Mika bersembunyi di dalam bilik toilet dengan perasaan gelisah. Bau urine dan kamper yang tercampur menggelitik hidungnya. Matanya tidak bisa lepas dari sela bilik, berharap tiga orang yang ia takuti tidak mencarinya. Mika tidak bisa membayangkan bagaimana tiga orang itu akan melihatnya dengan tatapan membunuh, seakan lupa dulu mereka menyebutnya teman terbaik.
6 bulan yang lalu, di mana Mika baru menjadi siswa baru, dia bertemu tiga orang biasa saja yang dianggap seperti bayangan di sekolah itu. Ada Alice yang miskin dan keluarganya rusak, Nina yang sakit-sakitan hingga orang tuanya benci padanya, dan Poppy yang paling bodoh di sekolah itu.
Mika awalnya sering diperingatkan oleh teman-teman kelasnya agar tidak mendekati mereka bertiga. Namun, Mika malah tertarik dan ingin berteman dengan mereka. Perempuan itu bisa merasakan bahwa mereka memiliki sifat baik dan nasibnya saja yang tidak adil pada mereka.
Hubungan pertemanan mereka erat, pagi sampai sore adalah dunia kecil yang rasanya lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Alice, Nina dan Poppy selalu berterima kasih karena kehadirannya yang selalu membantu dalam hal belajar maupun tempat curhat.
Mika masih ingat betapa bahagianya bersama mereka, sampai di mana perempuan itu membocorkan rahasia terpendam. Mika merasa Alice, Nina, dan Poppy layak mengetahui rahasinya.
"Guys, aku sebenarnya punya rahasia. Tapi, aku mohon setelah kalian tahu, kalian harus janji, ya?" Ucap Mika memegang flash lampu HP.
Mereka bertiga menyimak seksama, di mana saat ini mereka sedang berada di meja makan rumah Mika yang saat itu sedang mati lampu. Poppy memegang tangan Mika, memasang ekspresi takut dan berkata, "Ini bukan horror, kan? Aku takut sadako."
"Hello! Sadako di Jepang, Poppy pintar!" Sanggah Nina dan Poppy tertawa kecil seperti marmut.
Alice yang duduk berhadapan dengan Mika hanya diam. Matanya begitu sembab dengan hidung yang memerah. Mika yang merasa Alice terlalu terjun ke dalam renungan kesedihan segera bersuara.
"Oke! Rahasiaku adalah aku bisa mengabulkan permohonan pada orang-orang yang mau berjanji padaku. Bagaimana? Kalian... percaya?" Mika dapat melihat wajah kebingungan di sana, kecuali Alice yang langsung menatapnya tertarik.
Nina menyeringai aneh, "Kamu... mencoba menghibur Alice, ya?"
"Nggak, kok! Aku serius demi apapun! Bahkan jika aku mati sekarang juga boleh kalau aku beneran bohong." Tegas Mika yang sangat percaya akan ucapannya.
"Jangan ngomong mati dong... Takut..." keluh Poppy dengan mata terpejam.
Alice mendatangi Mika dan memeluknya erat. Mika bisa merasakan suara seenggukan Alice dan reaksinya adalah mengelus pundaknya lembut.
Mika pun melepas pelukan tersebut dan memegang pundak Alice kuat. Ia pun berkata, "Kamu mau coba? Aku gak bakal ngecewain kamu dan aku yakin hidupmu akan baik-baik saja. Nanti gak ada lagi yang bakal memukul kamu."
Alice berusaha tersenyum meskipun bibirnya masih bergetar. Mika pun mengajak mereka untuk duduk bersila secara memutar. Sebelah kanan Mika ada Alice, selanjutnya Nina, dan Poppy disebelah kirinya. Di tengah mereka ada mangkuk, beberapa serbet, dan pisau buah. Penerangan mereka hanya lilin yang sebelumnya di taruh mengelilingi mereka.
