Rumah tembok milik nenek di pinggir jalan desa itu tampak sederhana. Cat dindingnya sudah mulai memudar, jendela kayu berderit setiap kali dibuka, dan halaman sempit di depan rumah sering dipenuhi jemuran. Di situlah keluarga kecil Ayah dan Ibu dengan enam anak tinggal menumpang, berbagi ruang dan cerita setiap harinya.
Meski ramai dan kadang sesak, rumah itu selalu terasa hidup. Nenek dengan sabar mengatur cucu-cucunya, sementara Ayah bekerja sebagai buruh harian, pulang dengan wajah letih namun tetap tersenyum. Ibu mengurus anak-anak, memasak dengan bahan seadanya, dan sering kali menenangkan tangis si bungsu yang belum genap tiga tahun.
Di antara enam bersaudara itu, ada seorang sulung bernama Salsabila, atau biasa dipanggil Salsa. Usianya baru delapan belas, tapi pundaknya seakan menanggung beban yang lebih besar dari usianya. Ia tahu, sebagai anak pertama, ia harus menjadi teladan bagi adik-adiknya.
Setiap pagi, Salsa bangun lebih awal dari semua orang. Ia membantu ibu menyiapkan sarapan, membangunkan adik-adik untuk sekolah, lalu berangkat sendiri dengan sepeda butut menuju sekolah menengah atas di kota kecil sebelah. Sering kali, sebelum pulang, ia menyempatkan diri singgah ke perpustakaan umum. Baginya, buku adalah jendela ke dunia yang lebih luas dari tembok rumah nenek.
Malam hari, ketika suasana rumah mulai tenang, Salsa duduk di ruang tamu dengan cahaya lampu redup. Adik-adiknya sudah tertidur, ibu sibuk melipat pakaian, dan ayah masih di luar membantu tetangga. Dengan buku catatan di pangkuannya, ia menulis mimpi-mimpinya.
“Aku ingin kuliah,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku ingin jadi orang yang bisa membuat Ayah dan Ibu bangga. Aku ingin rumah ini tidak hanya jadi tempat singgah, tapi simbol bahwa mimpi bisa lahir dari kesederhanaan.”
Namun, perjalanan Salsa tidaklah mudah. Kerap kali ia diejek teman-teman sekolah karena pakaiannya sederhana dan seragamnya sudah pudar. Ada pula guru yang meragukan apakah ia bisa melanjutkan pendidikan tinggi dengan kondisi ekonomi keluarganya. Tapi justru itu membuatnya semakin teguh.
Suatu sore, hujan turun deras. Atap rumah nenek meneteskan air di beberapa sudut, memaksa ibu menaruh ember-ember bekas. Adik-adik berlarian mencari tempat kering, sementara nenek duduk sambil berdoa pelan. Salsa menatap pemandangan itu dengan dada yang bergetar.
Ia mendekati ayah yang sedang memperbaiki genteng bocor dengan peralatan seadanya. “Yah,” ucap Salsa hati-hati, “kalau suatu hari aku bisa sekolah lebih tinggi, aku janji akan membantu Ayah dan Ibu. Aku ingin kita punya rumah sendiri, tidak merepotkan Nenek lagi.”
Ayah menoleh, menepuk bahu Salsa dengan tangan kasar yang penuh bekas kerja keras. “Nak, Ayah tidak pernah menuntutmu. Yang penting kamu tetap jujur, rajin, dan jangan putus asa. Kalau kamu punya harapan setinggi langit, biarlah Ayah dan Ibu jadi tanah yang menahan kakimu supaya tidak jatuh.”
Kata-kata itu membuat mata Salsa berkaca-kaca. Ia tahu, perjuangannya tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk keluarga yang ia cintai.
Hari-hari berlalu, Salsa semakin giat belajar. Ia mengikuti lomba menulis tingkat kabupaten, berharap bisa meraih beasiswa. Meski terkadang harus belajar sambil menjaga adik yang rewel, ia tidak mengeluh. Setiap coretan pena di buku catatannya adalah doa dan tekad.
Bagi orang lain, rumah tembok nenek mungkin hanyalah rumah sederhana biasa. Tapi bagi Salsa, di situlah lahir mimpi besar. Ia percaya, dari balik kesederhanaan, ada harapan yang bisa tumbuh menjulang tinggi. Dan sebagai anak sulung, ia memilih menjadi langkah pertama yang menembus batas kesulitan, demi masa depan keluarganya.