Ada di antara pedagang-pedagang nakal yang membuatku geli, bukan geli, hanya saja membuatku merinding setengah mati. Aku manusia normal yang bisa merasakan atmosfer berbeda, di antara pengunjung setia yang membeli daging ayam atau daging babi di sebuah pasar, nama pasarnya Sloken.
Aku merasa ada yang salah dalam sudut pandang mataku, aku memang agak waras belakangan ini jika sudah menanggapi berbagai hal yang magis. Tak pandang bulu, saudaraku sendiri menganggapku setres dan gila.
Awalnya, aku diajak Bu Sujinem membeli keperluan daging, untuk acara selametan anaknya yang ingin mengganti nama. Penyebabnya karena anaknya sering sakit-sakitan tak jelas. Aku diajak pun karena memang sedang menganggur di rumah, niatnya mau membantu Bu Sujinem memasak, tetapi akhirnya aku diajak olehnya ke Pasar Sloken.
“Nun, kalau sudah bersuami, kamu harus tahu daerah sini. Apalagi kamu ‘kan sebentar lagi akan menikah dengan Rizal anak Pak Redo,” ucap Bu Sujinem.
Aku mengangguk-angguk saja, itu pun karena memang aku jarang atau bahkan tidak pernah menginjakan kaki ke pasar. Untuk pertama kali aku ikut dan berjalan kaki dari rumah sampai ke pasar. Tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu dua puluh delapan menit. Dan kami sampai di pasar saat seluruh Ibu-Ibu memadati dengan tas tentengannya.
Aku limbung, bukan karena banyak Ibu-Ibu yang memadati, atau juga bukan karena baru pertama kali injak pasar yang lumayan becek di sana-sini. Hanya saja, wangi pada pasar yang mengakibatkan kepalaku pusing tujuh keliling, dicampur dengan bau ketiak Ibu-Ibu yang lumayan menyengat sampai ke ulu hati.
Di sepanjang aku berjalan, di belakang Bu Sujinem, aku menutup hidung dengan tanganku, sesekali menutup hidung dengan bajuku yang belel. Aku menatap Bu Sujinem yang terlihat sudah biasa, dia tak merasakan baunya menusuk sampai ke paru-paru. Tak ada keanehan pada baunya yang seperti bangkai busuk.
“Ibu sering beli daging sama Pak Kirun, Nun,” kata Bu Sujinem di sela-sela kami berjalan, kami saat ini bisa beriringan berjalan, walaupun agak desak-desakan. Bu Sujinem menunjuk pedagang cabai di sebelah kiri, jauh dari tempat kami.
“Itu namanya Mba Sulastri, saya sering beli cabai di situ, murah, dan saya sering dikasih diskon kalau belanja banyak,” jelasnya.
Aku tak mengindahkan, masih tetap berjalan mengikuti ke mana kakinya melangkah. Kami di tempat bawang-bawang, masih berjalan terus mencapai tempat pedagang daging yang memang masih masuk ke dalamnya.
Lama-lama aku merasa mual, sulit berkonsentrasi pada jalan, terpaksa aku mendekati Bu Sujinem dan membisikinya.
“Bu, kok baunya kaya bangkai? Saya mual sekali.” Bu Sujinem tampaknya tidak terkejut, dia mengangguk dan mengencangkan bawaannya yang berada di ketiak.
“Saya sudah biasa dengan baunya. Mungkin karena kamu pertama kali ke sini. Dulu juga saya seperti kamu, mau muntah, pusing dengan bau-baunya yang aneh. Tapi lama-lama saya terbiasa, malah saya tidak mencium bau bangkai apa-apa, yang saya cium baunya hanya darah segar dari dagangan ayam, sapi, kambing dan babi di sana.”
Aku mengikuti arah pandang Bu Sujinem yang menunjukannya pada belokan ke kanan. Kami berarti habis ini akan pergi belok ke kanan. Ingin rasanya aku buru-buru, namun tampaknya Ibu-Ibu di depan dan di belakangku berjalan terlalu santai, mereka sama seperti Bu Sujinem yang tak mencium bau apa-apa, lebih tepatnya sudah terbiasa.
“Ini bukan bau darah segar, Bu. Saya malah menciumnya bau bangkai, atau bau taik ayam. Pusing kepala saya lama-lama.”
“Sabar,” balas Bu Sujinem tersenyum. Sebaiknya memang aku tidak mengomentari pasar atau mengoceh-oceh tentang pasar.
