Risa berdiri di depan jendela kaca ruang tamu, membiarkan kehangatan matahari pagi menyentuh kulitnya. Di luar, hari berjalan seperti biasa; mobil-mobil berlalu-lalang, anak-anak tertawa riang, dan burung-burung berkicau di pohon mangga tua. Namun, bagi Risa, ada jurang pemisah antara rutinitas dunia luar dan kekosongan sunyi di dalam rumahnya.
Sudah empat bulan Faris, suaminya, pergi ke Kalimantan untuk mengawasi proyek tambang besar. Uang yang ditawarkan memang menggiurkan, menjanjikan masa depan yang nyaman. Tapi janji masa depan itu harus dibayar dengan masa kini yang hampa.
Awalnya, Risa tegar. Ia menyibukkan diri dengan kursus yoga online, membaca tumpukan novel yang tak sempat tersentuh, dan menata ulang kebun belakang. Namun, setelah bulan kedua, kebosanan berubah menjadi kegelisahan. Panggilan video dengan Faris selalu terpotong-potong, kualitas sinyal yang buruk mencerminkan kualitas komunikasi mereka yang semakin memburuk.
"Aku capek, Ris. Baru selesai patroli. Kamu sudah makan?" tanya Faris dengan suara serak, matanya terlihat lelah.
"Sudah, Mas. Kamu jangan lupa makan. Tidur yang cukup," jawab Risa, selalu dengan nada yang sama: suportif, datar, dan tanpa emosi.
Setelah telepon ditutup, Risa akan duduk sendiri, merasakan dinginnya lantai marmer menjalar ke telapak kakinya. Ia merindukan Faris, ya. Tetapi yang lebih ia rindukan adalah kehadiran, sentuhan fisik, dan energi hidup yang telah lama hilang.
Risa mulai memperhatikan dirinya sendiri di cermin. Ia masih muda, 28 tahun, dengan lekuk tubuh yang terawat dan mata yang seharusnya memancarkan gairah. Tapi yang ia lihat adalah mata yang muram, menyimpan api yang terpendam.
Api itu, pada akhirnya, mencari jalan untuk keluar.
Perjumpaan Pertama: Sang Pengantar Paket
Pintu gerbang rumah Risa terbuka, dan masuklah Jaka, kurir paket langganan di kompleks mereka. Jaka berbeda dari kurir lain. Ia tidak terburu-buru. Ia selalu tersenyum hangat, dan yang paling menarik perhatian Risa adalah lengannya yang dipenuhi tato rumit dan otot yang kencang.
"Paket dari Jakarta, Bu Risa," kata Jaka, nadanya santai.
Hari itu, paketnya agak besar. Saat Jaka mencoba meletakkannya, Risa bergegas membantu. Tangan mereka bersentuhan. Sekejap, tapi cukup untuk mengirimkan gelombang listrik ke seluruh tubuh Risa.
"Berat ya, Mas. Maaf," kata Risa, suaranya sedikit tercekat.
"Tidak apa-apa, Bu. Tugas saya ini," jawab Jaka, tatapannya kini lebih lama dari biasanya. Ia tidak lagi melihat ke arah paket, tapi ke mata Risa.
Hasrat itu menjalar di udara. Bukan cinta, bukan romantisme. Hanya energi murni, daya tarik fisik yang tak terhindarkan.
Minggu berikutnya, Jaka datang lagi. Kali ini, ia membawa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan. Ia memintanya masuk untuk mencari bolpoin. Di ruang tamu yang sepi, Jaka duduk di tepi sofa, dan Risa menyodorkan air mineral.
Percakapan mereka singkat, tidak lebih dari basa-basi. Tapi ketika Jaka berdiri hendak pamit, ia menoleh ke belakang.
"Bu Risa... kalau ada apa-apa, saya sering lewat sini. Jangan sungkan panggil saya," katanya, suaranya kini lebih berat.
Risa tahu arti implisit dari kalimat itu. Itu bukan tawaran bantuan mengangkat paket. Itu adalah undangan.
Jantung Risa berdebar kencang, menabuh genderang pengkhianatan di telinganya. Tetapi, suara hati yang lemah itu tenggelam oleh raungan kekosongan yang menuntut untuk diisi.
"Iya, Mas Jaka," jawab Risa, suaranya lirih, tapi matanya memancarkan jawaban yang jelas.
Perselingkuhan itu terjadi dua hari kemudian, di sore hari yang sepi, saat semua tetangga sibuk dengan urusan masing-masing. Itu adalah pertemuan yang penuh gairah, liar, dan sangat cepat. Ketika Jaka pergi, Risa ambruk di sofa, tidak merasa bersalah, hanya merasa hidup kembali. Kehadiran fisik yang ia dapatkan begitu intens, begitu nyata, hingga ia bisa melupakan Faris sejenak.
Perjumpaan Kedua: Kehangatan di Kafe Senja
Setelah Jaka, dinding moral Risa seolah runtuh. Dinding itu, yang dibangun dari komitmen dan janji suci, kini hanya puing-puing.
Ia mulai keluar rumah lebih sering. Ia mencari stimulus baru, kehadiran baru, energi baru.
Di sebuah kafe kecil di sudut kompleks, Risa bertemu dengan Arman, pemilik kafe yang baru saja bercerai. Arman lebih dewasa dari Jaka, dengan aura yang tenang dan tutur kata yang lembut. Arman melihat Risa sebagai wanita yang kesepian, yang butuh didengarkan.
"Suami Anda pekerja keras sekali, Bu Risa. Di sana pasti sulit ya," kata Arman suatu sore, saat Risa memesan kopi kesukaannya.
