Di Balik Tawa
Di sekolah, ia selalu menjadi pusat perhatian. Suaranya lantang, tawanya renyah, dan kehadirannya mampu membuat kelas menjadi hidup. Guru-guru sering memujinya karena sikap ramah dan cerianya. Teman-teman pun menyukainya, bahkan menganggapnya sebagai pribadi yang paling bahagia.
Namun, tidak ada yang tahu apa yang terjadi ketika bel pulang berbunyi. Rumah yang ia tuju bukanlah tempat penuh kehangatan, melainkan ladang pertengkaran. Suara bentakan, barang pecah, dan tangisan samar sudah menjadi rutinitas yang melelahkan. Setiap malam, ia menutup telinga dengan bantal, berusaha mengusir kenyataan bahwa keluarganya sedang retak.
Tapi ia pandai menyembunyikan segalanya. Esok hari, ia tetap datang ke sekolah dengan wajah ceria, seakan tidak ada apa pun yang terjadi. Bahkan ketika matanya sembab karena semalaman menangis, ia menutupinya dengan tawa yang lebih keras dari biasanya.
Namun, topeng itu lambat laun menjadi beban. Semakin lama ia merasa lelah. Ia ingin berhenti, ingin jujur pada dunia, tapi lidahnya kelu dan hatinya terkunci. Bahkan ketika seorang teman dekatnya sempat melihat air mata yang jatuh tanpa sengaja, ia masih menutupi dengan tawa kaku.
Hingga suatu malam, ketika pertengkaran di rumah memuncak, ia memilih diam. Tidak menangis, tidak menjerit. Hanya duduk di pojok kamar, menatap kosong pada dinding. Ponselnya bergetar, pesan dari teman-temannya masuk: “Besok jangan lupa bawa cerita lucumu lagi ya, biar kita ngakak bareng-bareng.” Ia tersenyum tipis, mengetik balasan singkat dengan emotikon tertawa.
Keesokan paginya, sekolah gempar. Anak yang selalu ceria itu ditemukan tak bernyawa di kamarnya. Wajahnya tenang, seakan tidur panjang. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi malam sebelumnya. Yang tertinggal hanyalah secarik kertas kecil di atas meja belajarnya:
"Tawaku tidak pernah benar-benar tulus. Aku hanya ingin kalian bahagia, meski aku sendiri tidak pernah merasakannya."
Berita itu menyebar cepat. Teman-temannya menangis histeris, guru-guru terdiam tak percaya. Tak ada yang menyangka bahwa di balik tawa yang selama ini mereka kagumi, tersimpan luka yang begitu dalam.
Sejak hari itu, setiap kali kelas terasa sepi, teman-temannya selalu teringat akan tawa itu. Tawa yang kini hanya menjadi kenangan—tawa palsu yang ternyata adalah jeritan minta tolong yang tak pernah mereka dengar.
---