SURAPRABHAWA
GIRINDRA WARDHANA
Beliau adalah raja Majapahit terakhir yang di gulingkan oleh anak-anak Sinagara, yang membuat benteng pertahanan di Jinggan. Sang Sinagara menurut para ahli berkaitan dengan Segaran. Yang berdasarkan catatan portugis Sang Sinagara ini sedikit gangguan jiwa. Sehingga ketika berada di tepi kolam segaran, dia masuk ke dalamnya tenggelam, dan mati. Makanya di kenal sebagai Sinagara, yang tenggelam di segara, laut. Entah mati di bunuh atau terbunuh, mengingat perebutan kekuasaan terus terjadi, sampai-sampai pamannya, suraprabhawa juga terbunuh di istana, maka tidak menutup kemungkinan kalau dia juga di bunuh. Apalagi dia mengalami gangguan jiwa, maka untuk mengganti posisi sebagai raja hal demikian bisa lebih cepat. Namun bila mengingat dia ayahnya serta yang menggantikan ternyata bukan anak-anaknya, maka kemungkinan kecelakaan lebih tepat. Pararaton (ꦥꦫꦫꦡꦺꦴꦤ꧀) atau Kakawin Kenhangrok, (dari bahasa Jawa: Para Ratu, yang berarti "Para Penguasa") adalah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bentuk kakawin. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja"]. Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton. Kitab ini memiliki beberapa variasi. Beberapa di antaranya yang ditemukan di Bali telah disimpan di Perpustakaan Nasional RI. Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292). Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja pada tahun 1222. Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Arok". Mengingat tarikh terakhir yang disebut pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, dengan kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun kedua. Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Arok mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang raja. Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surga Wisnu. Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung Kryar Lejar, di mana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa. Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus tahta atas kerajaan Singhasari. Beberapa bagian Pararaton dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada bagian awal, antara fakta dan kata kata kiasan serta khayalan dan kenyataan saling berbaur karena itu merupakan karya sejarah seni sastra era masa kuno. Beberapa pakar, seperti C.C. Berg, berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian pada masa depan. Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber China, serta menerima lingkup referensi naskah tersebut di mana suatu interpretasi yang valid dapat ditemukan. Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan; dan menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci dari negara secara keseluruhan; sebagaimana istananya yang dianggap mikrokosmos dari keadaan makrokosmos. Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat kedewaan, di mana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa. J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti Siwagrha (Śivagŗha) (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Tanah Jawi (1836). Perbandingan tersebut menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas dalam karakter, struktur dan fungsi dari teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu. Ras menyarankan pengelompokan jenis teks-teks tertentu dari seluruh wilayah Indonesia menjadi suatu genre sastra tersendiri, yaitu 'kronik pemerintahan' atau 'kitab raja-raja', yang merupakan historiografi yang ditulis demi melegitimasi kekuasaan raja. Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surga Wisnu. Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung Kryar Lejar, di mana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa. Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus tahta atas kerajaan Singhasari. Beberapa bagian Pararaton dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada bagian awal, antara fakta dan kata kata kiasan serta khayalan dan kenyataan saling berbaur karena itu merupakan karya sejarah seni sastra era masa kuno. Beberapa pakar, seperti C.C. Berg, berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian pada masa depan. Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber China, serta menerima lingkup referensi naskah tersebut di mana suatu interpretasi yang valid dapat ditemukan. Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan; dan menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci dari negara secara keseluruhan; sebagaimana istananya yang dianggap mikrokosmos dari keadaan makrokosmos. Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat kedewaan, di mana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa. J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti Siwagrha (Śivagŗha) (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Tanah Jawi (1836). Bhre Kertabhumi / Bathara ring Kerthabumi / Dyah Singhanegara / Singhawardhana Dyah Wijayakusuma / Raden Alit/ R. Angkawijaya atau Kung-ta-bu-mi atau disingkat Brawijaya V adalah raja Majapahit ke-11 yang berasal dari Wangsa Rajasa. Beliau merupakan putra bungsu Rajasawardhana (Raja Majapahit ke-8). Nama beliau dikenal melalui Prasasti Jiyu, Serat Pararaton, Kakawin Banawa Sekar, Suma Oriental, Babad Tanah Jawi, Serat Kanda dan Serat Pranitiradya. Bhre Kertabhumi dikenal sebagai penguasa Majapahit setelah mengalahkan pamannya, Suraprabhawa (Raja Majapahit ke-10). Bhre Kertabhumi merupakan ayah dari Raden Patah, Ratna Pambayun dan 115 anak lainnya. Prabu Kertabhumi merupakan Raja dari Dinasti Rajasa yang terakhir (Dinasti Rajasa adalah dinasti keturunan Ken Arok), yang setelah itu digulingkan oleh sepupunya, Adipati Kediri zaman majapahit yaitu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut Pararaton, pada tahun 1468, Bhre Kertabhumi melakukan pemberontakan terhadap pamannya yang bernama Suraprabhawa (Singhawikramawardhana), adik Rajasawardhana, karena ia adalah putra bungsu Rajasawardhana, yang merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu. Pemerintahan Suraprabhawa berakhir tahun 1468 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana. Suraprabhawa beserta keluarganya kemudian melarikan diri ke daerah Keling, Daha. Pararaton memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabhumi adalah raja yang menggantikan Suraprabhawa. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi adalah penguasa Majapahit yang memerintah sampai meninggal pada tahun 1478. Menurut Prasasti Petak dan Prasasti Jiyu yang dibuat tahun 1474, oleh Dyah Ranawijaya (Girindrawardhana). Dyah Shingawardhana / Bhre Kertabhumi dikalahkan oleh Dyah Ranawijaya, raja Majapahit yang sejak tahun 1474 menggantikan Singhawikramawardhana. Hal ini diperkuat juga dalam Prasasti Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Bhre Kertabhumi, serta memindahkan ibu kota Majapahit ke Daha (Kediri). Bhre Kertabhumi kemudian melarikan diri ke daerah Demak. Peristiwa perebutan kekuasaan ini kemudian memicu perang antara Majapahit melawan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Bhre Kertabhumi. Hingga pada tahun 1478, setelah Bhre Kertabhumi wafat, Raden Patah putra Bhre Kertabhumi mendirikan Kerajaan Demak dan memisahkan diri dari Majapahit. Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau Bhre Keling adalah maharaja terakhir Majapahit dari dinasti girindrawardhana kediri yang memerintah tahun 1474—1518, dengan ibukota di Daha /Kediri. Namanya dikenal melalui Prasasti Jiyu (I, II, III, IV), Prasasti Petak, Serat Pararaton dan Suma Oriental. Girindhrawardhana Ranawijaya diketahui menggulingkan Prabu Singhanegara Wijayakusuma Brawijaya V. Seorang raja dalam tradisi Majapahit memiliki gelar kerajaan dan nama muda yang dicirikan dengan penggunaan gelar kebangsawanan atau abhiseka Dyah, terutama berlaku untuk tokoh laki-laki dan perempuan. Gelar Girindrawardhana (transliterasi: Girīndrawarddhana) adalah gelar bagi raja Majapahit, Dyah Ranawijaya. Gelar ini ditemukan dalam Prasasti Waringinpitu yang bertahun 1369 Saka (1447 M), serta Prasasti Ptak (OJO XCI) dan Prasasti Jiwu (OJO XCII-XCV) yang keduanya bertahun 1408 Saka (1486 M). Pada Prasasti Jiwu I bertarikh 1486, yang menceritakan penganugerahan tanah oleh 'Dyah Raṇawijaya' kepada kepada pendukungnya 'Sri Brahmaraja Gangadhara' dalam perang saudara melawan Bhre Kertabhumi dan menyebutkan bahwa Girīndrawardhana Dyah Raṇawijaya adalah raja yang berkuasa atas Wilwatiktapura (nama lain Majapahit), Janggala (Kahuripan), dan Kaḍiri (Daha). Sedangkan gelar Brawijaya juga dianggap identik dengan Dyah Ranawijaya, yang namanya terdapat dalam penutupan naskah Pararaton. Kemungkinan hal ini berasal