Perpustakaan Desa Sukaraya berdiri di ujung jalan setapak, berdampingan dengan pohon beringin tua yang akarnya menjalar sampai ke dinding bangunan. Cat temboknya telah pudar, jendela kayunya rapuh, dan hampir tidak ada lagi yang sudi berkunjung. Buku-buku berdebu, meja kursi berderit, bahkan lampu neon sering mati menyala sendiri meski listrik sudah diputus bertahun lalu.
Bima, pemuda dua puluh tiga tahun yang baru kembali dari kota, menjadi satu-satunya yang masih menyukai tempat itu. Ia tumbuh besar di desa ini, dan sejak kecil suka duduk di pojok rak untuk membaca cerita rakyat. Suatu sore, ia kembali ke perpustakaan, hanya berniat mencari ketenangan dari hiruk pikuk rumah.
Hujan turun deras. Perpustakaan sunyi. Hanya suara tetes air dan gesekan ranting beringin di jendela. Saat ia menggeser kursi untuk duduk, tiba-tiba kakinya menyenggol papan lantai yang agak longgar. Retakan kecil tampak di sela ubin.
“Sejak kapan ada celah di sini?” gumamnya.
Rasa penasaran mendorongnya mencongkel papan itu. Dengan sedikit tenaga, papan terbuka. Di bawahnya ada pegangan besi kecil yang seolah menjadi pintu. Dengan degup jantung tak menentu, Bima menariknya.
Sebuah ruang sempit terbuka. Bau apek langsung menyergap, seakan ruangan itu telah puluhan tahun terkubur. Ia menyalakan ponsel, sinarnya menyorot ke bawah, ada rak buku besi berkarat dengan puluhan map cokelat kusam tersusun rapi.
Bima turun perlahan. Di rak itu, tidak ada buku cerita, hanya arsip tipis dengan tulisan tangan rapi. Ia mengambil salah satunya.
Di sampul lusuh tertulis “Laporan Kematian Warga Sukaraya.”
Jari Bima bergetar. Ia membuka lembar pertama. Tertulis nama orang, tanggal lahir, tanggal kematian, penyebab kematian, bahkan kalimat terakhir sebelum meninggal.
Bima menelan ludah. “Apa-apaan ini…”
Makin dibalik, makin Bima merasakan kengerian. Semua warga desa tercatat. Bahkan neneknya, yang meninggal lima tahun lalu, tercatat persis dengan kata terakhirnya “Air… tolong air.” Padahal hanya keluarga dekat yang tahu hal itu.
Bima semakin penasaran. Ia membuka arsip paling belakang. Di sana tertulis nama orang-orang yang masih hidup sekarang. Salah satunya membuat wajahnya pucat.
Harto : Kepala Desa.
Tanggal kematian: 27 Agustus 2025
Penyebab: Tersedak tulang ikan di acara syukuran.
Kata terakhir: “Jangan simpan di meja…”
Bima menutup map itu terburu-buru. “Mana mungkin… ini bohong!”
Namun pikirannya teringat bahwa besok malam, Kepala Desa memang mengadakan syukuran karena panen raya.
Keesokan harinya, Bima mencoba mengabaikan. Tapi rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Saat malam tiba, ia tetap mendatangi acara syukuran. Meja panjang penuh lauk-pauk. Kepala Desa Harto duduk di ujung, tertawa lepas.
Bima gugup. Pandangannya terpaku pada seekor ikan mas besar yang baru saja dihidangkan.
Benar saja. Di tengah makan, Harto tiba-tiba terbatuk keras. Wajahnya memerah, tangannya mencengkeram leher. Orang-orang panik. “Pak! Pak!”
Harto jatuh tersungkur. Dan sebelum napasnya benar-benar hilang, ia berucap dengan suara serak “Jangan simpan di meja…”
Semua orang panik. Harto tewas persis seperti catatan di arsip itu.
Bima terpaku, tubuhnya gemetar.
