Di balik jas hitam rapi, dasi biru navy, dan wajah penuh kalkulasi pasal-pasal hukum, ada seorang pengacara bernama Raka Pradipta. Orang-orang di pengadilan mengenalnya sebagai “si otak dingin”—logis, tenang, selalu punya counter-argument yang bikin lawan debat kepeleset logika sendiri.
Tapi di balik itu semua?
Ada hati yang rapuh. Ada cinta yang nyangkut seperti paperclip di meja kerja, tak pernah dibereskan. Ada rindu yang tersimpan seperti berkas kasus menumpuk: diarsip, tapi tidak pernah selesai.
“Life is not only about winning the case, but also about winning your own heart,” bisik Raka suatu malam, menatap pantulan dirinya di jendela kantor.
1. Malam dan Kopi yang Mengeluh
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Kantor firma hukumnya sudah kosong, hanya lampu neon putih pucat yang menemani. Tumpukan dokumen terlihat seperti gunung kecil, sementara laptopnya menampilkan pasal-pasal yang tak lagi terbaca jelas oleh matanya yang kelelahan.
Di meja, secangkir kopi dingin masih tersisa. Kopi itu seolah-olah ikut protes:
“Bro, lu kira gue nggak capek nemenin lu ngetik terus?”
Raka terkekeh pelan. “Chill out, bro. You’re my only loyal friend tonight.”
Humor kecil itu tidak membuat kesedihannya pergi. Justru menekankan betapa sepi hidupnya. Orang-orang hanya mengenal dia sebagai pengacara yang berapi-api, tapi tak ada yang tahu betapa sering ia berbicara sendiri pada secangkir kopi dingin.
2. Cinta yang Tersimpan di Draft
Di folder laptopnya, selain dokumen kasus, ada satu file Word dengan judul samar: DraftLetter.docx. Isinya bukan legal brief. Bukan pula analisis kontrak. Melainkan surat panjang yang tak pernah dikirimkan—ditujukan pada seseorang bernama Alya.
Alya, teman kuliahnya dulu. Sosok yang bisa membuat seluruh ruang kelas terasa seperti musim semi padahal AC rusak dan dosen killer sedang marah. Alya dengan rambut ikal sederhana, tawa yang sering bikin Raka lupa argumen, dan sorot mata yang seperti… well, seperti pengadilan yang membuatnya ingin selalu mengaku jujur.
“Kalau cinta itu perkara hukum, mungkin aku sudah kalah di pra-peradilan,” tulisnya di salah satu paragraf.
Melankolis? Iya.
Kocak? Sedikit.
Tapi motivasi? Justru dari surat itu ia mengingatkan dirinya: berani bicara bukan cuma di ruang sidang, tapi juga di depan hati sendiri.
Sayangnya, surat itu tak pernah sampai. Karena setiap kali hendak dikirim, Raka selalu berkata, “Nanti aja. Gue kan pengacara, bukan penyair.”
3. Courtroom vs Heartroom
Besoknya, Raka kembali beraksi di ruang sidang. Jaket hitamnya berayun gagah, argumen-argumennya tajam, saksi lawan terpeleset kata-kata sendiri. Hakim sampai menatapnya dengan campuran kagum dan bosan: “Anak muda ini terlalu banyak energi.”
Tapi di “heartroom”-nya sendiri, Raka justru kalah.
Bayangkan: di ruang sidang ia bisa mengutip pasal demi pasal. Tapi di depan Alya—yang suatu hari tanpa sengaja ia temui di kafe kecil—lidahnya malah beku.
“Eh… kamu… apa kabar?” tanya Raka, mencoba terlihat cool.
Alya tersenyum. “Aku baik. Kamu sendiri?”
Dan di detik itu, Raka merasakan semua pasal, KUHP, KUHPerdata, bahkan hukum internasional, mendadak hilang dari otaknya. Kosong. Blank.
“Ba… baik. Aku… masih suka sama kopi dingin.”
Ya ampun. Itu jawaban paling absurd sepanjang kariernya sebagai manusia.
Tapi di balik canggung itu, ada getar motivasi yang ia rasakan: kalau kamu bisa bicara lantang membela orang lain, kenapa kamu diam membela perasaan sendiri?
4. Humor yang Menyelamatkan
Malam-malam berikutnya, Raka mulai sering menulis lagi. Tapi bukan surat cinta. Ia menulis catatan kecil berisi kombinasi quotes motivasi plus jokes random.
Contoh:
“Kalau kalah di sidang, jangan takut. Kalah di cinta lebih sakit.”
“Justice delayed is justice denied. Tapi kalau cinta ditunda? Itu namanya PHP.”
“Be a lawyer for others, but don’t forget to be the lawyer of your own broken soul.”
Tulisan-tulisan ini ia tempel di sticky notes di meja. Sekilas terlihat kocak, tapi sebenarnya itu lifeline, tali penolong agar ia tidak tenggelam terlalu dalam dalam kesunyian.
5. Motivasi dari Bayangan
Suatu malam, listrik kantor padam sebentar. Dalam remang, Raka melihat bayangan dirinya di kaca. Seperti bercermin pada orang asing.
