Surau kecil di ujung desa malam itu dipenuhi cahaya lampu minyak yang menggantung di langit-langit. Cahayanya kuning temaram, berayun pelan diterpa angin, membuat bayangan para santri bergoyang di dinding papan. Dari luar, suara jangkrik dan sesekali gonggongan anjing menambah suasana khas pedesaan yang sunyi.
Namun di dalam, suasana jauh berbeda. Anak-anak remaja yang duduk bersila berbaris di lantai anyaman bambu tidak sepenuhnya khusyuk. Suara mereka berisik, tawa kecil muncul bergantian.
Hanifah, siswi SMP yang duduk di barisan tengah, tidak bisa menahan senyum saat temannya, Marni, membisikkan sesuatu yang lucu. Gelak kecilnya lolos, mengundang tawa beruntun dari dua orang lain di sampingnya.
Tiba-tiba suara berat memotong keheningan.
“Cukup!” bentak Pak Hilmi, matanya menajam seperti kilatan pisau. “Kalian datang ke sini untuk apa? , Untuk belajar kalamullah atau untuk mengobrol seperti di pasar?”
Semua kepala langsung tertunduk. Hanifah merasakan tubuhnya kaku, tapi belum sempat ia menunduk lebih jauh, tatapan Pak Hilmi berhenti tepat padanya.
“Hanifah!” suaranya meninggi, tegas. “Kalau kau ingin tertawa, lebih baik keluar dari sini. Jangan rusak kekhusyukan orang lain yang ingin belajar!”
Ruangan mendadak hening. Hanya suara jangkrik dari luar jendela yang terdengar.
Hanifah merasakan pipinya terbakar, seakan semua mata memandangnya. Mushaf di pangkuannya terasa berat, huruf-huruf hijaiyah seakan kabur. Dadanya sesak, matanya berair, tapi ia paksa menunduk lebih dalam. Rasa malu itu menancap seperti duri, membuatnya ingin segera menghilang.
Setelah itu, pelajaran malam itu berjalan tanpa banyak suara. Setiap santri membaca dengan serius, tak ada yang berani berbisik lagi. Begitu salam penutup diucapkan, anak-anak berhamburan keluar dengan tawa kecil, seakan teguran tadi sudah terlupakan. Tapi bagi Hanifah, kata-kata itu membekas dalam-dalam.
Hanifah melangkah cepat keluar, teman-temannya sempat menoleh, beberapa bahkan berbisik sambil menahan tawa. “Kena marah, tuh,” bisik Marni dengan nada bercanda, meski matanya sedikit khawatir.
Hanifah hanya mendengus pendek dan mempercepat langkah. Ia menunduk sepanjang jalan setapak dari surau menuju rumahnya, ingin segera sampai rumah, menjauh dari tatapan orang-orang. Angin malam berembus lembut membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi, tapi tak mampu menenangkan hatinya.
"Kenapa aku harus tertawa tadi… kenapa harus dipermalukan di depan semua orang…" batinnya bergetar.
Jalan tanah menuju rumah Hanifah gelap malam itu. Bulan hanya separuh, cahayanya redup. Di kejauhan, lampu-lampu rumah warga tampak seperti titik kuning di lautan sawah.
“Hanifah.”
Suara itu membuatnya menoleh. Pak Hilmi berdiri tak jauh di belakang, menepuk sandal jepitnya di tanah berdebu. Usianya sebenarnya belum tua, mungkin awal dua puluhan. Sosoknya selalu terlihat tenang, dengan sorot mata tajam yang sering membuat para santri segan.Para santri memanggilnya pak Ustadz karena menghormatinya sebagai guru ngaji mereka .
“Rumahmu ke arah timur, bukan?” tanyanya.
Hanifah menunduk sedikit, masih canggung setelah insiden tadi. “Iya, Pak.”
“Kalau begitu, mari kita jalan bersama. Malam ini agak gelap. Bahaya kalau sendirian.”
Hanifah hanya mengangguk. Mereka berjalan beriringan di jalan setapak yang diapit hamparan padi. Bau tanah basah selepas hujan masih segar menusuk hidung.
Awalnya, hanya suara sandal yang bergesek dengan kerikil menemani langkah mereka. Hanifah menunduk, berusaha menjaga jarak sedikit di belakang. Namun tiba-tiba Pak Hilmi berbicara.