Malam itu Bima kembali ke perpustakaan. Ia harus memastikan apa yang sebenarnya tercatat. Ia membuka arsip lain, membalik cepat, mencari namanya sendiri.
Tangannya berhenti di halaman bertuliskan Bima Pratama.
Tanggal kematian: 30 Agustus 2025
Penyebab: Tenggelam di Perpustakaan Sukaraya.
Kata terakhir: “Jangan biarkan aku sendirian di sini…”
Bima terhuyung mundur. “Tidak mungkin… itu lusa. Aku bahkan ada di sini sekarang!”
Bima mencoba menutup map itu, tapi lembaran di dalamnya bergetar seolah ada angin. Tiba-tiba tulisan di halaman itu berubah dan tanggal kematiannya maju sehari lebih cepat menjadi 29 Agustus 2025 dan Kata terakhir: “Siapa di sana…?”
Bima memandang sekeliling. Ruangan perpustakaan gelap, dingin. Dari rak arsip, terdengar suara samar, seperti bisikan orang membaca.
“Siapa di sana?” teriaknya, spontan.
Namun suaranya menggema… persis seperti kalimat terakhir di catatan.
Hari-hari berikutnya, Bima semakin terganggu. Ia mencoba menceritakan pada sahabatnya, Rudi. Namun Rudi menganggapnya terlalu banyak baca buku horor.
“Kalau memang ada, bawa aku ke sana,” kata Rudi.
Bima pun membawa Rudi ke perpustakaan. Anehnya, saat mereka membuka lantai, ruang bawah itu hilang. Tidak ada pintu besi, tidak ada rak arsip. Hanya tanah padat.
“Apa aku gila?” Bima mengusap wajahnya.
Rudi menepuk pundaknya. “Kau hanya terlalu lelah.”
Namun saat malam menjelang, pintu itu muncul lagi. Seolah hanya bisa dilihat Bima seorang diri.
Tanggal 29 Agustus tiba. Bima tidak bisa tidur. Ia menutup semua pintu, mengurung diri di kamar. Tapi suara bisikan itu kembali. Dari arah perpustakaan, terdengar sayup-sayup orang memanggil namanya.
“Bima.. turunlah… lihat catatan terakhir…”
Dengan ketakutan bercampur nekat, Bima berlari menuju perpustakaan. Lantai itu terbuka begitu saja, seakan menunggunya.
Rak arsip bergetar, map-map beterbangan. Satu map jatuh di kakinya, terbuka sendiri. Ia melihat halaman baru bertuliskan.
Bima Pratama
Tanggal kematian: 29 Agustus 2025 – malam ini
Penyebab: Diseret oleh mereka yang namanya sudah tertulis.
Kata terakhir: “Aku tidak mau ikut…”
Tiba-tiba, dari rak-rak itu, keluar bayangan hitam. Wajah-wajah samar warga desa yang sudah mati, termasuk Kepala Desa Harto, muncul dengan mata kosong. Mereka meraih Bima, menarik tangannya.
“Aku tidak mau ikut! Lepaskan!” teriaknya, berusaha meronta.
Namun semakin ia berteriak, semakin kuat tarikan itu. Ponselnya jatuh, sinarnya padam.
Suara terakhirnya bergema di ruangan
“Aku tidak mau ikut…”
Keesokan paginya, Rudi menemukan perpustakaan kosong. Papan lantai masih terpasang rapi. Tidak ada jejak apa-apa.
Namun di meja kayu pojok ruangan, tergeletak satu map baru. Sampulnya masih bersih, tintanya baru saja kering..
Laporan Kematian Bima Pratama.
Arsip itu tidak pernah berhenti menulis. Ia terus memperbarui diri, mencatat kematian dengan rinci, dan hanya orang terpilih yang bisa menemukannya. Kali ini giliran Bima. Esok, mungkin ada nama baru lagi yang tercatat di sana…
NB : yuk baca juga Novel Karyaku " Musim Semi di Tiansheng " 🥰