Seharusnya malam itu aku cuma perlu duduk manis, mengunggah video pembelajaran, lalu tidur dengan tenang menanti esok. Tapi kenyataannya jauh dari kata tenang.
“Ya Allah… ini video PPG penentuan kelulusan, kenapa malah jadi kayak film horor?” gumamku sambil menatap layar laptop.
Tenggat waktu tinggal menghitung jam. Aku, seorang guru bahasa yang lebih sering ngajar pakai papan tulis daripada aplikasi editing, dipaksa jadi editor dadakan. Padahal skill-ku soal edit mengedit hanyalah: potong, tempel, dan berharap ajaib.
Kalang kabut, aku unduh aplikasi editing yang katanya “paling gampang”. Dan benar, gampang sih… cuma ada satu hal kecil yang bikin jantung copot: hasil videonya ditempeli watermark raksasa.
MADE WITH FILMOSAURUS TRIAL
muncul melintang sepanjang durasi video, seperti garis nasib yang tak bisa dihapus.
Aku melongo.
“Ya Allah… masa kelulusanku ditentukan sama tulisan ini?”
Dan di titik itulah, aku sadar. Daripada stres mikirin watermark, lebih baik kualihkan kepanikan ini jadi cerita absurd. Lahirlah ia… si Kebi, alter egoku di dunia pixel penuh kutukan format.
***
Aku duduk gelisah di depan laptop yang berisik seperti knalpot motor racing. Jam di pojok kanan bawah layar menunjukkan pukul 23.59. Deadline pengunggahan video PPG tinggal satu menit lagi.
Tanganku sudah siap menekan tombol upload. Satu klik saja, selesai. Tapi alih-alih sukses, layar malah menampilkan lingkaran loading yang berputar-putar… mirip mie ayam disedot ke lubang hitam.
“Ya Allah… tinggal klik upload, kok malah begini?!” desahku sambil menahan napas.
Di luar kamar, jangkrik bernyanyi. Kipas angin berdecit seperti hantu kos-kosan. Semuanya terasa mencekam.
Tiba-tiba, layar berubah biru. Muncul tulisan putih yang tak lazim:
ERROR: File format not supported. Try again in another dimension.
Aku mendekat, kening berkerut. “Loh? Apaan ini?!”
Sebelum sempat mencari solusi, layar laptop menyala terang. Suaranya berdengung seperti toa musholla pas subuh. Angin berputar, kertas-kertas di meja beterbangan.
“Eh jangan bercanda, aku belum siap jadi korban teknologi!” teriakku panik.
Zzzrttt!!
Tubuhku tersedot ke dalam layar. Rambutku berkibar-kibar ke segala arah seperti kena blower salon. Bibirku ikut bergoyang absurd, membuka dan menutup seakan sedang menyanyi dangdut tanpa musik. Kedua pipiku melebar ke belakang, tertarik angin digital, mirip wajah orang naik roller coaster murah di pasar malam.
Aku berusaha meraih meja, tapi yang kugapai hanya mouse yang ikut melayang. Mataku melotot, keringat bercucuran, dan suaraku melengking tidak karuan.
“Rafiii, tolongin aku!!” teriakku, tapi keluar dengan getaran aneh—seperti suara kaset rusak diputar ulang.
Gelap.
Hening.
Dan dunia di sekitarku lenyap.
***
Aku terbangun dengan kepala berat, seolah habis diguncang shake blender ukuran industrial. Pandangan mataku awalnya kabur, berbayang seperti kamera murahan yang gagal fokus. Perlahan-lahan, semuanya mulai jelas—dan justru bikin merinding.
Semuanya… berbentuk kotak.
Meja di hadapanku kotak. Kursi di sebelahnya juga kotak. Bahkan rumput di bawahku tumbuh dalam barisan kotak kecil, rapi tapi ganjil. Aku mendongak, dan hampir tercekat: awan di langit pun berbentuk kotak pixel, berbaris kaku seperti file yang gagal di-compress.
Warna-warnanya terlalu mencolok. Merah, hijau, biru—menyilaukan, menusuk mata. Rasanya seperti terjebak di layar monitor warnet 2007 yang brightness-nya diputar sampai mentok, lalu kontrasnya disiram cairan putih.
