Salah satu candi Buddha kembar utama Plaosan Lor, di Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah dari dinasti Sailendra abad ke-9 zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi Plaosan adalah sebutan untuk kompleks percandian yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kira-kira satu kilometer ke arah timur-laut dari Candi Sewu atau Candi Prambanan.
Adanya kemuncak stupa, arca Buddha, serta candi-candi perwara (pendamping/kecil) yang berbentuk stupa menandakan bahwa candi-candi tersebut adalah candi Buddha. Kompleks ini dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan pada zaman Kerajaan Medang, atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Kompleks Candi Plaosan terdiri atas Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul. Pada masa lalu, Kompleks percandian ini dikelilingi oleh parit berbentuk persegi panjang. Sisa struktur tersebut masih bisa dilihat sampai saat ini di bagian timur dan barat candi. Candi Plaosan merupakan salah satu wisata pendidikan dan religi di Jawa Tengah.
Situs Candi Plaosan merupakan komplek pemujaan Buddhis yang dibangun pada abad ke-8 M dengan sebutan Jina Mandira dan terus berlanjut hingga pertengahan abad ke-9. Puncak pembangunannya diprakarsai oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan yang beragama Hindu dan permaisurinya, Sri Kahulunnan (Pramoddawardhani) yang beragama Buddha. Arsitektur Candi Plaosan menunjukkan ciri khas tersendiri yang terlihat dari dua candi induk “kembar” berlantai dua yang dikelilingi candi perwara dan stupa perwara, dan parit yang mengelilingi keseluruhan komplek. Candi Plaosan juga menunjukkan ciri khas tersendiri dalam hal konsep religi yang tercermin dari keberadaan Pantheon tiga Trikaya Buddha serta relief dewa-dewi wewangian dan cahaya di kedua candi induknya. Arsitekturnya megah, unik, kaya ornamen yang indah. Arca-arcanya memiliki ciri khas, menjadikan gaya seni arca tersendiri yang menjadi penanda zaman. Kawasan sekitar candi Plaosan memiliki potensi peninggalan purbakala lainnya yang masih terpendam untuk diungkap. Bentang pandang ke arah Gunung Merapi di utara dan deretan pegunungan breksi di Selatan. Golden moment saat sunrise dan sunset membentuk siluet percandian yang indah dan langka, dikelilingi lahan sawah dan tegalan yang cukup luas, didukung nuansa pedesaan yang masih terasa. Lokasinya dekat dengan candi-candi lainnya yang berada kawasan Prambanan yang juga kaya akan peninggalan budaya tak benda lainnya.
Saat ini, Candi Plaosan dikelola oleh Museum dan Cagar Budaya, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Kompleks Candi Plaosan Lor memiliki dua candi utama. Candi yang terletak di sebelah kiri (di sebelah utara) dinamakan Candi Induk Utara dengan relief yang menggambarkan tokoh-tokoh wanita, dan candi yang terletak di sebelah kanan (selatan) dinamakan Candi Induk Selatan dengan relief menggambarkan tokoh-tokoh laki-laki. Di bagian utara kompleks terdapat mandapa terbuka dengan beberapa arca buddhis. Kedua candi induk ini dikelilingi oleh 116 stupa perwara serta 50 buah candi perwara, juga parit buatan. Pada masing-masing candi induk terdapat 6 patung/arca Dhyani Boddhisatwa. Walaupun candi ini adalah candi Buddha, tetapi gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara agama Buddha dan Hindu. Candi Induk Selatan Plaosan Lor dipugar pada tahun 1962 oleh Dinas Purbakala. Sementara itu, Candi Induk Selatan dipugar pada tahun 1990-an oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Candi Plaosan Kidul merupakan candi bercorak Hindu di Klaten, Jawa Tengah. Berbeda dari Candi Plaosan Lor, Candi Plaosan Kidul belum diketahui memiliki candi induk. Pada kompleks ini terdapat beberapa perwara berbentuk candi dan stupa. Sebagian di antara candi perwara telah dipugar. Candi ini merupakan rangkaian panjang dari komplek candi tersebut yang di batasi dengan parid lebar yang mengelilingi nya. Dengan bagian rendah di selatan dan tinggi di utara. Sehingga banyak di temukan pada sisi selatan beberapa benda peninggalan kuno, karena pada bagian tersebut terseret aliran air yang ada di utara serta membelok ke timur dan di selatan kembali lagi ke arah barat. Dengan ini sebenarnya sangat sesuai dengan prasasti wantil yang menggambarkan akan aliran yang di alihkan. Supaya mengairi sisi sisi candi. Jadi dengan adanya parid itu menjadikan aliran sungai yang tak pernah kering itu akhirnya membasahi tanah candi.
Sementara kalau di candi prambanan tidak sesuai, karena sungai opak dan sungai kecil itu mengalir di sisi barat nya. Akan tetapi secara penggambaran candi tadi lebih sesuai dengan candi loro jonggrang. Karena untuk candi induknya memang untuk siwa. Sementara kalau plaosan, itu untuk budha. Dan ini di mungkinkan sama dengan yang membangun candi sewu. Yakni sang narendra dengan arsiteknya diranda lurawa. Itu jika membandingkan dengan candi kalasan yang berdampingan dengan candi sari. Dimana candi sari merupakan biara nya. Sementara candi utama sebagai penyembahan tara ada di kalasan itu. Dan bagian-bagian bangunan lain yang di temukan, kiranya merupakan bangunan tambahan sebagai pendukung dari dua candi yang tertulis di prasasti tersebut. Karena bisa di bayangkan untuk candi sebesar dan semegah itu, tentu banyak bangunan pendukung, serta para kawula yang ikut memelihara bangunan tadi, sehingga menjadi tempat pemujaan kerajaan yang indah dan berfungsi baik.