dari ejaan Batara Vojyaya yang terdapat pada naskah Suma Oriental (Ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya) yang disederhanakan menjadi Bhra Wijaya, yang kemudian familiar disebut Brawijaya di era Jawa Baru. pada tahun 1466, Girisawardhana wafat dan digantikan oleh Suraprabhawa (Singhawikramawardhana), adiknya. Hal ini mengakibatkan, Bhre Kertabhumi melakukan pemberontakan terhadap Suraprabhawa pada tahun 1468, karena ia adalah salah satu putra Rajasawardhana, dan merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya. Kemudian Dyah Suraprabhawa dan keluarganya termasuk Dyah Wijayakarana, Dyah Wijayakusuma, Dyah Ranawijaya melarikan diri ke daerah Keling, Kediri dan menjadi penguasa Keling dengan gelar Girindrawardhana. Setelah mengumpulkan kekuatan, mereka menyerang balik Kerthabumi. Kekuasaan Bhre Kertabhumi berakhir setelah dikalahkan oleh Dyah Ranawijaya, yang kemudian menjadi raja Majapahit yang memerintah sejak tahun 1474. Hal ini diperkuat juga dalam prasasti Jiyu (I, II, III, IV) dan Petak, tahun 1486, yang isinya yaitu memperingati 12-tahun kematian Singhawikramawardhana. Dyah Ranawijaya memberikan penghargaan tanah untuk pembangunan "Trailokyapuri" kepada "Sri Brahmaraja Ganggadara" yang membantunya mengalahkan Kertabhumi, serta memindahkan ibu kota Majapahit ke Daha (Kediri). Kekalahan Bhre Kertabhumi memicu perang antara Majapahit melawan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Bhre Kertabhumi. Pada tahun 1513 saat Tomé Pires mengunjungi Jawa, ibu kota sudah pindah ke Dayo (ejaan Portugis untuk Daha). Saat itu raja sudah tidak berkuasa penuh. Dyah Raṇawijaya hanya sebagai raja simbol belaka. Yang menjalankan roda pemerintahan adalah Guste Pate (ejaan Portugis untuk Gusti Patih) yang sebelumnya dikenal dengan nama Pate Amdura (ejaan Portugis untuk Patih Mahodara). Cerita ini diperkuat oleh catatan Duarte Barbosa dari Italia yang menyebutkan pada tahun 1518 yang berkuasa atas Jawa pedalaman bernama Pate Udra (Patih Udara). Patih Udara memerintah segala aspek menggantikan Ranawijaya. Ia menggenggam raja di tangannya, bahkan berhak memberikan perintah. Sang raja sudah tidak memiliki suara dalam hal apa pun. Rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada raja karena kecewa telah kehilangan sebagian besar tanah mereka. Tomé Pires (1513) mencatat sering terjadi peperangan antara Pate Amdura (ejaan Portugis untuk Patih Mahodara) melawan persekutuan para pate (patih) pesisir utara yang dipimpin Pate Rodim dari Demaa (ejaan Portugis untuk Demak). Pate Rodim dan para pate yang beragama Islam itu membentuk aliansi melawan Daha. Meskipun demikian, tidak semua pate yang beragama Islam mendukung Pate Rodim. Ada seorang bernama Pate Vira dari Tuban yang meskipun muslim tetapi mendukung Guste Pate di Daha. Pate Vira ini adalah narasumber Tomé Pires mengenai kondisi politik di Jawa saat itu. Ketika Tomé Pires datang ke Jawa (1513), peperangan terjadi antara Daha melawan Demak. Terkadang Demak yang menyerang dahulu, kadang Daha yang ganti menyerang. Pihak Daha selaku penerus Majapahit ingin merebut kembali deretan kota pelabuhan utara yang dikuasai Dĕmak. Hanya Tuban saja di wilayah pantura yang masih setia kepada Daha, sedangkan Surabaya kadang melawan Daha, kadang menjadi kawan. Pada tahun 1522 penulis Italia bernama Antonio Pigafetta mendapat keterangan dari para pelaut lainnya, bahwa ada kota besar di Jawa bernama Magepaher (Majapahit) yang rajanya bernama Pate Unus (kakak Pate Rodim) telah meninggal. Menurut catatan Tomé Pires di tahun 1513 Pate Unus adalah pate yang berkuasa di Japara, yang merupakan pate Islam terbesar kedua sebelum Pate Rodim raja Demak. Jika keterangan ini benar, maka Pate Udra (Patih Mahodara) patih yang berkuasa di Daha telah dikalahkan oleh Pate Unus sesudah tahun 1518, sebelum tahun 1522. Sementara itu, Babad Sĕngkala mencatat Tuban dan Daha (sekarang Kediri) baru bisa ditaklukkan oleh Demak pada tahun 1527. Saat itu yang menjadi raja Dĕmak adalah Sultan Trenggana (Pati Rodim) putra Raden Patah. Sisa-sisa keluarga Majapahit keturunan Girindrawardhana kemudian melarikan diri ke wilayah Blambangan (sekarang daerah Kabupaten Banyuwangi). Suraprabhawa atau Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa atau Bratanjung atau Sri Mokta ring kedhaton (Brawijaya IV). adalah