“Astaghfirullah… ini dimana? Minecraft versi trial?” gumamku sambil bangkit dengan lutut gemetar.
Belum sempat aku menenangkan diri, tanah di bawahku bergetar. Dari kejauhan, terdengar suara klik… klik… klik—semakin lama semakin cepat.
Aku menoleh. Mataku membelalak.
Seekor tikus kursor raksasa melintas, tubuhnya berbentuk segitiga putih dengan ekor panjang berupa kabel USB yang menyeret di belakang, menggores tanah pixel hingga menimbulkan percikan cahaya. Matanya berputar, ikon loading tak pernah selesai.
Aku refleks melompat mundur. “Astaghfirullah! Tikus apa pointer mouse ini?!”
Makhluk itu melintas begitu saja, meninggalkan bau ozon dan suara notifikasi error menggema.
Aku terpaku, keringat dingin bercucuran.
Tiba-tiba, dari balik bangunan raksasa menyerupai motherboard, muncul sosok berjubah panjang, warnanya hitam legam, dengan corak kabel HDMI melingkari tubuhnya. Suaranya berat, bergema seperti microphone murahan di aula sekolah.
“Selamat datang… di Bufferland.”
Suara itu dalam, berat, dan bergetar, seperti suara operator yang salah setting reverb karaoke. Aku menoleh cepat, dan nyaris jatuh tersungkur.
Dari balik bangunan menyerupai motherboard, muncullah sosok tinggi berjubah panjang berwarna hitam. Jubahnya penuh corak kabel HDMI yang menjuntai ke tanah, sesekali mengeluarkan percikan listrik. Di tangannya, ia membawa tongkat aneh yang ujungnya berupa colokan listrik tiga cabang.
Aku refleks mundur. “Lho… sampeyan siapa? Kok kayak ustaz elektronik?”
Pria itu mendongakkan kepala, matanya menyala biru seperti tombol power. Suaranya bergema lagi:
“Aku adalah… Converter Tua.”
Aku melongo. “Converter? Maksudnya kayak aplikasi convert video ke MP4? Itu kan biasanya gratisan, tapi ada watermark gede!”
Converter Tua menggeleng pelan, kabel-kabel di jubahnya berayun seperti jemuran kena angin. “Tidak, wahai manusia. Aku adalah satu-satunya penjaga format. Dan kau… terjebak karena satu dosa besar.”
Aku tercekat. “Dosa? Ya Allah, dosa apa lagi? Tugas aja udah kayak azab.”
“Kau menyimpan file videomu… dalam format .wfp.”
Aku terperangah. “.wfp? Lho, itu kan format FILMOSAURUS, ya?”
“Benar.” Converter Tua menghela napas panjang, suaranya berdesis seperti kipas laptop ketumpahan debu. “Itu adalah format terkutuk. Ia hanya bisa diputar di dunia aslinya. Di luar itu, ia jadi beban, penghalang… bahkan penjara.”
Aku langsung lemas, nyaris terduduk. “Astaghfirullah… gara-gara itu doang aku nyasar ke sini?”
Converter Tua mendekat perlahan. Setiap langkahnya berbunyi USB connected… USB disconnected…
“Dan sekarang, hanya ada satu jalan keluar. Kau harus menemukan Software Asli—satu-satunya alat yang mampu mengubah .wfp menjadi file video biasa.”
Aku panik. “Kalau nggak ketemu…?”
Converter Tua menatapku lama, lalu berbisik lirih, “Maka kau akan selamanya jadi bagian Bufferland. Hidupmu akan diulang-ulang… seperti video gagal render.”
Aku menelan ludah, keringat deras menetes. “Terus… gimana caranya?”
Converter Tua mengangkat tongkat colokannya ke langit. Suara bergemuruh. Kabel-kabel di sekitarnya bergetar.
“Kau butuh bantuan…” suaranya menggema, “…dari Rafi.”
Aku spontan nyeletuk:
“Lho, Rafi?! Muridku yang kalau disuruh ngumpulin tugas suka telat itu?!”
