Senja belum matang sempurna ketika langkah kami menapaki setiap jengkal tepian danau Sarangan.
Riuh rendah tawa muda-mudi memadu kasih bersahutan dengan derap kaki kuda yang menggema di antara dinding hotel dan vila. Namun kami berjalan beriringan, mencuri genggaman tangan di sela angin yang mulai dingin, seolah sepasang kekasih yang baru saja diikat oleh ikrar langit.
Kami menelusuri jalan setapak mencari kedai kopi yang konon baristanya paling piawai. Satu meter, dua meter, belum juga tampak. Di tengah langkah, aku berhenti, merogoh tas kecilku.
“Mas, sebentar,” ujarku, sambil mengangkat ponsel. Jepret!
Satu “sampah digital” tersimpan, tapi entah mengapa terasa berharga.
Langkah kami berlanjut, diselingi perbincangan remeh tentang kehidupan, tentang anak yang harus kami belikan oleh-oleh diam-diam, tentang hal-hal kecil yang seolah tak penting tapi membuat waktu berjalan lebih pelan. Hingga akhirnya kami menemukan kedai kopi kecil di sudut jalan — tampak sederhana, tapi hangatnya memanggil.
Segelas kopi, segelas cokelat panas. Kami bercengkerama dengan barista sambil menunggu, lalu berjalan lagi sambil menyesap hangatnya minuman.
Aku memintanya berhenti di tepi danau. Angin memainkan ujung kerudungku. Kami diam, larut dalam keheningan yang menenangkan. Hamparan air Sarangan memantulkan langit yang seperti tenunan cahaya — indah, tenang, dan jujur.
Dan di sanalah aku kembali teringat pada wejangan Bapak. “Belajar bukan hanya dengan membuka buku, Nak. Alam pun bisa menjadi guru. Bahkan angin yang berhembus, manusia yang lewat, semuanya bisa kau baca.”
Entah mengapa, dari begitu banyak nasihat beliau, hanya kalimat itu yang tertanam paling dalam.
Mungkin karena Bapak — si Virgo — memang hidup dengan caranya sendiri: tegas namun lembut, sepi namun penuh renung. Kini aku tahu, dari beliaulah aku belajar mencintai hal-hal yang tampak remeh bagi orang lain, tapi terasa seperti harta karun bagiku.