Malam itu, langit penuh bintang. Di halaman sekolah yang sudah sepi, hanya tersisa dua orang—Rangga dan Ayudia. Mereka duduk di tangga gedung, setelah seharian sibuk mempersiapkan tugas kelompok untuk besok.
“Capek ya,” ujar Ayudia sambil menatap langit.
Rangga tersenyum kecil. “Capek, tapi enak. Soalnya ada kamu.”
Ayudia tertawa, ringan sekali, seperti bunyi angin yang lewat. “Kamu ini suka banget deh bikin gombal aneh-aneh.”
Rangga hanya menunduk. Padahal, kata-kata itu bukan gombal. Itu yang ia rasakan sungguh-sungguh. Sejak lama, Ayudia adalah denyut yang membuatnya betah menunggu, alasan kenapa tiap hari terasa lebih hangat.
---
Rangga ingin sekali bilang, “Aku jatuh cinta sama kamu.”
Tapi lidahnya kelu. Ia takut kata-kata itu justru merenggangkan persahabatan yang sudah ia jaga dengan hati-hati.
Maka ia memilih diam, dan membiarkan rasa itu menjadi doa dalam senyap.
---
Waktu berjalan.
Mereka sering berbagi hal kecil—es teh manis di kantin, pulang bersama saat hujan turun, atau sekadar diam berdampingan ketika lelah.
Rangga tahu, mungkin suatu hari Ayudia akan menemukan seseorang yang lebih berani, lebih jelas dalam mengucap perasaan. Tapi di lubuk hatinya, ia ingin sekali berkata:
"Kamu adalah rumah pertama bagi hatiku.
Aku belajar tentang rindu dari caramu tertawa.
Aku belajar tentang kehilangan, bahkan sebelum sempat benar-benar kehilanganmu."
---
Suatu sore, Ayudia berkata pelan, “Kamu tau nggak, kadang aku takut… kalau nanti kita nggak lagi sedeket ini.”
Rangga menatapnya lama. Ingin sekali ia menjawab dengan jujur.
Tapi yang keluar hanya kalimat sederhana: “Aku bakal tetap ada, Ayu. Selama kamu mau.”
Dan di balik kata-kata yang terdengar biasa itu, tersimpan cinta pertamanya—cinta yang mungkin takkan pernah sampai, tapi akan selalu hidup sebagai doa dalam kenangan.