Converter Tua mengangguk pelan. “Ya. Karena dalam dunia ini… bahkan guru absurd pun tak bisa bertahan sendirian.”
Belum sempat aku mencerna kata-kata Converter Tua, tanah di bawahku berguncang. Udara di sekitarku berdesis, seperti speaker murahan yang dicolok-cabut berkali-kali.
Di langit pixel, terbuka sebuah retakan berbentuk lingkaran. Dari dalamnya terdengar suara berisik: “Pak Kebi, laptopnya nge-hang lagi nihhh!”
Aku melotot. “Astaghfirullah… itu suara Rafi!”
Retakan semakin lebar, dan sesuatu jatuh dari dalamnya—brukkk!
Seseorang terjerembab tepat di hadapanku, jatuh dengan gaya ala meteor jatuh di anime. Debu pixel beterbangan ke segala arah. Tangannya masih erat menggenggam tripod, seakan itu pedang pusaka. Di punggungnya tergantung tas penuh stiker anime acak—dari ninja berlari miring sampai robot mecha nangis sendu.
Saat debu reda, aku mengenali wajahnya. “Rafi?!”
Ia mengangkat kepalanya dengan dramatis, rambutnya berkibar seperti kena efek slow motion murahan. “Aduh… Pak! Saya ikut kehisap juga?!” teriaknya sambil menepuk-nepuk bajunya.
Wajahnya panik, tapi entah kenapa auranya seperti pro player yang baru turun ke arena. “Padahal saya cuma mau bantu ngedit pakai ClipKat loh! Kok malah teleport ke sini, kayak lagi draft pick di game Legendary Mobileeends?!”
Aku melongo. Antara lega, panik, dan pengen ngakak. “Ya Allah… muridku masuk dengan gaya keren, tapi plesetannya bikin makin absurd.”
Converter Tua menatap Rafi dengan tajam. Matanya berpendar biru. “Ah… rupanya inilah anak yang disebut takdir. Sang Editor Muda.”
Rafi berdiri tegap, menancapkan tripodnya ke tanah seperti ksatria menancapkan pedang. “Editor Muda?” Ia menyeringai, “Kalau di dunia nyata, sih, saya cuma anak ekskul jurnalistik yang sering jadi tukang potong video, Pak.”
“Justru itu,” jawab Converter Tua, suaranya berat bergema. “Di dunia ini, kemampuan editing-mu akan menentukan hidup dan mati. Kau bukan lagi pemotong klip, kau adalah Debugger Berjalan.”
Aku bengong. “Debugger berjalan? Lah, di kelas aja kamu sering telat, Fi…”
Rafi merogoh tasnya. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah harddisk portable penuh stiker kartun konyol. Ia mengangkatnya tinggi, lalu berkata dengan gaya seperti karakter anime shonen.
“Tenang, Pak Kebi. Selama ada preset transisi dan musik jedag-jedug, saya yakin kita bisa bertahan!”
Converter Tua mengangguk pelan, jubah HDMI-nya berkibar. “Maka perjalanan kalian dimulai. Kalian harus menyeberangi Folder Download, melewati jebakan Iklan Pinjaman Online, dan menemukan Software Asli. Hanya dengan begitu kutukan .wfp bisa dihapus.”
Aku menghela napas panjang, lalu menatap Rafi. “Fi, serius nih? Ini kayak tugas tambahan, tapi levelnya… dunia lain.”
Rafi nyengir, wajahnya bercampur panik dan semangat. “Santai, Pak. Kita anggap aja ini project bareng. Bedanya… kalau gagal, kita bukan remedial, tapi jadi file corrupt.”
Aku menutup wajah dengan tangan. “Ya Allah, dari sekian banyak murid, kenapa yang kehisap malah yang paling absurd.”
***
Kami berjalan menyusuri jalan panjang yang terbentuk dari barisan ikon-ikon aplikasi tak terpakai. Ada shortcut game bajakan, folder tugas yang namanya sudah belasan kali di-rename, dan file misterius bernama NEW_DOCUMENT(27).docx yang berkedip-kedip menyeramkan.
Di depan, menjulang folder raksasa dengan tulisan: DOWNLOAD.