maharaja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1468, bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta. Tokoh ini identik dengan Bhre Pandansalas dalam Pararaton yang naik takhta tahun 1466. Dyah Suraprabhawa juga dianggap identik dengan Bhre Pandansalas, tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra ke 3 Dyah Kertawijaya. Istrinya Bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja berupa prasasti Pamintihan tahun 1473. Dalam Pararaton ditemukan beberapa orang yang menjabat sebagai Bhre Pandansalas. Yang pertama adalah Raden Sumirat putra Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk). Raden Sumirat bergelar Ranamanggala menikah dengan Surawardhani adik Wikramawardhana. Dari perkawinan itu lahir Ratnapangkaja, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ratnapangkaja kemudian kawin dengan Suhita (raja Wanita Majapahit, 1427-1447) putri Wikramawardhana. Bhre Pandansalas yang pertama tersebut setelah meninggal dicandikan di Sri Wisnupura di Jinggan. Bhre Pandansalas yang lain diberitakan menjadi Bhre Tumapel, kemudian menjadi raja Majapahit tahun 1466. Istrinya menjabat Bhre Singhapura, putri Bhre Paguhan, putra Bhre Tumapel, putra Wikramawardhana. Diberitakan dalam Pararaton, setelah Bhre Pandansalas menjadi raja selama dua tahun, keponakannya Bhre Kertabhumi melakukan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan pada tahun 1468. Menurut Pararaton, pada tahun 1466 M, dikabarkan wafat dan digantikan oleh Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa, yang merupakan adik dari Giriśawardhana Dyah Suryawikrama. Hal ini menyebabkan kekecewaan anak-anak Rājasawardhana Sang Sināgara, diantaranya Bhre Kahuripan Sang Munggwin Jinggan, Bhre Mataram Dyah Wijayakusuma, Bhre Lasem, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kretabhūmi Dyah Raņawijaya untuk pergi atau minggat dari kedaton (sah saking kadaton) pada tahun 1468 M, kemudian mereka mendirikan benteng pertahanan di Jinggan. Hal ini berpuncak pada tahun 1478 M, berdasarkan prasasti Sidotopo dan prasasti Petak mereka berlima pun menyerang kedaton yang dibantu oleh Śrī Brahmārāja Ganggadhara. Perlawanan inilah yang membuat Suraprabhawa gugur di kadaton, lantas menjadi akhir riwayat dari Kerajaan Majapahit. Selanjutnya menurut Suma Oriental, yang menggantikan Suraprabhawa sebagai raja Wangsa Rajasa ialah Batara Mataram / Bhre Mataram, putra Batara Sinagara yang dalam prasasti Jiyu III memiliki gelar, Śrī Mahārāja Bhatāre Kling Girīndrawarddhana Dyah Wijayakusuma Śrī Singhawarddhana, yang kemudian memindahkan ibukota ke Kĕling/ Daha/ Kadhiri: bhre paṇḍan salas añjĕnĕng ing tumapĕl, anuli prabhu i śaka brahmana-naga-kaya-tunggal, 1388 (1466M), prabhu rong tahun. tumuli sah saking kaḍaton. putranira sang sinagara, bhre koripan, {Bhre Lasem{?}, bhre mataram, bhre pamotan, pamungsu bhre kṛtabhūmi, kapĕrnah paman, bhre prabhu sang mokta ring kaḍaton i śaka śunya-nora-yuganing-wong, 1400(1478M). (Terjemahan Ibu Nia K.S. Irfan) : Bhre Paṇḍan Salas menjadi Bhre Tumapĕl, kemudian menjadi bhre prabhu pada śaka brahmana-naga-kaya-tunggal, 1388 (1466M). Ketika ia baru bertakhta dua tahun, pergilah dari istana, anak-anak Sang Sinagara, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, {Bhre Lasem{?}, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kṛtabhūmi, terhitung paman mereka, bhre prabhu yang meninggal di istana pada śaka śunya-nora-yuganing-wong, 1400 (1478M). (Terjemahan Bapak Hasan Djafar) : Bhre Paṇḍan Salas menjadi Bhre Tumapĕl, kemudian menjadi bhre prabhu pada śaka brahmana-naga-kaya-tunggal, 1388 (1466M). Baru bertakhta dua tahun, kemudian pergi dari istana karena diserang anak-anak Sang Sinagara, yaitu Bhre Kahuripan, {Bhre Lasem{?}, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu, Bhre Kṛtabhūmi, terhitung paman Bhre Paṇḍan Salas, adalah bhre prabhu yang meninggal di istana pada śaka śunya-nora-yuganing-wong, 1400 (1478M). Hal ini berlawanan dengan tafsir bapak Hasan Djafar (1972, 1975), beliau menyebutkan Suraprabhawa, putra Girisawardhana bertakhta pada tahun 1466 M, baru bertakhta 2 tahun terusir dari kedaton/istana. Kemudian takhta Majapahit di ambil alih oleh Bhre Kretabhūmi (Paman nya) pada tahun 1468 M. Setelah terusirnya Suraprabhawa dari Majapahit, anak-anaknya, yaitu Girindrawardhana Dyah Raņawijaya dan Dyah Wijayakaraņa menyusun benteng untuk memerangi Bhre Kretabhūmi. Jadi, menurut beliau yang pergi dari istana adalah Suraprabhawa, bukan anak-anak Sang Sinagara. Pak Hasan Djafar (1972, 1975) kemudian menghubungkan berita dalam Pararaton dengan Prasasti Jiyu III yang dikeluarkan oleh seorang raja Bernama Girīndrawarddhana Dyah Raņawijaya yang mengadakan upacara Śraddha 12 tahun meninggalnya Bhatāra ring Dahanapura, yang ditafsirkan sebagai ayahnya, Suraprabhawa. Beliau menjelaskan bahwa sesudah di usir dari Majapahit pada tahun 1468 M, ia kemudian pindah ke Daha sehingga berjuluk Bhatāra ring Dahanapura, dan pada tahun 1473 M mengeluarkan prasasti Pamintihan yang menyatakan diri sebagai satu-satunya raja agung yang memimpin rakyat. Kemudian pada 1474 ia meninggal dunia dan digantikan putranya Dyah Raṇawijaya sebagai penguasa Daha. Tokoh ini pun menyerang Majapahit, yang menyebabkan Bhre Kretabhūmi terbunuh di kedaton. Belakangan teori ini dibantah oleh ibu Nia K. S Irfan (2008), yang mengidentifikasikan "Bhatāra ring Dahanapura, Sang Mokteng Indranibhawana" sebagai ibu dari Bhre Kretabhūmi Dyah Raņawijaya dan istri dari Rajasawardhana, yaitu Manggalawardhanī Dyah Suraghāriņī. Pararaton tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman dari Bhre Kertabhumi. Tahun kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam prasasti Trailokyapuri yang dikeluarkan oleh putranya, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut, Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana meninggal tahun 1474. Kemudian Dyah Ranawijaya menjadi raja Majapahit tahun 1474, ia mengaku sebagai pewaris tahta Singhawikramawardhana. Hal ini dapat diperkuat adanya unsur kata Giripati dalam gelar abhiseka Singhawikramawardhana yang sama artinya dengan Girindra, yaitu raja gunung. Rajasawardhana atau disebut Rajasawardhana Dyah Wijayakumara atau Bhre Kahuripan ( Brawijaya II ) adalah maharaja Majapahit ke-8 (wafat tahun 1453). Nama Rajasawardhana dalam Sejarah Kemaharajaan Majapahit merujuk pada dua orang. Yang pertama adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1451-1453 dengan gelar Rajasawardhana Sang Sinagara. sedangkan yang kedua adalah penguasa Matahun atau Bhre Matahun pada pemerintahan Hayam Wuruk. Raja Rajasawardhana Merupakan Putra sulung dari Raja Kertawijaya (Brawijaya I) dengan permaisuri Dyah Pitaloka Citraresmi. Rajasawardhana muncul dalam Pararaton sebagai raja Majapahit yang naik takhta tahun 1451. Disebutkan bahwa, sebelum menjadi raja ia pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, kemudian Bhre Kahuripan. Versi 1. Rajasawardhana naik takhta menggantikan Kertawijaya. Hubungan antara keduanya tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat bahwa, Rajasawardhana yang menggantikan Suhita sebagai Bhre Kahuripan, melakukan kudeta disertai pembunuhan terhadap Kertawijaya. Versi 2, Pendapat lain mengatakan, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra sulung Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447). Menurut prasasti Waringin Pitu, Dyah Wijayakumara memiliki istri Bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakusuma (Bhre Kertabhumi) . Sementara dalam Pararaton, Rajasawardhana Sang Sinagara memiliki empat orang anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabhumi. Jika Rajasawardhana Sang Sinagara benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakusuma. Kemungkinan, saat prasasti Waringin Pitu dikeluarkan pada tahun (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabhumi belum lahir. Pemerintahan Rajasawardhana juga terdapat dalam berita Tiongkok. Disebutkan bahwa pada tahun 1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke Tiongkok. Menurut Pararaton, sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453, Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Tokoh ini dianggap identik dengan Girishawardhana putra kedua Kertawijaya yang tercatat dalam prasasti Waringin Pitu. Rajasawardhana yang pertama, yang menurut Nagarakretagama, adalah Rajasawardhana yang menjabat sebagai Bhre Matahun yaitu suami dari Indudewi alias Bhre Lasem putri Rajadewi dengan Wijayarajasa. Dari perkawinan itu, lahir Nagarawardhani yang menikah dengan Bhre Wirabhumi putra Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu (1351-1389).
