Langit selalu tahu caraku menyembunyikan rindu. Maka ia kerap mengirim hujan, agar tak seorang pun bisa membedakan antara air mataku dan air langit yang jatuh perlahan.
Sudah dua tahun sejak kepergianmu, dan aku masih duduk di bangku yang sama, di halte yang sama, menatap arah yang sama—tempat di mana dulu kau biasa datang dengan langkah tergesa dan senyum tergantung di wajahmu. Kadang aku heran, bagaimana sesuatu yang hanya tinggal dalam kenangan bisa terus-menerus menghantui kenyataan?
Dulu, kau datang setiap sore, membawa segelas kopi hangat dan cerita tentang betapa rumitnya dunia. Kau bicara panjang lebar, dan aku hanya mendengarkan. Aku menyukai caramu membuat segalanya tampak ringan, bahkan saat hatimu sendiri penuh beban. Aku tidak tahu saat itu bahwa kita hanya diberi waktu sebentar. Andai aku tahu, mungkin aku akan memelukmu lebih lama. Mungkin aku akan berani mengatakan sesuatu yang selama ini kutahan.
Aku ingat hari terakhir itu.
Langit mendung seperti hari ini. Kau berdiri di depanku, dengan ransel kecil di punggungmu dan mata yang tidak sanggup menatap terlalu lama.
“Aku harus pergi,” katamu lirih.
“Kenapa?” tanyaku.
Kau menarik napas dalam, lalu menggeleng. “Aku capek tinggal di sini. Terlalu banyak hal yang gak selesai.”
“Termasuk aku?” tanyaku, nyaris tak bersuara.
Kau diam. Dan di situlah aku tahu: kau benar-benar akan pergi, dan aku tak bisa menahanmu.
Kau pergi dengan langkah pelan, tapi tak pernah menoleh. Aku menunggumu menoleh, tapi yang kulihat hanya punggungmu yang makin jauh, hingga akhirnya hilang di balik hujan.
“Aku mencintaimu.”
Kalimat yang hanya berhasil kususun di dalam hati, tapi tak pernah menemukan keberanian untuk keluar dari bibir.
Orang-orang bilang kau pergi mengejar mimpi. Tapi aku tahu: kau pergi karena hatimu sudah terlalu lelah bertahan.
Aku tidak marah. Tidak juga kecewa. Hanya ada kekosongan yang diam-diam tumbuh setiap harinya, seperti lubang kecil di kayu yang terus melebar, perlahan namun pasti. Rasa itu... rindu, katanya. Dan aku merasakannya lebih dari yang bisa kuterima.
Setiap tempat di kota ini mengingatkanku padamu. Bangku taman di ujung jalan, warung kopi langgananmu, bahkan suara jangkrik malam yang dulu kau bilang “terapi alami untuk hati yang gelisah.” Aku bahkan masih menyimpan jam tanganmu yang rusak, yang kau tinggalkan tanpa sengaja di pangkuanku sore itu.
Jam itu berhenti di pukul 17.42 — waktu terakhir kita bertemu.
Sejak itu aku tak pernah memperbaikinya. Biar saja tetap rusak, karena waktu juga berhenti bagiku sejak kau pergi.
Sampai hari ini, aku belum bisa mencintai orang lain. Bukan karena tak ada yang mencoba, tapi karena hatiku sudah lama kau bawa pergi. Mungkin terdengar bodoh. Tapi begitulah adanya. Kau telah menjadi rumah, dan bagaimana mungkin aku bisa tinggal di tempat lain, jika rumahku masih berdiri, meski hanya dalam kenangan?
Ada hari-hari di mana aku kuat. Aku tersenyum, berbincang, menertawakan hal-hal kecil. Namun saat malam tiba dan sepi menyalakan semua kenangan, aku kembali menjadi perempuan yang patah diam-diam. Tidak terlihat, tidak terdengar, tapi pecah perlahan dari dalam.
Hari ini aku menulis surat yang tak akan pernah kukirim. Surat untukmu, untuk rindu yang tak selesai, dan untuk aku yang masih bertahan di antara yang lalu dan yang tak mungkin kembali.
“Jika suatu hari kau membaca ini, ketahuilah bahwa aku pernah menunggumu. Lama sekali. Tapi bukan untuk berharap kau kembali, melainkan agar aku tahu bahwa yang kutunggu memang pernah nyata.”
Aku menangis saat menulis kalimat itu. Mungkin karena akhirnya aku menyadari, rindu tak selalu harus dituntaskan dengan temu. Kadang ia hanya perlu diakui, diterima, dan dibiarkan mengendap dalam diam.
Rindu bukan soal meminta kembali, tapi soal mengikhlaskan apa yang tak mungkin lagi digenggam. Dan aku sedang belajar. Meskipun lambat, meskipun sesekali tersandung air mata.
Malam ini hujan turun lagi. Angin membawa aroma tanah basah dan kenangan yang tak kunjung usai. Aku duduk di balik jendela, memeluk diri sendiri, mencoba memaafkan waktu yang terlalu cepat membawamu pergi, dan diriku sendiri yang terlambat menyadari segalanya.
Kau tahu, aku masih menunggumu di halte itu. Bukan menunggu kehadiranmu, tapi menunggu hatiku benar-benar pulih. Dan jika kelak kita dipertemukan kembali di tempat yang tak bisa dijanjikan, aku akan tersenyum. Bukan karena tak lagi mencintaimu, tapi karena aku akhirnya tahu:
Rindu tidak akan membunuhku. Ia hanya mengajarkan bahwa kehilangan pun bisa menjadi bentuk paling tulus dari mencintai.