"Ya. Komunikasi kami sulit sekali, Mas Arman. Seperti bicara dengan tembok," curhat Risa. Kata-kata itu meluncur begitu saja.
Arman tidak memberikan nasihat. Ia hanya mendengarkan. Kehangatan yang ia berikan tidak datang dari sentuhan fisik, melainkan dari perhatian murni yang telah lama Risa dambakan. Risa merasa Faris sudah lupa bagaimana mendengarkan. Faris hanya ingat bagaimana melaporkan kegiatannya.
Hubungan dengan Arman berkembang perlahan. Mereka sering bertemu setelah jam kafe tutup. Di ruangan yang harum aroma kopi dan kue, mereka bicara dari hati ke hati. Arman menceritakan keretakan rumah tangganya, dan Risa menceritakan tentang kehampaan yang ia rasakan.
Suatu malam, Arman meraih tangan Risa. "Kamu terlalu cantik untuk menghabiskan malam-malammu sendirian, Ris."
Kali ini, perselingkuhan itu berbeda. Itu lebih lambat, lebih emosional, dan terasa seperti pelarian dari kenyataan yang menyakitkan. Arman memberikan Risa kenyamanan dan perasaan dicintai—perasaan yang dibutuhkan Risa untuk meyakinkan dirinya bahwa ia masih menarik, bahwa ia masih berharga.
Setelah pertemuan itu, Risa merasa ada dua belah dirinya. Satu belah adalah istri setia Faris yang mengirimkan foto masakan dan bertanya tentang proyek. Belah lainnya adalah wanita yang penuh gairah, yang mencari kehangatan di pelukan pria lain.
Perjumpaan Ketiga: Dinding Terakhir Runtuh
Semua berjalan di bawah kendali Risa, sampai ia bertemu dengan Leo, seorang mahasiswa yang menyewa kamar di rumah kos belakang rumah Risa. Leo sering meminta bantuan Risa untuk urusan fotocopy atau bantuan print tugas.
Leo adalah pemuda yang ceria, penuh semangat, dan tanpa beban. Kehadirannya mengingatkan Risa pada dirinya yang dulu, sebelum pernikahan dan komitmen.
Suatu malam, Leo datang saat Risa sedang melukis. Risa kini melukis potret dirinya, dengan warna-warna gelap dan garis-garis yang tajam.
"Mbak Risa, lukisanmu kok seram sekali?" tanya Leo, tawanya renyah.
"Ini cuma luapan emosi saja, Leo," jawab Risa, tersenyum pahit.
Leo duduk di lantai, mengagumi karya Risa. "Mbak Risa terlihat sedih, tapi juga... bergairah. Seperti api yang terperangkap."
Kata-kata Leo menusuk ke dalam hati Risa. Ia merasa telanjang, semua rahasianya terbaca oleh mata polos pemuda itu.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Risa.
"Terlihat dari sapuan kuasnya. Penuh amarah, tapi juga hasrat hidup yang besar," ujar Leo.
Saat itu, Risa tidak mencari kenyamanan atau pelepasan. Ia mencari pengakuan atas gairah yang ia sembunyikan. Leo, dengan energi mudanya, adalah cerminan dari kehidupan yang Risa inginkan.
Perselingkuhan dengan Leo adalah yang paling berisiko, karena kedekatan mereka. Itu adalah tindakan memberontak, sebuah pernyataan bahwa ia tidak akan mati dalam kesunyian yang disajikan oleh Faris. Itu adalah peledakan terakhir dari emosi yang selama ini ia pendam.
Ujung Jalan
Seiring waktu, Risa merasa lelah. Ia seperti berdiri di atas panggung, memainkan peran ganda yang melelahkan. Ia menjadi pandai berbohong, pandai menyembunyikan jejak.
Suatu sore, saat Risa sedang minum teh, ponselnya berdering. Itu Faris.
"Sayang, aku pulang. Besok pagi. Proyekku selesai lebih cepat. Aku minta cuti seminggu. Kejutan!" Suara Faris terdengar riang, penuh semangat.
Ponsel itu terlepas dari tangan Risa, jatuh ke karpet. Kepalanya terasa pening. Faris akan pulang.
Detik itu juga, semua kehangatan, semua gairah, semua pelarian yang ia rasakan bersama Jaka, Arman, dan Leo—semuanya berubah menjadi rasa mual yang pahit.
Risa menatap rumahnya. Rumah yang telah ia jadikan tempat pengkhianatan. Aroma parfum pria lain terasa menyesakkan di setiap sudut. Pakaian yang berserakan, kursi yang diduduki... semuanya menjadi saksi bisu dari kegelapan yang ia pilih.
Ia tidak merasa bahagia. Ia tidak merasa puas. Ia hanya merasa kosong, lebih kosong dari sebelumnya.
Perselingkuhan itu ternyata tidak mengisi kekosongan, melainkan hanya memperlebar lubang di hatinya. Hasrat itu terpenuhi, tapi harga yang dibayar adalah kedamaian jiwanya.
Risa berjalan ke kamar mandi, menyalakan keran, dan menatap pantulan dirinya di cermin. Air matanya menetes. Ia bukan lagi Risa yang dulu. Ia kini adalah wanita yang hancur, terperangkap dalam jaring hasratnya sendiri.
Ia tahu, kedatangan Faris bukanlah akhir, melainkan awal dari kehancuran. Ia harus memilih: terus bersembunyi di balik topeng kesetiaan yang rapuh, atau mengakui kekalahannya dan menghadapi badai yang akan datang.
Malam itu, Risa tidak tidur. Ia duduk, menunggu fajar yang akan membawa suaminya kembali, dan membawa serta konsekuensi dari pilihan yang ia ambil di tengah nyala api kesunyian.