Rafi menegakkan tripodnya. “Pak, hati-hati. Folder ini biasanya penuh file sampah.”
Begitu kami masuk, file berjatuhan dari langit. Ada ribuan—dari FilmRomantis_1080p_CAMVERSI.mkv, SoalUjian_FIX_Beneran_Final_FINAL.docx, hingga KUMPULAN_WALLPAPER_KPOP.zip.
Aku menjerit, “Astaghfirullah! Ini folder siapa, kok kayak kos-kosan anak rantau?!”
Tiba-tiba, sebuah jendela pop-up muncul di hadapan kami. Tulisan neon berkedip:
“DAPATKAN VPN GRATIS SELAMANYA! KLIK DI SINI!!!”
Rafi refleks mengangkat tripodnya seperti samurai. “Pak! Jangan disentuh! Itu virus pop-up. Sekali klik, kita kejebak iklan 30 detik tanpa tombol skip.”
Aku langsung mundur. “Ya Allah, jangan sampe… itu lebih kejam daripada disuruh isi angket online 50 soal.”
Kami berlari melewati hujan file tak berguna, hingga akhirnya sampai di sebuah lorong panjang menuju folder lain. Kali ini bertuliskan TEMP.
Begitu melangkah masuk, suasana berubah dingin. Di sini tak ada warna RGB cerah, hanya bayangan abu-abu dengan suara kipas laptop megap-megap. Dari balik gelap, muncul sosok melayang berbentuk jendela error transparan.
“Pak Kebi…” bisik Rafi, wajahnya tegang. “Itu… Blue Screen Spirit.”
Aku tercekat. Sosok itu menatap kami dengan tulisan samar di tubuhnya:
“The system has encountered a fatal error.”
Wajahku pucat pasi. “Ya Allah… kenapa rasanya lebih horor daripada ujian mikro?”
Rafi menggenggam tripodnya erat, wajahnya kini serius, auranya benar-benar seperti editor pro. “Pak, kalau kita bisa lewat sini, mungkin kita bisa sampai ke altar Converter Tua. Tapi… harus ada yang mengalihkan perhatian si Blue Screen Spirit.”
Aku menelan ludah. “Maksudmu…?”
“Ya,” Rafi menoleh padaku, ekspresi penuh keyakinan. “Pak Kebi harus jadi umpan.”
Rafi menggenggam tripodnya erat, auranya serius. “Pak, kalau kita mau lewat, ada satu cara. Bapak harus ngedistract si Blue Screen Spirit.”
Aku menelan ludah. “Ngedistract gimana? Suruh isi angket online?”
“Enggak, Pak. Cukup lakukan hal absurd seperti biasa.”
Aku terdiam sebentar, lalu menghela napas panjang. “Baiklah.”
Dengan wajah pasrah, aku melangkah maju. Layar-layar retak di sekitarku ikut bergetar. Aku berdiri tegak, mengangkat tangan, dan berteriak lantang:
“Selamat pagi anak-anak, sebelum kita mulai… coba buka buku paket halaman error 404!”
Blue Screen Spirit menoleh. Wajahnya yang retak membeku sebentar, lalu mengeluarkan bunyi beep-beep aneh, seakan kebingungan.
Kesempatan itu langsung dimanfaatkan Rafi. Ia menekan tombol shortcut di tripodnya—entah dari mana muncul cahaya biru yang menembus lorong. Dalam sekejap, kami berdua tersedot ke dalam portal terang yang terbuka.
Converter Tua berteriak dari kejauhan:
“Hati-hati! Itu bukan jalan biasa, itu pintu menuju Zona Debug!”
***
Cahaya biru itu menyilaukan. Tubuhku terhuyung, udara di sekitarku bergetar, seperti berdiri terlalu dekat dengan sound horeg yang digeber tanpa ampun.
Bass-nya menghantam dada, bikin jantungku ikut vibrato. Treble-nya nusuk telinga sampai gigi terasa bergetar. Bahkan tanah pixel di bawah kaki retak-retak, mirip tegel rumah tetangga yang kebagian getaran hajatan sebelah.
