Pagi itu, udara menusuk kulit. Rinai gerimis membasahi jalanan setapak menuju halte bus. Bapak Hadi berdiri di ambang pintu rumah kecilnya, mengawasi Alya, putrinya yang baru kelas empat SD, bersiap berangkat sekolah.
"Jangan lupa payungmu, Nak," ujar Bapak Hadi, suaranya serak.
Alya, gadis kecil dengan sepasang mata bulat yang selalu bersinar, menoleh. "Sudah, Pak. Payung kuning kesayanganku!"
Payung kuning itu adalah hadiah ulang tahun Alya tahun lalu, dibeli Bapak Hadi dari uang lemburnya. Itu bukan payung mahal, tapi bagi Alya, payung itu seperti matahari kecil yang menemaninya di hari-hari mendung.
Bapak Hadi sendiri tak bisa mengantar Alya karena harus segera berangkat bekerja di pabrik tekstil. Sudah enam bulan Bapak Hadi berjuang sendirian setelah istri tercinta meninggal karena sakit. Hanya ada mereka berdua, di rumah sederhana dengan atap yang bocor di musim hujan.
"Hati-hati, Nak. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Bapak," pesan Bapak Hadi.
"Siap, Kapten!" Alya memberi hormat lucu, lalu melangkah riang di bawah lindungan payung kuningnya.
Di sore hari, hujan turun jauh lebih deras, disertai guntur menggelegar. Bapak Hadi cemas. Ia tahu Alya harus berjalan cukup jauh dari halte ke rumah. Ia bergegas minta izin pulang lebih awal, mengabaikan tatapan tak suka mandornya.
Bapak Hadi berlari menerjang hujan. Saat ia mencapai tikungan dekat komplek perumahan, ia melihat kerumunan kecil. Jantungnya mencelos. Di tengah kerumunan itu, Alya duduk meringkuk di bangku halte yang kosong, menggigil kedinginan.
Namun, yang membuat Bapak Hadi terpaku bukan itu. Di atas kepala Alya, menaunginya dari derasnya air hujan, ada seorang nenek tua dengan pakaian lusuh. Dan di atas kepala nenek itu, terbuka, melindungi keduanya, adalah payung kuning milik Alya.
Bapak Hadi segera mendekat. "Alya! Ya Tuhan, kenapa kamu tidak pakai payungmu sendiri?"
Alya menoleh, wajahnya pucat namun matanya tetap bersinar lembut.
"Bapak," katanya pelan, sambil menunjuk ke arah nenek di sampingnya. "Nenek ini tadi kehujanan deras sekali, Pak. Bajunya basah kuyup. Dia tidak punya payung."
Nenek itu tersenyum tanpa gigi. "Dia anak yang baik, Nak. Dia bilang, 'Matahari kecil harusnya menemani mereka yang paling membutuhkannya.' Lalu dia memberikan payung ini padaku."
Air mata Bapak Hadi tumpah, bercampur dengan air hujan. Ia tidak marah, ia tidak kecewa. Hatinya justru dipenuhi rasa hangat yang luar biasa. Payung itu mungkin hanya benda, tapi tindakan putrinya mengajarkannya makna berbagi kasih yang sesungguhnya.
Ia berjongkok, memeluk Alya erat-erat. "Kamu anak Bapak yang hebat," bisiknya.
Bapak Hadi lalu membantu nenek itu berteduh di teras warung terdekat dan memberinya sedikit uang sebelum mengajak Alya pulang. Di sepanjang perjalanan pulang, Bapak Hadi memeluk Alya, berbagi satu-satunya jaket tipis yang ia kenakan, dan membiarkan hujan membasahi mereka.
Mereka tak lagi terlindungi oleh payung kuning, tapi hati mereka terasa jauh lebih hangat dan terlindungi oleh kebaikan sederhana yang baru saja mereka bagi. Payung kuning itu kini telah menjadi simbol; bukan hanya hadiah ulang tahun, tetapi juga pelajaran abadi tentang empati dan cinta tanpa syarat.