas kelas, ia
mengajaknya ikut lomba kebersihan, menemani saat latihan voli, hingga sekedar berbagi
semangkuk bakso di kanti sekolah. Perlahan dunia Noren yang semula sempit mulai terbuka.
Senyum yang dulu jarang terlihat kini sering muncul, tawa kecilnya pun perlahan pecah
menjadi tawa lepas. Untuk pertama kalinya Noren merasa benar-benar diterima. Helena,
dengan segala kecerobohannya sekaligus keceriannya, menjadi jembatan yang
mempertemukan Noren dengan hangatnya dunia luar.
---
RETAK YANG TERSAMAR
Namun, sifat mereka berbeda jauh, Helena sering membuat onar kecil, membolos satu
jam, gaduh saat guru mengajar, hingga menggoda teman laki-laki, kadang kala Noren yang
terbiasa taat peraturan sering kali merasa tidak nyaman. Pernah satu kali guru menegur
mereka berdua karena Helena kedapatan menyalin pekerjaan rumah dari Noren.
“Kenapa sih kamu biarin aku kena tegur juga?” keluh Noren setelah pelajaran usai.
Helena mendengus. “Ya ampun, Ren. Santai aja kali. Kita ini masih SMP, jangan serius
banget deh!”
Sejak itu Noren mulai sering mengingkatkan Helena meski kerap berselisih dan terjadi
keributan kecil, selalu saja ada alasan untuk kembali akrab. Kadang setelah selesai kerja
kelompok, atau ketika Helena tiba-tiba datang meminta ditemani pulang, mereka bisa
kembali dekat seolah tak pernah bertengkar.
---
MASA SMA: CEMBURU DAN JARAK
Persahabatan ini bertahan hingga mereka masuk SMA. Awalnya, keduanya masih
sering pulang bersama, belajar kelompok, bahkan mengeluh soal guru yang galak. Tapi
semuanya berubah saat mereka mulai menemukan lingkaran baru. Helena cepat beradaptasi,
dan langsung masuk geng populer di SMA. Sementara Noren tetap tenang dengan beberapa
teman yang gemar belajar.
“Akhir-akhir ini kamu sibuk banget ya?” ujar Noren suatu sore
Helena hanya tertawa. “Iya nih, ada ekskul yang harus kuikuti, terus nongkrong lagi. Kamu
juga sibuk, sibuk belajar terus”.
Keduanya mulai saling cemburu. Helena merasa Noren lebih
memilih buku dan teman-temannya.
“Kok dia bisa pintar begitu ya”. Keluh Helena dalam hati.
Noren merasa Helena berubah, terlalu sibuk dengan dunianya. Lambat laun komunikasi
mereka berkurang hingga kelas 10 semester dua. Meski begitu, keduanya masih saling
memperhatikan dari jauh. Noren kadang melihat Helena tertawa bersama teman-teman
barunya, ada rasa iri sekaligus rindu. Helena pun diam-diam sering memperhatikan Noren
yang fokus belajar di perpustakaan meski geng barunya kerap menertawakan kebiasaan itu.
Suatu hari nilai ujian Helena turun drastis, ia mulai panik dan bingung harus bagaimana.
Dalam kebingungannya ia teringat Noren, teman lamanya yang selalu siap membantu belajar
dulu. Malam itu dengan sedikit ragu, ia memberanikan diri mengirim pesan.
“Noren, bisa bantu aku belajar lagi nggak?”
Noren terdiam menatap layar, meski hatinya sempat sakit karena jarak yang terbentuk, ia
tersenyum kecil.
“Tentu, kapan pun kamu butuh.”
Sejak saat itu, perlahan keduanya menemukan jalan untuk kembali meski dengan versi diri
yang sudah berbeda. Mereka belajar bahwa persahabatan tak selalu mulus, tapi jika saling
memahami jarak pun bisa disatukan kembali.