Nina dengan raut muka kalut tidak bisa berhenti memperhatikan sekitar. "Mika, ini... serius bakal kayak gini? Mistis banget tau!"
"Aku bener-bener mau niat bantu dan aku sama sekali nggak keberatan kok! Susahnya dibagian lukain tangan kalian." Mika tersenyum kikuk dan berusaha meyakinkan mereka bertiga.
"Ya udah, aku duluan." Alice pun mengambil pisau tersebut dan menyayat telapak tangan kiri tanpa ragu. Darahnya menetes ke dalam mangkuk itu hingga Mika menarik tangannya agar kedua tangan mereka saling menyatu.
"Aku akan mengabulkan keinginan terbesar di hatimu. Apakah kamu berjanji akan selalu menjadi dirimu sendiri?" Ucap Mika serius dan mata mereka saling beradu.
"Janji." Ucap Alice.
Selanjutnya giliran Nina. Saat adegan itu di berulang, Mika kembali menyatukan tangan Nina dengan darah Alice yang masih menempel. Sekilas Nina sedikit jijik, tapi berusaha tegar.
"Aku akan mengabulkan keinginan terbesar di hatimu. Apakah kamu berjanji akan selalu ada untuk membantu orang lain?"
"Janji." Ucap Nina.
Lalu, berlanjut pada Poppy. Semua berjalan lancar sampai kedua tangan mereka bersatu. Poppy menutup matanya takut. "Mi, gak apa, kan gak tatap-tatapan? Aku takut banget, kamu serem soalnya kalo kayak gini."
"Hehe, maaf ya, Poppy... Gak apa kok..." Suasana sedikit cair dan Mika pun melanjutkan ucapannya.
"Aku akan mengabulkan keinginan terbesar di hatimu. Apakah kamu rela untuk berbagi pada orang lain tanpa pamrih?"
"Ja-janji!" Ucap Poppy.
Mika pun mengajak mereka untuk berpegangan satu sama lain secara melingkar. Matanya memperhatikan wajah penuh pengharapan dan kesedihan dari mereka bertiga. Tinggal satu lagi.
"Apakah kalian berjanji, bahwa akan selalu ada di sisiku dan tidak akan mengkhianati kebaikan yang kuberikan?"
"Ya, kami berjanji!" Ucap mereka bertiga tunduk.
Mika pun mengambil mangkuk itu dan meminum cairan kental tersebut sampai titik terakhir. Ketiga wajah yang memperhatikannya terlihat jijik dan berusaha untuk menahan mual. Setelah selesai, Mika merasa sangat mengantuk.
"Terima kasih sudah... mempercayaiku... hoaamm... kalian ingin pulang ke rumah, kan?" Gumam Mika dan mereka bertiga mengangguk tanpa suara.
Setelah itu, kehidupan mereka berbeda 360°. Kehidupan keluarga Alice menjadi harmonis dan ayahnya mendapat promosi dari perusahaannya hingga ekonomi keluarganya mendadak naik tingkat. Nina yang sakit-sakitan mulai sembuh dan kebahagiaan keluarganya kembali seperti dulu saat masih kecil. Poppy juga semakin pintar dan nilai sekolahnya sudah bersaing dengan para peringkat atas, ia sangat disegani oleh siswa-siswa bahkan guru-guru.
Mika sangat senang semuanya memiliki kebahagiaan yang layak. Senyum murni yang berasal dari hati mereka sangat menyejukkanya. Andai Mika hadir sebelum rasa sakit dan putus asa menyiksa teman-temannya. Namun, di satu sisi, Mika merasa ada sesuatu yang janggal. Nafsu makannya mulai berkurang dan beberapa kali sering kelelahan tanpa alasan jelas.
Eratnya pertemanan mereka berempat mulai memudar seiiring Mika yang tidak bisa mengikuti ke mana temannya pergi akibat tubuhnya yang lemah. Mereka semakin bersinar, telihat, dan dihargai oleh teman-teman lain. Mika tetap senang melihat mereka bertiga memang pantas mendapatkan itu dari dulu. Namun, ia tidak menyangka kebahagiannya tidak berlangsung lama.