“Bro, lu sibuk bela orang lain, tapi kapan bela diri sendiri?” suara dalam dirinya bergema.
Raka menelan ludah. Kata-kata itu sederhana, tapi menikam.
Ia sadar, hidup bukan cuma soal menang di pengadilan. Hidup juga soal keberanian mengakui luka, menerima cinta, dan mengizinkan diri sendiri bahagia.
“Life is not a trial. Life is a journey,” gumamnya.
Kalau pun hidup ini sebuah sidang panjang, setidaknya ia ingin berdiri di sana bukan hanya sebagai pengacara, tapi juga sebagai manusia yang tahu cara jatuh cinta.
6. Pertemuan Kedua yang Mengguncang
Beberapa minggu kemudian, takdir kembali menguji Raka. Alya hadir sebagai saksi ahli di kasus lingkungan. Ia kini seorang peneliti hukum internasional. Duduk di kursi saksi, ia menjawab pertanyaan dengan suara tenang, matanya sesekali melirik Raka yang berdiri sebagai pengacara utama.
Dalam hati, Raka ingin teriak: “Hakim yang mulia, izinkan saya mengajukan pertanyaan pribadi: kenapa kamu masih secantik dulu?”
Tentu ia tak bisa. Jadi ia bertanya hal formal.
Tapi setiap kali Alya menjawab, hatinya bergetar seperti pasal yang dipelintir.
Sidang selesai, dan Raka hanya sempat melambaikan tangan kecil—gesture yang konyol tapi tulus. Alya tertawa kecil. “Kamu masih sama ya, awkward.”
Raka nyengir. “Better awkward than fake.”
Itu kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat keduanya tertawa di tengah dinginnya gedung pengadilan.
7. Untold, But Not Forever
Malam itu, Raka pulang ke apartemen. Ia membuka DraftLetter.docx lagi. Tapi kali ini, ia tak hanya menulis. Ia berjanji: besok, ia akan benar-benar kirimkan.
“Fear is temporary, regret is forever,” tulisnya di akhir surat.
“Dan aku capek jadi pengacara yang cuma berani di ruang sidang. Aku mau berani di ruang hatiku sendiri.”
Entah apa jawaban Alya nanti. Tapi bagi Raka, ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal keberanian mencoba.
8. Catatan untuk Siapa Pun yang Membaca
Kalau ada yang membaca cerita Raka, mungkin mereka bisa belajar sesuatu. Bahwa:
Hidup bukan cuma soal kerja keras, tapi juga soal keberanian mencintai.
Humor bisa jadi pelampung ketika kamu hampir tenggelam.
Jangan tunggu semua kondisi sempurna. Sometimes, you just have to jump, even if the parachute isn’t ready.
Menunda cinta hanya menambah berkas penyesalan.
Raka tahu dirinya bukan superhero. Dia cuma pengacara dengan kopi dingin, sticky notes random, dan satu hati yang terlalu lama disimpan. Tapi justru itu, yang membuat ceritanya indah.
Karena kadang, cerita yang tidak pernah diceritakan (untold story) adalah yang paling layak dikenang.
9. The Letter That Finally Left His Draft
Besoknya, setelah sidang selesai, Raka memberanikan diri. Tangannya gemetar saat memasukkan amplop kecil ke dalam tas Alya ketika mereka duduk sebentar di kafe dekat pengadilan.
“Eh, apa ini?” tanya Alya, keningnya berkerut.
“Jangan dibuka sekarang,” jawab Raka cepat, wajahnya merah padam. “Nanti aja, pas kamu udah tenang. Gue… takut kalau kamu langsung kabur.”
Alya menatapnya lama. Senyumnya tipis, tapi hangat. “Oke, lawyer misterius.”
Malamnya, Alya membaca surat itu. Tulisan tangan Raka agak berantakan—hasil tangan pengacara yang biasanya sibuk dengan keyboard, bukan pena.
> “Alya,
Kalau cinta ini perkara hukum, mungkin aku sudah kalah sejak awal.
Tapi aku sadar, hidup bukan soal menang atau kalah. Hidup adalah soal berani mengaku.
Jadi inilah pengakuanku: aku suka kamu, sejak dulu, sampai sekarang.
If you don’t feel the same, it’s okay. At least aku sudah jadi pengacara yang jujur di ruang hatiku sendiri.”
Alya menutup surat itu dengan mata yang sedikit berkaca. Bibirnya tersenyum, bukan karena isinya sempurna, tapi karena akhirnya, Raka yang selalu bersembunyi di balik argumen hukum berani membuka satu “pasal” paling penting: kejujuran hati.
Keesokan harinya, Raka menerima pesan singkat.
Alya: “Your objection is accepted. Let’s meet again, not in court, but in life.” ❤️
Raka tertawa kecil, nyaris meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya, ia merasa memenangkan perkara terbesar dalam hidupnya: perkara cinta.
---
✨ Motivasi penutup:
Kadang kita takut membuka hati karena bayangan gagal. Tapi gagal mengaku jauh lebih sakit daripada ditolak. Life is not always a courtroom, sometimes it’s just a coffee shop where you finally confess.