Senja menjelang malam di Rimba Asri bukanlah senja biasa. Langit tak hanya mewarnai cakrawala dengan semburat jingga—ia membungkus desa dengan suasana muram, seperti firasat yang turun bersama kabut. Kabut tipis menggantung di udara, menyusup di sela pohon, menggulung jalan setapak, dan menjelma tirai keabu-abuan yang membuat pandangan terbatas. Gerimis yang turun sejak sore belum juga reda. Butir-butirnya jatuh perlahan, seolah enggan menghentikan isak tangisnya.
Di Desa Rimba Asri, biasanya suara anak-anak bermain atau denting lesung menemani senja. Tapi kali ini yang terdengar hanya batuk, rintihan, dan panggilan putus asa. Wabah yang datang tanpa peringatan menyapu penduduk satu per satu.
“Cepat, ambilkan air rebusan daun jarak!” teriak seorang ibu dari dalam gubuk kecil, tangannya gemetar mengguncang tubuh anaknya yang panas tinggi.
“Bu... kenapa Kak Ardi dingin, Bu?” tanya adik kecil itu, matanya membulat penuh ketakutan.
Ramuan herbal yang biasanya mujarab menjadi sia-sia. Air rebusan, tempelan akar, hingga minyak kayu putih buatan sendiri tak memberi perubahan. Doa-doa tetap dikumandangkan. Tapi malam terus turun, bersama gerimis dan kabut yang mengeras seperti dinding tak kasat mata.
Langit menggulung awan hitam pekat. Tak ada bintang, tak ada suara jangkrik. Bahkan anjing desa berhenti menggonggong. Seolah semua makhluk diam menahan napas. Anak-anak menangis. Tak sedikit yang kehilangan orang tua mereka dalam diam. Kematian datang bukan dengan suara, tapi dengan sunyi yang menusuk.
“Bima! Bima! Cepat ke rumah Arya! Ibunya... dia tidak bergerak!” Bima berlari melintasi jalan berlumpur, kakinya menyepak genangan, napasnya memburu. Kabut menusuk hingga ke paru-paru. Ia tiba di rumah Arya, dan mendapati sahabatnya terduduk di tanah, menggenggam tangan ibunya yang dingin.
“Bima, Ibu... Ibu nggak bangun-bangun dari tadi pagi...” bisik Arya, suaranya nyaris hilang oleh tangis yang tertahan. Bima memeluknya erat.
“Aku juga... Bapak sudah tak buka mata sejak siang.”
Langit makin gelap. Lonceng darurat berdentang—suara yang biasanya membawa peringatan kini hanya menjadi gema kosong yang menyayat. Dari balik kabut, dua sosok muncul. Naya dan Sita, wajah mereka basah oleh gerimis dan air mata.
“Semuanya semakin parah,” kata Sita, matanya sembab.
“Pak Kepala Desa juga sakit. Sudah dua orang meninggal hari ini.”
“Tak ada yang tahu dari mana datangnya penyakit ini,” gumam Naya.
“Ibu bilang... ini kutukan. Tapi kenapa sekarang?” Ia memandangi tubuh-tubuh lemah yang dibaringkan di bale-bale, seakan seluruh desa berubah menjadi rumah duka. Sita menatap langit kelam.
“Dulu kita pernah dengar dongeng soal dosa leluhur yang akan dibayar oleh generasi berikutnya. Tapi... kita anak-anak. Apa salah kita?” Bima menunduk, tangannya mengepal.
“Dan kenapa semua ramuan tak mempan? Biasanya daun waru dan akar lempung bisa menyembuhkan demam... tapi sekarang bahkan tak ada reaksi.” Naya menatap kosong ke arah rumah-rumah yang tinggal cahaya redup.
“Mungkin kita harus mencari... sesuatu yang tak biasa. Sesuatu yang belum pernah kita coba.” Sita mengangguk perlahan, lalu berkata, “Kita tak bisa tinggal diam. Kalau ini benar kutukan, kita harus tahu siapa atau apa yang bisa menghentikannya.”
Di bawah pohon beringin tua, mereka berkumpul. Gerimis masih turun, membasahi bahu dan rambut mereka. Kabut menari di sela akar dan ranting.
"Kalian tahu tentang Ki Hujan?” tanya Guntur pelan.
“Ki Hujan?” ulang Sita.
“Mitos tua itu?” “Dulu Ayah pernah cerita,” lanjut Guntur, tatapannya kosong. “Di dalam Hutan Misterius ada pohon tua yang bisa bicara. Mereka yang bisa mendengarnya, bisa meminta pertolongan. Tapi hanya mereka yang tulus yang bisa menemukannya.”
“Kalau itu benar... dan bisa menyembuhkan...” kata Naya ragu.
“Lebih baik menempuh bahaya daripada menunggu semuanya binasa,” ucap Arya mantap.
Dengan bekal seadanya, kelima sahabat itu melangkah menuju hutan. Langit benar-benar gelap sekarang. Senja sudah menghilang, menyisakan malam yang hanya diterangi kilatan petir samar jauh di horison.
(Kisah lima sekawan ini adalah awal dimana aku memulai menggunakan ide liarku dalam bentuk cerita fantasi. . . Menang semua kisah yang aku tuliskan sampai saat ini adalah sesuatu yang masih jauh dari kata layak. Terima kasih sudah menjadi tempat dimana aku selalu belajar untuk menjadi diri sendiri, selamat menikmati)