Terlebih lagi pada banyak bagian candi tersebut banyak yang mirip dengan komplek candi sewu. Sehingga kalau di hubungkan, mungkin saja candi plaosan di bangun berbarengan dengan candi sewu dan lumbung. Bila saja candi lumbung adalah awal dari candi sewu, maka semua itu menjadi kesinambungan. Yakni di buat oleh Sanggrama Dananjaya. Karena banyak yang beranggapan jika sangrama dananjaya itu sama dengan panangkaran, maka di anggap semua itu bangunan buatan panangkaran. Hanya saja untuk penggambaran satu raja, walau sangat besar, namun untuk membangun sebegitu banyak, rasanya sedikit membingungkan. Karena sanjaya saja hanya satu. Pikatan juga Cuma loro jonggrang. Maka candi yang banyak tadi kemungkinan di buat tidak hanya satu raja saja. Kalau borobudur, pawon dan mendut di anggap satu kesatuan, dalam arti tiga bangunan tadi merupakan satu rangkaian, karena berada dalam garis luru, dan arah hadap yang sama. Hanya saja brorobudur yang benar-benar tepat mata angin. Sedangkan mendut dan pawon menghadap barat laut.
Tapi kelihatannya itu bukan demikian. Karena terpisah sungai. Dan berbeda dalam pemujaan. Borobudur untuk semua budha. Mendut itu buat tiga budha. Sedangkan pawon kemungkinan bodisatwa yang menggunakan wajra. Jadi bisa di bilang itu berbeda. Bahkan prasastinya juga berlainan. Ini yang kemungkinan membuat rangkaian bangunan tadi memang berbeda. Apalagi di daerah situ tak hanya tiga itu saja. Namun ada banyak lain nya. Diantaranya candi ngawen dan candi banon. Dengan posisi yang juga berbeda. Tidak sama dengan kondisi tiga candi tadi, komplek candi sewu merupakan satu mandala dengan candi lumbung, candi bubrah, dan candi plaosan. Selain tak terpisah secara alam, juga merunut pada prasasti, kelihatannya saling berkaitan. Satu komplek percandian yang demikian luas. Dimana candi sewu itu merupakan pusat dari komplek percandian yang mengitarinya. Pada sisi selatan ada candi bubrah, di timur ada candi asu atau gana, dan di barat ada candi kulon, serta utara candi lor. Dimana yang candi lor sudah hilang karena berada pada lingkungan warga. Tapi bebatuan nya masih bisa di temukan. Serta di sisi barat sama sekali hilang, walau masih berada pada lingkungan tanah milik candi. Sementara candi lumbung merupakan awal dari candi sewu. Karena sama-sama di peruntukkan untuk manjusri serta jarak yang benar-benar sejajar. Mungkin saja candi ini merupakan awal dari komplek tadi, yang memindahkan arca utama nya yang dari perunggu. Makanya pada komplek candi lumbung tidak di temukan arca. Karena di pindah ke candi sewu.
Sementara arca di candi sewu yang sangat besar di ambil dan kemudian di lebur dengan mengangkat dari atap candi, sebab kala di temukan bangunan tersebut sudah terbuka bagian atap nya, dan arca sudah hilang dengan pengecualian ikal besar dari rambut manjusri yang terputus. Sedangkan candi plaosan merupakan komplek biara yang di buat untuk mendukung candi besar manjusri yang sudah di buat. Ini merujuk pada prasasti kalasan, dimana candi dan biara di buat berbarengan. Yang merujuk pada candi kalasan dengan biara sari yang berlantai dua. Candi plaosan ini sama dengan candi sari dengan komplek yang lebih besar dan mengurusi bagian yang besar juga. Termasuk candi prambanan, dimana rakai pikatan yang di duga membangun candi prambanan, namanya juga ada di candi plaosan. Hanya saja di plaosan, nama pramodawardani tak ada. Alih-alih nama kahulunan yang di temukan pada candi perwara di sisi utara. Dan nama pikatan di sebelah barat. Sedikit berjauhan. Makanya banyak ahli yang menduga kalau mereka bukan suami istri. Apalagi nama pikatan dengan cat merah di prambanan juga tidak berbarengan dengan kahulunan. Bahkan tak ada nama pramodawardhani dan kahulunan di candi prambanan. Alih-alih ada nama lain, yakni sanjiwana yang mirip candi sojiwan, pada prasasti rukan, sebagai nenek balitung. Dimana nama balitung juga tak ada di candi sojiwan, melainkan nama sri maharaja di pintu masuk candi. Jadi nama ini kemungkinan sama balitung yang di temukan di rukam itu. Jika demikian, maka nama sri maharaja di prambanan dan plaosan tanpa di ikuti nama bisa jai mewakili sosok raja ini yang ikut membangun candi di dua lokasi tadi layaknya Rakai Pikatan yang juga jelas ikut berperan serta jelas ikut membangun nya.
Sementara kalau pada candi lumbung jelas yang membuat adalah Sangrama Dananjaya, serta berlanjut ke candi Sewu yang menurut prasasti Manjusrigrha merupakan penyempurnaan dari candi lumbung. Maka namanya juga tidak ada di plaosan. Yang ada justru Pu Palar sebagai pembangun dari candi Sanghyang Wintang dan Karang Tengah.