Senja turun perlahan di Desa Karangjati. Cahaya oranye memantul di atas hamparan padi yang mulai menguning, sementara suara kodok bersahutan dari arah rawa. Burung-burung pipit beterbangan rendah, seolah enggan meninggalkan batang-batang padi yang siap panen.
Di rumah joglo peninggalan almarhum Pak Wiryo dan Bu Suminah, tiga bersaudara duduk mengelilingi meja kayu jati yang usianya hampir sama tua dengan rumah itu. Di atas meja terhampar kertas berisi rancangan pembangunan pabrik pengolahan kayu.
“Lihat ini, Las,” kata Wardi, si sulung, sambil menepuk kertas. “Harga yang ditawarkan hampir setengah miliar. Kalau dibagi bertiga, kita bisa hidup tenang. Kamu bisa sekolahkan anakmu ke kota, aku bisa renovasi rumah, dan Bagas... entahlah, dia entah di mana sekarang.”
Sulastri, adik perempuan mereka, menunduk. Suaranya lirih. “Mas Wardi, aku cuma ingin yang terbaik untuk anak-anak. Sawah itu sudah tak seberapa hasilnya. Pupuk mahal, hama sering menyerang. Jual saja, toh Bapak Ibu juga sudah tidak ada.”
Wardi mengangguk setuju. Tapi sebelum keputusan bulat dibuat, pintu kayu berderit terbuka.
“Assalamu’alaikum.”
Muncul sosok lelaki muda dengan tas ransel usang di punggung, kulit legam terbakar matahari, dan wajah penuh lelah perjalanan jauh. Dialah Bagas, si bungsu, yang bertahun-tahun merantau ke Jakarta.
Sulastri langsung berdiri. “Bagas...? Astaga, kapan kau pulang?!”
“Baru saja turun dari bus,” jawab Bagas dengan senyum tipis. “Aku dengar kabar dari tetangga... kalian mau menjual sawah warisan?”
Wardi mendengus. “Kebetulan kau datang. Jadi, apa pendapatmu? Jangan-jangan kau mau sok bijak. Ingat, kau yang paling jarang mengurus sawah ini.”
Bagas diam. Pandangannya menembus jendela, ke arah hamparan padi di kejauhan yang bergoyang diterpa angin sore.
“Aku mungkin jarang ada di sini,” katanya akhirnya, “tapi aku tahu sawah itu lebih dari sekadar tanah. Itu jati diri kita.”
Wardi membanting telapak ke meja. “Jati diri tidak bisa dimakan! Kita butuh uang nyata. Kau pikir hidup semudah idealismemu?!”
Suasana menegang. Bahkan suara Jangkrik seakan terhenti.
Bagas menarik napas panjang, lalu mengajak keduanya keluar rumah. “Ikut aku sebentar.”
Mereka bertiga berjalan menyusuri jalan tanah, melewati pohon mangga tua, warung kopi kecil yang ramai bapak-bapak desa menonton bola dari televisi butut, dan anak-anak kecil yang berlarian sambil menyeret kaleng bekas dijadikan mainan.
Di pematang sawah, bulan sudah menggantung bulat sempurna. Angin malam membawa aroma lumpur dan wangi bunga melati dari pekarangan. Bagas berhenti, lalu menunjuk hamparan sawah yang berkilau diterpa sinar bulan.
“Lihat itu,” ucapnya lirih. “Dulu Bapak selalu bilang, padi yang merunduk mengajarkan kita rendah hati. Dari sawah inilah kita makan, sekolah, bahkan menikah. Kalau sawah ini dijual untuk pabrik, kita menjual kenangan dan nama keluarga.”
Sulastri terdiam. Ingatannya melayang pada masa kecil—berlari di lumpur bersama Bagas, tertawa ketika terjatuh, sementara ayah mereka menunduk menanam bibit padi.
“Bagas...” suaranya serak, “aku ingat dulu Ibu selalu bilang, selama sawah masih ada, anak-anaknya takkan kelaparan.”
Wardi menatap adik-adiknya, hatinya bergejolak. “Tapi... hidup ini berat. Panen tak lagi seperti dulu. Harga gabah jatuh.”
Bagas menoleh, sorot matanya tajam. “Mas, kita boleh miskin uang, tapi jangan miskin hati. Kalau uang habis, kita bisa cari lagi. Tapi kalau sawah hilang, kita kehilangan akar. Desa ini akan jadi debu pabrik.”
Hening kembali menyelimuti. Dari kejauhan terdengar gamelan latihan untuk hajatan, bercampur suara serangga malam.
Sulastri menitikkan air mata. “Aku tidak sanggup menjualnya, Mas. Aku lebih rela hidup sederhana daripada harus kehilangan sawah.”
Wardi menghela napas panjang. Ia memandang ke langit, seolah mencari jawaban pada bintang-bintang. Akhirnya ia melipat kertas rancangan pembangunan, lalu berkata pelan, “Baiklah. Sawah itu tidak dijual. Kita rawat bersama.”
Bagas menunduk, menahan haru. Angin malam berhembus lembut, seakan membawa restu dari arwah orang tua mereka.
Keesokan paginya, warga desa terkejut melihat tiga bersaudara itu berdiri bersama di sawah. Wardi menggenggam cangkul, Sulastri membawa bakul nasi, dan Bagas menenteng sabit. Mereka menatap hamparan padi yang merunduk, lalu mulai bekerja.
“Rasanya seperti dulu lagi, ya,” kata Sulastri sambil tersenyum di sela peluh.
“Ya,” jawab Wardi, suaranya kali ini lebih lembut. “Mungkin ini memang tugas kita: menjaga warisan terakhir ini.”
Dan di bawah sinar matahari pagi, sawah terakhir itu kembali bernafas, bukan hanya sebagai ladang, melainkan sebagai simbol jati diri sebuah keluarga, dan juga desa.