Angin semilir meniup bendera merah putih yang berkibar gagah di halaman sekolah. Para siswa berdiri tegak dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan, tetapi tak sedikit dari mereka yang tampak jenuh. Beberapa menguap, sebagian lain sibuk mencuri pandang ke layar ponsel yang disembunyikan.
Dira, siswi kelas XI, menatap kosong ke arah tiang bendera. Baginya, upacara ini hanyalah rutinitas yang membosankan. Teriakan semangat "Merdeka!" dari pembina upacara hanya lewat begitu saja di telinganya.
"Kenapa harus terus mengingat masa lalu?" gumam Dira pelan, hampir tak terdengar. "Itu kan urusan orang dulu, bukan kita."
Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang guru sejarah bernama Pak Raka memperhatikan. Beliau tahu, banyak anak muda yang mulai kehilangan rasa memiliki terhadap perjuangan bangsanya. Pandangan Dira yang acuh membuatnya teringat pada pesan almarhum kakeknya, seorang pejuang yang selamat dari pertempuran Surabaya 1945.
Usai upacara, Pak Raka memanggil Dira ke ruangannya.
“Dira,” ucapnya sambil menatap tajam, “kamu tahu kenapa kita bisa berdiri di lapangan tadi, mengibarkan bendera itu dengan bebas?”
Dira menghela napas. “Iya, iya, karena para pahlawan sudah berjuang. Tapi… bukankah itu cerita lama, Pak? Sekarang kan kita hidup di zaman modern. Semua berbeda.”
Pak Raka tersenyum tipis. “Kalau begitu, maukah kamu ikut saya sore ini? Ada sesuatu yang harus kamu lihat.”
Sore itu, Dira dengan enggan mengikuti Pak Raka menuju sebuah rumah tua di pinggir kota. Rumah itu tampak sederhana, dinding kayu, dan di terasnya terpajang foto hitam putih seorang pria berwajah tegas memakai peci.
“Ini rumah Paman saya, salah satu pejuang kemerdekaan,” kata Pak Raka. “Beliau memang sudah wafat lama, tapi peninggalannya masih ada. Aku ingin kau merasakannya sendiri.”
Dira melangkah masuk. Aroma kayu tua bercampur debu menyambut. Di dalam rumah, tersusun rapi dokumen, senjata bambu runcing, serta buku harian lusuh. Pak Raka menyerahkan buku itu pada Dira.
“Bacalah,” ujarnya pelan.
Dira membuka halaman pertama. Tulisan tangan yang agak goyah tertulis:
“17 Agustus 1945. Kami dengar kabar proklamasi. Hati kami membara, meski Belanda dan Jepang belum sepenuhnya pergi. Kami bersumpah, lebih baik mati daripada dijajah kembali.”
Dira terdiam. Ia membalik halaman demi halaman. Setiap kata seakan hidup, menghadirkan kembali suasana genting masa itu: suara tembakan, teriakan pemuda, tangisan anak-anak, dan darah yang bercucuran di tanah.
Salah satu catatan membuatnya tercekat:
“Hari ini, sahabatku, Wira, gugur. Peluru menembus dadanya ketika melindungi anak kecil yang terjebak di jalan. Ia sempat tersenyum padaku sebelum terjatuh. Aku berjanji akan melanjutkan perjuangannya, meski nyawaku taruhannya.”
Mata Dira mulai panas. Untuk pertama kalinya ia merasakan betapa mahal harga yang dibayar untuk sebuah kata 'merdeka'.
Malam itu, Dira tak bisa tidur. Ia menatap bendera merah putih kecil di kamarnya dengan perasaan berbeda. Saat matanya terpejam, ia tiba-tiba mendapati dirinya berada di tengah kerumunan pemuda yang memegang bambu runcing.
Asap mengepul, ledakan terdengar, dan suara pekik “Merdeka atau mati!” menggema di udara.
Seorang pemuda berseragam lusuh menoleh padanya. Wajahnya penuh debu, namun sorot matanya menyala.
“Kau siapa?” tanya pemuda itu.
“Aku… aku Dira. Dari masa depan…” jawab Dira gugup.
Pemuda itu tersenyum. “Masa depan, ya? Kalau begitu, katakan pada generasimu… jangan pernah sia-siakan darah kami. Kami berjuang bukan hanya untuk kami hidup hari ini, tapi untuk kalian bisa berdiri dengan kepala tegak di tanah sendiri.”
Tiba-tiba suara tembakan memekakkan telinga. Pemuda itu roboh di hadapan Dira, darah mengalir di tanah. Dengan teriak putus asa, Dira berlari, namun suasana perang kian mencekam.
Ia terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Nafasnya tersengal. Mimpi itu terasa terlalu nyata, seolah ia benar-benar melihat pengorbanan seorang pahlawan tepat di depan matanya.
Keesokan harinya, Dira kembali ke sekolah. Saat bendera merah putih dinaikkan, ia berdiri paling tegak, menahan air mata yang hampir jatuh. Kini ia tahu, di balik kain merah putih itu tersimpan darah dan nyawa ribuan pejuang.
Sejak hari itu, sikap Dira berubah. Ia mulai aktif dalam kegiatan OSIS, menggerakkan teman-temannya untuk membuat program sosial, mengajar anak-anak jalanan, dan mengadakan diskusi sejarah kemerdekaan.
“Kalau kita hanya sibuk dengan diri sendiri, apa bedanya dengan penjajah yang hanya memikirkan keuntungan?” ucapnya berapi-api dalam salah satu kegiatan. “Merdeka bukan berarti berhenti berjuang. Kita harus terus berjuang melawan kebodohan, kemalasan, dan ketidakpedulian!”
Semangat Dira menular. Banyak teman yang sebelumnya apatis kini ikut bergerak. Mereka membuat komunitas kecil bernama Api Merdeka, wadah bagi generasi muda untuk menyalakan kembali jiwa nasionalisme melalui aksi nyata.