Di sela-sela itu, samar-samar terdengar suara penyanyi dangdut digital—suaranya jadi robotik, auto-tune kacau, seolah mikrofon juga ikut tersedot ke dimensi absurd.
Kupicingkan mata. Segalanya berputar cepat—warna, suara, bahkan pikiranku. Aroma logam panas menusuk hidung, bercampur dengan bau plastik terbakar. Rasanya seperti masuk ke dalam kipas laptop yang dipaksa rendering 4K sambil disalurin ke speaker hajatan satu RT.
Detik berikutnya, aku merasa tubuhku jatuh bebas. Angin digital menderu di telinga, menimbulkan dengung panjang yang menusuk kepala. Rambutku berkibar lagi, bibirku bergoyang absurd.
Aku sempat menoleh ke Rafi. Ia menggenggam tripodnya erat, matanya menyipit fokus, wajahnya diselimuti cahaya biru. Untuk sesaat, ia terlihat seperti editor chosen one—pahlawan dunia editing yang sedang menembus takdirnya.
Lalu—
BRRRZZZT!!
Segalanya berhenti.
Gelap. Sunyi. Hanya ada bunyi klik-klik kecil, seperti keyboard dipencet tanpa henti di kejauhan.
Aku membuka mata perlahan. Dunia di sekitarku bukan lagi Bufferland. Layar-layar melayang pecah di udara, huruf-huruf berhamburan seperti abjad yang kehilangan kata. Suara notifikasi error bergema tak beraturan, menyerupai lonceng horor.
Di sinilah aku sadar. Kami telah masuk ke wilayah yang lebih berbahaya.
Zona Debug.
***
Begitu cahaya biru meredup, aku membuka mata. Dunia ini… lebih kacau daripada Bufferland.
Layar-layar melayang pecah di udara, huruf-huruf berjatuhan seperti hujan alfabet. Suara notifikasi error berdentang tak beraturan, mirip lonceng horor diulang-ulang.
“Pak Kebi…” bisik Rafi. “Ini Zona Debug.”
Aku menelan ludah. Baru beberapa langkah, layar besar di depan kami menyala—menampilkan wajah ibu. Tapi jelas-jelas itu bukan ibuku. Mulutnya bergerak patah-patah, suara keluar delay setengah detik.
“Akses ditolak. Terlalu banyak upaya tanpa validasi…”
Aku gemetar. “Astaghfirullah, ini… deepfake kacau balau!”
Belum sempat aku mundur, tanah bergetar. Dari balik layar pecah, muncul monster digital: Bug Compiler. Tubuhnya gabungan kode merah, kabel kusut, dan ratusan pop-up iklan pinjaman online berkedip-kedip.
“Pak… kayaknya ini bos utamanya,” ujar Rafi, menegakkan tripodnya.
Aku panik. “Ya Allah, aku aja lawan soal esai udah ngos-ngosan, apalagi ini!”
Rafi membuka tasnya, mengeluarkan buku tebal bertuliskan Debugger Manual. Halamannya penuh kombinasi tombol aneh. Ia membacanya cepat:
“Ctrl + Shift +… Berdoa keras-keras?”
Aku spontan mengangkat tangan. “Bismillah!”
Cahaya biru menyelimuti kami. Bug Compiler membeku, layar di sekitarnya berhenti bergetar. Suara sistem bergema:
“Debug berhasil. Sistem aman. Tapi hanya sementara…”
Kami berdua jatuh terduduk, terengah-engah. Rafi memeluk bukunya. Aku menatap layar yang mulai retak lagi.
“Fi… kayaknya ini belum selesai.”
Dari langit, suara berat menghitung mundur:
“System reboot dalam 5… 4… 3…”
Aku mendesah. “Ya Allah, padahal video PPG-ku belum kepencet save.”
---------------------------------------
(Mohon maaf, pembaca sekalian, cerita pendek yang ini cukup panjang untuk dibaca.. 😅😅. Endingnya pun berakhir absurd.. Semoga pembaca sekalian merasa terhibur dan kisah Pak Kebi dapat digunakan sebagai bahan bakar semangat untuk esok hari.. Selamat malam, semoga mimpi indah.. 😇😇)