Dalam Pararaton, pejabat Bhre Matahun yang identik dengan Rajasawardhana adalah Raden Larang. Istrinya adalah adik kandung Hayam Wuruk. Perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan, karena istri Bhre Wirabhumi versi Pararaton adalah putri Raden Sumana alias Bhre Paguhan, bukan putri Raden Larang. Dalam hal ini, berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya, karena ditulis tahun 1365, saat Rajasawardhana masih hidup. Prasasti Kusmala (Prasasti Kandangan) bertarikh 1350 M, menyebut Bhre Matahun dengan gelar pāduka bhaţāre matahun šri bhaţāra wijayarājasānanta wikramottunggadewa. Transkip. swasti cri cakarawarsatita 1408 kartikamasa titi pratipadakrsna paksa, wu, cu, wara, kalawu, agneyastha, graham cara, rohininaksatra, prajapati dewata, parigha yoga, wresabkaraci. irika diwacanyajna paduka cri maharaja cri wilwatiktapura janggala kadiri prabhu natha cri girindrawarddhana nama dyah ranawijaya, bhatara [ku] monang lampahikang dwadacawarsa craddrasampurnnanira sang mokta ring indrabhawana, ring cri mahadwijacresta, bharadhuwajasutra, apasthambhasutra, caturwwedaparaga, sarwwacastra samapta, paduka cri brahmaraja ganggadhara. ya ta sinung bhumudana ring trailokyapuri, sahampihanya ring talasan nanging janggada ring pung batu catusimanya, sakendeng sengkernya, sa bhuktinya sadrwya hajinya hanutu sarasaning pracasti ring trailokyapuri wnanga sakalwiranya luputa saprakara denika sima sajero parimana tugu sakalwiranya sawah walirang Sawah pengampulan pada marika wlah 15. Terjemahan. Selamatlah! Pada tahun Saka 1408 bulan Kartika Kresnapaksa hari Wurukung Jumat Umanis wuku Kulawu bintang berkilau di timur laut perumahan bulan Rohini di bawah lindungan dewata Pardjapati yoga pariga tanda bintang banteng. Pada waktu itulah turun perintah Sri Maharaja keraton Majapahit Jenggala Kadiri Sri Baginda Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, setelah upacara sraddha 12 tahun memperingati wafatnya Sang Mokta ring Indrabawana (ratu Daha Manggalawardhani Dyah Suragharini) kepada Sri Mahadwija Sri Paduka Brahmaraja Ganggadara, yang putus dalam kitab sutra Bharadwwadja dan Apastambha, serta kitab Weda yang empat (caturweda), serta putus dalam segala kitab sastra. Karena itu beliau (Sri Brahmaraja Ganggadara) mendapat anugerah tanah untuk pembangunan Trailokyapuri bersama tanah di Talasan, selanjutnya ditambah tanah kosong di Pung dengan batu prasasti tanah perdikan itu, dengan dataran dan lereng bukitnya, disertai kekuasaan yang sempurna atasnya dengan segala beban atasnya ditambah segala hak utama seperti ditetapkan dalam piagan Terailokyapuri, yaitu segala macam hak pelungguhan dan segala macam kebebasan. Adapun kedudukan tanah perdikan berlaku pula bagi seluruh pengluasan perwatasan meliputi segala macam tanah yaitu sawah di pelerengan gunung Welirang di Pengampulan yang semunya luasnya 15 tengahan tampah. Transkip //O//swasti cri cakawarsatita 1408 dyesta masa, titi dacami cukla ma pa ra wuru tolu, aicanyastha grahanacara, citraksatra, twasta dewata kanya raci.Irika diwaca cri bhatara prabhu girindrawardhana, garbhopatinama dyah ranawijaya, wuddopadeca, hniring de rakryan patih pu thahan, hamagehaken sungsungira bhatara prabhu sang mokta ring mahawicecalaya mwang sang mokteng mahalayabhawana samasung ganjaraning cri brahmaraja ganggadara, decakalanya ring ptak sahampihanyengembu salbak wukir sakendeng sengkernya saprakaraning bhuktinja cri brahmaraja muktiha tke Santana pratisantana,yananaha paksabhumi salwiraning janmanya marihabhumi, cri brahmarajatah pramanamuktiha, kararaning sinung ganjaran hamrih kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun ayun ayunan yudha lawaning majapait.