Kembali lagi, di kamar mandi yang sempit, Mika terduduk dengan tubuh basah kuyup, rambut panjangnya yang di potong asal, dan tubuh yang semakin memucat kedinginan. Mereka bertiga berhasil menemukannya dan tatapan membunuh itu menyakiti hati Mika paling dalam. Mereka bersinar, tapi tidak bisa digapai dan memberikan ketakutan pada orang lain.
"Sialan kau, Mika! Bisa-bisanya kau ngerendahin kita dan bilang kalau kami berhak hanya jadi bayangan! Katanya kau teman kami!" Bentak Alice dengan mata penuh kemarahan.
Poppy yang di samping kiri Alice sedang memvideokan Mika dengan wajah bengis. Tidak ada lagi wajah imut dan lembut dari Poppy. Perempuan itu berkata, "Mampus! Seorang Mika yang gak bisa apa-apa dan gak level sama kita cocoknya kita abisin, gak sih?"
Nina yang di sisi kanan Alice berjalan ke depan Mika dan mencekiknya hingga tubuh lemah perempuan itu berdiri tanpa menyentuh lantai. Wajah dingin Nina ditatap Mika sendu dan napas yang terus berontak ingin bebas.
"Le-lepasss... hah... Nin-a... akh..." Suara tertawaan dari mereka bertiga bergema di telinga Mika. Ia sangat berharap bahwa ini hanya mimpi buruknya. Ia tidak rela melihat temannya berubah menjadi jahat karena bantuannya.
Nina pun melepas cengkramannya, membiarkan Mika terjatuh diatas ubin yang dingin. Perempuan itu mulai menangis perih, menahan semua siksaan ini sendirian benar-benar menguncang mentalnya.
"Kalian kenapa begini? Stop ganggu orang-orang! Alice, kenapa kamu kejam dengan orang lain hingga mereka tidak mau sekolah? Nina, kekuatanmu bukan untuk merisak orang dan bersikap seenaknya. Poppy... kamu kenapa begini? Kalian baik dan aku rindu itu... Please... kembali seperti dulu..." Isak Mika sambil menatap mereka satu persatu tanpa takut.
Alice tersenyum bengis dan menendang perut Mika hingga perempuan itu mengerang kesakitan dan terlentang. Poppy pun ikut menarik rambut Mika hingga perempuan itu dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"Mika... aku masih ingat bagaimana dirimu menatap kami rendah dan dengan mengikuti kemana pun kami pergi agar dianggap kasihan oleh orang lain. Sekarang kami berbeda karena kami muak dengan tingkah sok baikmu itu! Kami semakin kuat ternyata setelah tidak ada kau!" Poppy melepas tarikan dan menampar keras pipi Mika hingga sudut bibirnya robek.
Mika terkejut. Ia menyentuh luka bibirnya dan melihat darah segar di jarinya. Tatapannya berubah marah, menatap satu persatu dengan tajam. Nina yang kesal bergerak maju dan berkata, "Oh! Sekarang udah berani, ya menatap kami! Binatang sampah sepertimu harus menunduk patuh pada kami!"
Napas Mika memberat. Tangannya yang menahan tubuh lemasnya mengepal kuat hingga memutih. Perempuan itu menatap Alice yang saat ini menatapnya jijik dan berkacak pinggang. Mika mengerang kecil dan tidak bisa menahan rasa sakit hatinya yang seperti dikuliti secara perlahan.
"Kalian mengingkari janji kepadaku. Ternyata sia-sia mengorbankan diri untuk orang-orang yang lebih rendah daripada kecoa. Haha... kalian tidak pernah menanyakan konsekuensi menjadi pembangkang." Suara rendah Mika hanya dibalas gumam hinaan dari mereka.
Mika menggigit jari kelingkingnya keras hingga darah mengalir deras dan dihisapnya haus. Perempuan itu menatap penuh kemarahan sambil berdiri. Tubuhnya kembali segar kembali seiring darah tersebut membasahi tenggorokkannya.