Di sekitarku tak ada yang merengek-rengek atau paling tidak menutup hidung dan merasa jijik.
Setelah mulutku diam walau batinku berkecamuk, kami berbelok di dekat genangan air dan di dekat pedagang beras raskin, orang-orang menyebut raskin karena kepanjangannya beras miskin, entah karena kenapa.
Aku rasa karena berasnya pera atau maur jika di masak. Dan kebanyakan dibeli oleh orang-orang yang tak mampu, memang sangat murah bila dipikir-pikir.
Saat kami berbelok, aku kembali mencium bau yang benar-benar lebih menusuk, bila ada daging busuk dan juga belatung yang menggerogoti, bau taik atau bau yang tidak enak dicium, di sini lebih dari bau itu.
Kedua mataku seolah menghitam, rasanya tidak seperti pertama kali aku menginjakan kaki ke pasar. Di sini sangat engap, memang di tempat itu adalah perkumpulan pedagang daging, daging apa pun di sini ada.
Saat kulirik pada jalanan lurus dan melihat pedagang-pedagang yang berdiri di sebelah kanan dan kiri, aku terkejut setengah mati, jalanku berhenti, tidak mengikuti Bu Sujinem yang memang sudah mendahuluiku sedari tadi, orang yang berada di belakangku pun menyelak, tanpa melihat-lihatku dulu.
Hatiku mencelos, dan tak bisa berkata apa-apa setelah melihat para pedagang yang rata-rata berwujud monyet dan juga berwujud para babi kelaparan.
Di pendengaranku yang lain, lebih tepatnya aku memiliki indra keenam. Suara babi dan suara monyet tengah menyalak-nyalak bagaikan memanggil-manggil kami, menyuruh kami untuk berhenti dan melihat-lihat dagingnya.
Aku termenung berdiri di dekat perbatasan pedagang beras dan juga pedagang daging, aku menoleh ke arah seorang pedagang yang memang dekat sekali denganku.
Wujudnya berbulu, benar-benar mirip monyet asli, entah mereka semua melihat dia dengan sudut pandang apa, karena mataku telah melihat realitanya seperti itu.
Bu Sujinem menoleh ke arahku yang tengah melamun, dia berbalik dan mencoel bahuku. Menyuruhku untuk tetap berjalan, padahal kondisi Bu Sujinem tadi sudah jauh sekali.
“Kok berhenti, Nun?” tanya Bu Sujinem.
“Saya,” kataku yang tak sanggup berucap, aku mendengar suara mereka semakin keras di kedua telingaku, rasanya mirip di kebun binatang atau seperti sedang berkeliling di taman safari.
“Saya apa? Ayuk Ainun, dikit lagi kita sampai,” katanya yang memaksaku untuk terus berjalan, lengannya sudah menyeretku dengan pelan.
Kami berjalan lagi, beriringan. Di saat kami sedang jalan, mereka menyalak lagi, suaranya aneh, ada yang seperti anjing, babi, yang paling kentara itu suara monyet, binatang yang paling aku segani.
Kehadiranku sepertinya diketahui mereka, maksudnya, mereka para monyet dan para babi itu tahu jika aku bisa melihatnya, mereka langsung seperti ganas, mirip hewan buas, aku bergetar berjalan di samping Bu Sujinem.
“Kamu kenapa, sih? Ada yang salah? Ditahan dulu ya Ainun, kita hampir sampai, kok. Ayok, tuh, Pak Kirun di sana.”
Bu Sujinem menunjuk seorang pedagang sapi yang sedang banyak orang-orang di sekitarnya. Aku langsung mengikuti arah tunjukan Bu Sujinem. Tampaknya Pak Kirun yang dibilang Bu Sujinem itu memakai pesugihan juga, wajahnya bukan mirip monyet, atau mirip babi, apalagi berwajah babi tetapi tubuhnya monyet.
Dia tak bisa ditandingi dengan pedagang-pedagang yang terbentang di sana-sini.
Saat kami sampai, Pak Kirun langsung melirikku, dia tersenyum. Bahkan aku tak mau melihat senyumnya yang menyeramkan itu.
Jika ada orang yang bisa melihat Pak Kirun, pasti tak akan bisa tidur sehari semalam. Karena wujud Pak Kirun adalah bukan salah satu hewan seperti mereka yang memakai pesugihan. Wujudnya seperti leak yang mengambang.
(*)