[irika cri bra] hma [raja ganggadara] maring ptek sumanggala pura ngaranya, dening kawewnanganing deca ha nuta ring saka wewnanganira cri brahmaraja, acandrarkasthayi, astabhogatajaswamnya, luputa saprakara, wnanga sakalwiranya, mwah yanana mangrudgha sarasa ning andika pala supracasti, sakalwiran ing janmanya, makadi sang anagata prabhu, dadya bhasmikretayatad ahning kaala kalibhuta picacadi tumpur bhrasta sahananya, astu, am. //O// Terjemahan //O// Selamatlah! Pada tahun saka 1408, pada hari komariah yang kesepuluh ketika perduaan bulan djesta sedang naik pada hari pecan majawulu minggu paing sedangkan bintang tetap bertempat di tenggara gugusan bulan citra dewata twastr tanda resi perawan. Ketika itu Sri Batara prabhu Girindrawardhana dyah Ranawijaya, yang mahir dalam ajaran agama Buda, diiringkan rakryan apatih Pu Thahan, meneguhkan anugerah yang telah dikeluarkan Batara prabhu sang mokta ring Mahawisesalaya (Dyah Wijayakarana) dan sang mokta ring Mahalayabhuwana (Dyah Wijayakusuma), dimana mereka berdua telah menganugerahkan atau memberi ganjaran tanah pradesa di Petak berikut lembah dan bukitnya kepada Sri Brahmaraja Ganggadara, dan segala pengluasan dan pembatasan dan berbagai hasil, hanyalah Sri Brahmaraja yang diperkenankan memetik hasilnya sampai ke anak cucunya turun-temurun. Yang menyebabkan Sri Brahmaraja mendapat anugerah itu ialah karena ia berusaha keras mendukung kejayaan dan kemenangan melawan sang Munggwing Jinggan (Dyah Samarawijaya) (yang bersemayam di Jinggan) ketika terombang-ambing masa kemelut perang melawan Majapahit. Ketika itu Sri Brahmaraja pergi ke Petak yang merupakan tempat persembahan dengan tanda paling baik. Segala hak desa itu menjadi milik Sri Brahmaraja selama bulan dan matahari bersinar di langit. Segala hak itu meliputi hawa napsu yang delapan ragam, tedjaswanya, dengan mengalami segala macam hak perdikan dan segala macam wewenang. Selanjutnya barang siapa melanggar isi perintah Sebagaimana yang termuat dalam prasasti, siapapun mereka, terutama segala raja-raja yang akan datang, mereka akan hancur lebur menjadi abu dan akan menjadi makanan setan laku-laki dan perempuan, juga bagi buta dan picasa. Habis dan rusak binasalah mereka bersama seluruh kepunyaannya. Demikianlah hendaknya. Amien //O// Begitulah, maka Kertabumi/ Brawijaya/ Ranawijaya adalah raja terakhir Daha yang di jatuhkan oleh Trenggono pada tahun 1527 M. Dan Sultan Trenggono terbunuh di Pasuruan, oleh anak kecil, anak bupati Surabaya yang lagi asyik mendengar rapat sampai tak menghiraukan perintah sang sultan kemudian di pukul dan menusukkan senjata ke sultan Trenggono. Walau begitu mungkin saja sisa-sisa pasukan Magepaher yang terdesak menggabungkan diri ke timur bahkan sampai di Bali mengingat orang Gelgel masih suka menyebut keturunan Majhapahit. Dengan logika bahwa negeri sebesar itu tentunya tak membiarkan runtuh begitu saja serta kenyataan Sejarah di mana kematian demi kematian para penguasa itu. Walau dengan akhir yang aneh dan berlainan.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit disebabkan oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi perang saudara (Perang Paregreg), konflik internal perebutan kekuasaan, dan kemunduran setelah masa kejayaan di bawah Hayam Wuruk. Faktor eksternal meliputi pengaruh dari Dinasti Ming, munculnya kekuatan baru seperti Kerajaan Demak, dan penyebaran agama Islam.