“Kamu tahu, Hanifah… hidup orang dewasa tidak sesederhana yang terlihat.”
Hanifah sedikit terkejut mendengar kalimat itu. Ia menoleh, matanya penuh tanya. “Maksud Pak Ustadz?”
Pak Hilmi menarik napas panjang, menatap lurus ke jalan. “Aku baru saja berpisah dengan seseorang… kekasih yang sudah lama bersamaku.”
Hanifah berhenti sejenak, lalu melanjutkan langkah dengan ragu. “Berpisah…? Kenapa, Pak?”
“Orang tuanya menjodohkan dia dengan lelaki lain. Lelaki yang lebih mapan, lebih sesuai. Aku… hanya guru ngaji di desa. Apa yang bisa kuberikan selain doa dan waktu?” Hilmi tersenyum hambar, seolah sedang menertawakan dirinya sendiri.
Hanifah terdiam. Ada sesuatu yang menekan dadanya mendengar cerita itu.
“Awalnya aku ingin memberi dia sesuatu,” lanjut Hilmi, suara beratnya tertelan angin malam. “Aku pesan sebuah lukisan dari pelukis tua di desa seberang. Lukisan bunga kesukaannya, melati putih. Tapi… nasib berkata lain.”
Hanifah menatapnya hati-hati. “Apa yang terjadi dengan lukisan itu?”
“Lukisan itu hilang. Kata orang, entah dicuri atau terbakar di bengkel si pelukis. Yang tersisa hanya kanvas kosong, penuh noda arang.” Hilmi menghela napas panjang. “Aneh sekali rasanya… hadiah terakhir pun tak bisa aku berikan.”
Ada jeda panjang. Hanifah tidak tahu harus berkata apa. Ia membayangkan sosok perempuan yang dimaksud, menangis di hari pernikahan, menerima ucapan selamat dari seseorang yang dulu begitu dekat dengannya.
“Aku tetap menemuinya,” kata Hilmi akhirnya. “Di rumah seorang teman. Aku datang dengan tangan kosong. Kukira aku bisa tersenyum dan mengucap selamat. Tapi begitu melihatku… dia menangis. Air matanya jatuh deras. Dia memelukku, seakan tidak rela.”
Hanifah menelan ludah. Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Ada rasa getir yang menular dari setiap kata Hilmi.
“Dan saat itu aku sadar,” Hilmi melanjutkan lirih, “bahwa kadang kita tidak punya kuasa atas hidup kita sendiri. Kadang, meski hati masih ingin bersama, dunia memisahkan dengan caranya sendiri.”
“Hanifah,” suara Hilmi kembali memecah keheningan. “Jangan menertawakan orang dewasa kalau suatu hari kau melihat mereka rapuh. Kadang, di balik ketegasan… ada luka yang dalam.”
Hanifah menunduk, pipinya terasa panas meski udara malam menusuk kulit. Perlahan ia berkata, “Aku… tidak akan menertawakan, Pak. Justru… aku ingin mengingat cerita ini.”
Hilmi menoleh sekilas, tersenyum samar. “Terima kasih. Mungkin suatu hari nanti, ketika kau lebih dewasa, kau akan benar-benar mengerti.”
Mereka berhenti di pertigaan jalan. Rumah Hanifah tampak samar di kejauhan, dikelilingi kebun singkong dan pagar bambu. Lampu minyak di beranda masih menyala, tanda ibunya belum tidur.
Hanifah melangkah perlahan, sempat menoleh sekali lagi. Hilmi berdiri di persimpangan, sosoknya tegak diterangi sinar bulan redup. Ada sesuatu pada punggung itu, sebuah kesepian yang pekat, seakan pria itu menanggung beban yang terlalu berat untuk usianya.
“Selamat malam, Hanifah.”
“Selamat malam, Pak ...”
Hanifah melangkah pulang. Namun dalam hatinya, malam itu terasa begitu panjang. Ia tak bisa melupakan sorot mata gurunya, juga cerita getir tentang cinta yang hilang. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa sosok yang selama ini tampak kokoh dan tegas… ternyata menyimpan hati yang retak, sama rapuhnya seperti manusia lain.
Yuk baca lanjutannya di Novel terbaru saya berjudul "Retak yang Tak Terlihat". Mohon dukungannya ya 🙏🥰🥰