---
REUNI SMP: SAAT SEMUA TERUCAP
Waktu berlalu cepat, SMA hampir usai ketika ada undangan reuni SMP. Noren datang
dengan perasaan campur aduk ia tidak tahu apakah Helena juga akan hadir. Ternyata Helena
datang, masih dengan senyum lebarnya tapi matanya menyimpan kelelahan. Mereka akhirnya
duduk berdua setelah canggung di keramaian, tapi matanya menyimpan banyak cerita.
“Kamu masih marah ya?” tanya Helena tiba-tiba.
Noren menggeleng. “Bukan marah. Cuma… Aku bingung kenapa kita jadi asing.”
Helena menunduk. “Aku juga bingung. Aku cuma… capek, Ren. Sejak kecil aku tinggal sama tante. Mama ada di kota lain. Aku butuh teman, butuh tempat buat curhat dan
dengar keluh kesahku. Makanya aku suka ikut ekskul, nongkrong dengan teman-temanku,
sampai-sampai aku terlambat pulang karena itu. Tapi aku sadar, itu bikin aku jauh dari
kamu.”
Noren terdiam, baru kali ini Helena jujur soal keluarganya.
Giliran Noren bicara, suaranya lirih.
“Aku sih sejujurnya iri sama kamu Hel. Kamu mudah
berteman, gampang bikin orang ketawa. Aku selalu takut dianggap aneh jadi aku lebih milih
buku daripada keramaian. Tapi aku sadar ini bikin aku menjauh.”
Mereka tertawa kecil, lalu
suasana kembali cair. Ada kesadaran bahwa mereka sudah menempuh jalan berbeda, tapi
tetap ada benang halus yang menyatukan jiwa bersahabat di antara mereka.
Setelah percakapan itu suasana reuni terasa berbeda. Mereka tak lagi canggung.
Helena memperkenalkan Noren pada teman-teman gengnya sementara Noren dengan bangga
menunjukkan prestasi yang ia raih. Malam itu, meski tak ada janji untuk kembali seperti dulu,
keduanya sepakat untuk saling menjaga silahturami.
Helena menepuk bahu Noren sebelum pulang. “Terima kasih ya Ren, sudah tetap jadi
sahabatku meskipun aku sempat menjauh.”
Noren tersenyum. “Kamu tetap sahabatku, Hel. Cuma jalannya saja yang berbeda.”
Dan malam itu, keduanya pulang dengan hati lebih ringan, membawa kenangan lama
yang diperbaharui dengan pemahaman baru.
---
PERPISAHAAN YANG SEBENARNYA
Tak lama setelah reuni, Helena merantau ke kota lain untuk bekerja dan tinggal
bersama ibunya. Sedangkan Noren lanjut kuliah di universitas impiannya. Komunikasi
mereka hanya lewat media sosial, sekedar saling melihat story, membalas foto dengan emoji, atau memutar ulang video lama.
Lambat laun semua itu pun menghilang. Mereka terlalu
sibuk dengan hidup masing-masing. Ada saatnya orang datang dan pergi. Ada saatnya kita
belajar bahwa tidak semua persahabatan bisa bertahan selamanya. Norenseringkali membuka
galeri ponselnya, melihat foto lama saat ia dan Helena tertawa di kantin SMP. Ia tersenyum
tipis lalu menutup layar.
“Mungkin memang begini jalannya, Helena tetap jadi bagian dari hidupku meski sekarang
hanya lewat kenangan.”
Kadang, yang tersisa dari sebuah persahabatan bukanlah kehadiran yang nyata,
melainkan jejak rasa yang tak pernah hilang. Mereka mungkin sudah berjalan di jalan
masing-masing, namun di sudut hati, ada ruang kecil yang tetap menyimpan nama satu sama
lain.
Dan di situlah mereka belajar: bahwa perpisahan bukan berarti hilang, melainkan
berubah menjadi cerita yang akan selalu hidup, setiap kali mereka mengenangnya.