Namaku Yusuf, usiaku dua belas tahun. Jika orang lain bertanya kepadaku apa cita-citaku, dulu aku akan menjawab dengan lantang:
“Aku ingin jadi guru matematika. Aku ingin mengajar anak-anak kampungku, supaya mereka tidak takut berhitung.”
Aku masih ingat hari-hari sebelum semuanya berubah.
Setiap pagi aku berangkat sekolah bersama teman-temanku. Jalan yang kami lewati sempit, berdebu, tapi di sanalah canda tawa kami terdengar. Kami sering membawa buku yang masih berbau kertas baru, kadang menyelipkan roti hangat pemberian ibu. Saat pulang, aku bermain bola di gang bersama adikku, Maryam, yang selalu berlari sambil tertawa keras setiap kali gagal menendang bola.
Di rumah, ibu sibuk memasak maqluba nasi dengan ayam yang baunya memenuhi dapur kecil kami. Ayah duduk di ruang tamu, membaca koran usang sambil menegurku karena aku gemar mencoret-coret dinding dengan angka-angka. Bagiku, suara ibu, tawa Maryam, bahkan teguran ayah adalah musik paling indah.
Itulah rumah kami, tempat yang penuh cinta. Sampai malam itu tiba.
Dentuman pertama terdengar seperti guntur. Aku kira hanya hujan besar yang akan datang. Tetapi langit tetap kering, tidak ada setetes air pun jatuh. Lalu, cahaya merah menyambar, diikuti suara menggelegar yang membuat bumi bergetar.
Aku melihat ibu panik, berlari menutup jendela. Ayah berteriak agar kami berlindung. Aku hanya sempat melihat wajah Maryam yang pucat sebelum atap rumah kami bergetar hebat.
“Ayo cepat! Yusuf, bawa adikmu!”
Itulah teriakan terakhir ibu yang kuingat.
Debu memenuhi ruangan, dinding runtuh, dan suaraku tercekat. Aku berusaha menarik Maryam keluar, sementara Salim adik bungsuku yang baru berusia tiga tahun menangis keras di gendongan ibu. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Hanya saja ketika aku sadar, aku sudah berada di luar rumah, menggenggam erat tangan Maryam.
Ayah dan ibu… tidak pernah keluar lagi.
****
Sejak malam itu, hidupku tidak pernah sama. Kami tinggal di tenda pengungsian bersama ratusan orang lainnya. Di sana, udara terasa pengap, bau debu bercampur keringat dan tangisan bayi. Malam hari, suara dentuman masih terus terdengar, membuat tenda kami bergoyang.
Aku, Maryam, dan Salim harus bertahan sendiri.
Setiap pagi aku ikut antre untuk sepotong roti. Antrenya panjang, mengular seperti ular. Kadang setelah berjam-jam berdiri, roti itu sudah habis. Maryam menatapku dengan mata memohon. Salim menangis kehausan, suaranya serak karena terlalu sering menjerit.
Suatu kali aku berhasil mendapat sepotong roti kecil. Maryam langsung membaginya tiga. Aku pura-pura menolak.
“Abang sudah makan tadi, ini untuk kalian.”
Maryam menatapku dengan curiga.
“Tapi perut abang bunyi…”
Aku tersenyum tipis. “Abang kuat.”
Malam itu aku tidur sambil menahan perutku yang kosong.
Beberapa minggu kemudian, aku memberanikan diri kembali ke kampungku. Aku ingin melihat sekolahku.
Yang kulihat hanya puing-puing. Tembok yang dulu dipenuhi tulisan guru kini hancur, papan tulis patah, dan buku-buku berserakan dengan halaman hangus terbakar. Aku menahan air mata.
Aku ingin mengambil salah satu buku itu, tetapi suara pesawat di langit membuatku gemetar. Aku lari secepat mungkin, meninggalkan kenangan yang tidak akan pernah kembali.
****
Di antara reruntuhan rumah kami, aku menemukan sebuah lilin kecil. Warnanya putih, bagian atasnya sudah meleleh. Aku membawanya ke tenda.