Alice tiba-tiba mengerang dan terjatuh. Tubuhnya berusaha bangun tapi kakinya kaku tidak bisa bergerak. Diikuti oleh Nina dan Poppy, mereka bertiga mengerang kesakitan dan tubuh mereka lama kelamaan tidak bisa digerakkan. Mika terkekeh, jari ditangannya tidak lepas dari mulutnya, menatap puas bagaimana trio berandal itu ketakutan setengah mati.
"Mika! Apa yang kau lakukan! Argh! Panasss! Saakit! Lepas!" Poppy berteriak histeris.
"Kalian lupa? Darah kalian sudah menjadi milikku sejak berjanji padaku malam itu! Semuanya ada bayarannya jika kalian berhenti berada disisiku, temanku yang pintar!" Balas Mika.
Perempuan itu berjalan menghampiri mereka bertiga. Satu persatu ia kelilingi, menyaksikan betapa tidak berdaya teman-teman yang sudah mengkhianatinya. Mika pun berhenti di depan Alice dan menarik dagunya agar dapat melihat mata penuh ketakutan itu.
"Mi-mika... leherku sudah kaku... tolong... lepaskan... ak-aku... ya?" Sungut Alice dengan tatapan memelas.
Mika mendorong wajah Alice kasar dan menghela napas malas. Ia berkata, "Seharusnya aku tidak usah iba kepadamu, Alice. Aku lelah selalu pindah sekolah untuk mencari teman yang benar-benar tulus. Apa di dunia ini tidak ada manusia yang benar-benar murni baik kepadaku?"
"Mika, aku... mi-minta maaf..." Suara tercekat Nina seketika membuat Mika tertawa terbahak-bahak hingga air matanya sedikit keluar.
Mika pun menggerakkan tangannya keatas, mengerahkan tubuh mereka bertiga untuk berdiri. Suara sendi mereka yang renyah dan jeritan yang memekak telinga ditatap Mika datar. Perempuan itu seakan bisa mengendalikan tubuh mereka layaknya boneka tali.
"Ampun... ampun... sakit... Mika... tolong..." ringisan Poppy seketika membuat Mika bergerak dan memegang pipi perempuan itu.
Mika memasang wajah sedih,"Sakit, ya Poppy?" Pertanyaan itu dibalas anggukan oleh perempuan tersebut.
Mika pun tersenyum sangat lebar dan mengusap pipi Poppy yang sudah basah akan air mata. "Tenang saja, setelah ini kalian akan binasa dan nama kalian akan lenyap dari dunia dan pikiran orang-orang."
Mika pun kembali ketempatnya di depan mereka bertiga. Ia meludah ke arah mereka dan terlihat begitu bosan, "Selamat tinggal, Alice, Nina, dan Poppy. Kalian dan monster lainnya hanya membuang 3 abadku yang sia-sia. Oh, ya! Bagaimana kalau kita akhiri dengan kalian yang mati karena darah kalian keluar dari seluruh lubang tubuh?"
Setelahnya suara teriakan paling memekik telinga dan penuh akan keputusasaan bergema di toilet tersebut. Keadaan tadi seperti angin lalu bagi Mika. Semua murid di sana juga seakan tidak melihat Mika yang basah kuyup dan berantakkan. Mika dengan santai pergi dari sana, berjalan keluar dari sekolah dan menelepon seseorang.
"Ternyata tuhan sengaja membuat nasib seseorang menderita, karena beberapa yang sekalinya diberikan kenikmatan, malah menyakiti orang lain. Bagaimana dengan sekolah asrama? Mungkin aku bisa lebih selektif memberikan berkah dan mendapat teman?" Saat melewati pagar sekolah, tubuh Mika lenyap begitu saja. Hilang dan akan kembali menjadi sosok baru di kehidupan manusia lainnya yang akan dia pilih sesuka hati.