Faktor Internal:
• Perang Paregreg:
Perang saudara antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi setelah kematian Hayam Wuruk menyebabkan perpecahan dan melemahkan kerajaan.
• Konflik Internal:
Perebutan kekuasaan dan konflik antar keluarga kerajaan turut mempercepat keruntuhan.
• Kemunduran Setelah Hayam Wuruk:
Setelah masa kejayaan di bawah Hayam Wuruk, penerusnya tidak mampu mempertahankan stabilitas dan kekuatan kerajaan.
Faktor Eksternal:
• Pengaruh Dinasti Ming: Ekspansi Dinasti Ming di Asia Tenggara memberikan tekanan pada Majapahit.
• Munculnya Kerajaan Demak: Kerajaan Demak yang bercorak Islam bangkit dan menjadi ancaman bagi Majapahit, akhirnya menyerang dan menaklukkan kerajaan tersebut.
• Penyebaran Agama Islam: Masuknya agama Islam dan penyebarannya di pesisir utara Jawa menyebabkan hilangnya pengaruh Majapahit di wilayah tersebut.
Selain faktor-faktor tersebut, hilangnya tokoh-tokoh penting seperti Gajah Mada dan Hayam Wuruk juga turut berkontribusi pada kemunduran dan keruntuhan Majapahit.
Perang paregreg itu yang di anggap bencana. Karena raja istana barat yang melawan istana timur saling berselisih. Walau sebenarnya kalua perang itu sudah biasa. Dan hampir semua merupakan perang saudara. Bahkan semenjak Singhasari sudah terjadi begitu. Walau titik terang yang sumber lebih dari satu terjadi semasa raja kertanagara. Di mana banyak catatan yang menuliskan hal tersebut. Baik sumber primer maupun catatan yang terjadi berabad abad setelahnya. Karena tiap raja seperti sudah menjadi kesepakatan umum, mesti melakukan peperangan besar guna mempertahankan kekuasaannya. Sejak ken arok mesti menjatuhkan tunggul ametung dan raja kediri, kertajaya. Kertanegara mesti melenyapkan pemberontakan caya raja dan menyerbu pamalayu. Raden Wijaya juga mesti mengusir pasukan tartar serta pemberontakan bekas anak buahnya sendiri. Mulai dari ranggalawe, sora, dan yang lainnya. Lalu jayanegara dengan musuh raja timur nambi, di lamajang tigang juru. Serta para dharmaputra yang merupakan bekas pasukan kesayangan ayahnya. Dan sampai pada tungga dewi yang mesti memimpin sendiri pasukannya dalam melawan raja sadeng dan keta. Semua merupakan perang dalam istana sendiri. Yang mungkin kisahnya sama dengan paregreg itu. Karena banyak memusnahkan pasukan sendiri. Dengan ekspansi yang berhasil pada masa gajah mada.
Pustoko:
1. Heri Purwanto (2023) Pararaton: Biografi Para Raja Singhasāri-Majapahit
2. ^ Nia K.S. Irfan (2008) Pararaton Revisited: Tafsir Baru Atas Sejarah Keluarga Majapahit
3. ^ Hasan Djafar (1972) Girīndrawardhana: Beberapa Masalah Akhir Majapahit
4. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 448-451.
5. H Kern
6. JLA Brandes
7. Prof. Slamet Mulyono
8. Berg, C.C. (1927). Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen. BKI 83: 1–161.
9. Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. hlm. 345
10. Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, hlm. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague: W. van Hoeve, 1968), hal. 21.
11. Ma Huan (1970) [1433]. Ying-yai Sheng-lan (瀛涯胜览) The Overall Survey of the Ocean's Shores. Hakluyt Society (dalam bahasa Inggris). translated by J.V.G Mills. Cambridge University Press. ISBN 9780521010320.