Sejak itu, setiap malam aku menyalakan lilin itu. Api kecilnya menjadi cahaya satu-satunya di tengah kegelapan. Maryam tersenyum setiap kali melihatnya, dan Salim bisa tertidur lebih cepat.
Saat lilin menyala, aku bercerita kepada mereka.
“Maryam, kau masih ingat taman dekat sekolah?”
“Iya, taman dengan bunga kuning itu,” jawabnya pelan.
“Nanti kalau semua ini berakhir, kita akan kembali ke sana. Kita bisa berlari, tertawa, dan Salim akan ikut main bola.”
Maryam mengangguk, meski matanya basah. Aku tahu ia ingin percaya, meski hatinya ragu.
Hingga di suatu pagi, aku bertemu seorang anak laki-laki seusia Maryam di antrean bantuan. Namanya Hadi. Wajahnya tirus, matanya kosong.
“Ayahku bilang kalau kita bertahan, suatu saat kita bisa pulang ke rumah,” katanya.
Aku hanya terdiam. Aku tidak punya ayah lagi untuk berkata seperti itu.
Sejak hari itu, Hadi sering bermain dengan Maryam di sela-sela antrean. Mereka saling berbagi cerita kecil, meski wajah mereka jarang tersenyum.
Ada malam-malam ketika aku tidak sanggup menahan air mata. Saat Maryam dan Salim tidur, aku keluar dari tenda, menatap langit yang dipenuhi cahaya merah. Aku bertanya dalam hati:
“Ya Allah, sampai kapan? Apa aku cukup kuat menjaga mereka? Aku hanya anak kecil, bagaimana bisa aku menggantikan ayah dan ibu?”
Tetapi setiap kali aku melihat wajah Maryam yang tidur dengan damai, dan mendengar suara napas kecil Salim, aku tahu aku tidak boleh menyerah.
****
Suatu pagi, orang-orang berbisik tentang kapal bantuan di laut. Mereka membawa makanan, obat, dan pakaian. Sebagian anak-anak bersorak gembira, sebagian lagi hanya menatap tanpa percaya. Aku juga ingin percaya.
Tapi aku tahu, tidak semua bantuan akan sampai pada kami. Kadang terhenti di perbatasan, kadang hanya segelintir yang mendapatkannya. Namun, seperti lilin kecilku, harapan itu tetap menyala.
Malam itu dentuman terdengar lebih dekat dari biasanya. Tanah bergetar, tenda kami hampir roboh. Salim menangis keras, Maryam menutup telinganya. Aku memeluk mereka erat-erat.
“Abang, aku takut…” Maryam berbisik.
“Aku juga takut,” jawabku jujur. “Tapi kita harus kuat. Kita punya satu sama lain.”
Aku menyalakan lilin kecilku lagi. Api itu bergetar tertiup angin, hampir padam. Tapi tidak. Lilin itu tetap menyala.
Dan malam itu aku sadar, mungkin aku tidak bisa menyelamatkan dunia, mungkin aku tidak bisa menghentikan perang. Tapi selama aku masih bisa menjaga api kecil ini untuk Maryam dan Salim, aku akan terus hidup.
Kini aku tidak lagi bermimpi menjadi guru matematika. Mimpiku lebih sederhana aku hanya ingin melihat Maryam dan Salim tumbuh besar. Aku ingin mereka merasakan hidup yang normal, duduk di bangku sekolah, bermain di taman, dan tertawa tanpa takut dentuman ledakan kembali berbunyi.
Aku tahu itu mungkin tidak akan terjadi besok. Tapi suatu saat nanti, ketika perang ini berhenti, aku akan membawa mereka pulang.
Selama aku masih bernapas, aku akan menjaga lilin kecil itu tetap menyala.
✨ TAMAT
✦ Catatan Penulis
Cerpen ini adalah karya fiksi. Namun, cerita dan suasana yang digambarkan di dalamnya terinspirasi dari kisah nyata warga Gaza, Palestina, yang hingga kini masih berjuang di tengah konflik. Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa di balik angka-angka korban dan berita singkat, ada manusia-manusia kecil dengan mimpi, harapan, dan cinta yang sama seperti kita.