Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Muhammad Syura sudah berdiri di ambang hutan yang diselimuti kabut. Di belakangnya, Desa Tirta masih terlelap dalam kegelapan. Ia memandang gubuk-gubuk kecil yang tampak begitu rapuh, seolah bisa hancur kapan saja dihantam oleh kekeringan. Di dalam ransel usangnya, hanya ada sebotol air yang nyaris kosong, beberapa potong ubi rebus, dan peta lusuh peninggalan ayahnya. Senjata satu-satunya adalah sebuah parang tua yang diwariskan dari sang kakek.
Jalan setapak yang membawanya menuju hutan terlarang terasa berat. Setiap langkah adalah sebuah pertarungan melawan keraguan. Ia teringat akan peringatan Pak Karta dan cerita-cerita seram yang beredar di desa tentang makhluk-makhluk penjaga hutan. Konon, siapa pun yang berani melintasi batas itu tidak akan pernah kembali. Namun, bisikan samar dari air yang ia rasakan di hatinya memberikan keberanian. Bisikan itu kini terasa lebih jelas, seolah memanggilnya masuk.
Syura menghela napas panjang dan melangkah memasuki hutan. Seketika, suasana berubah. Cahaya matahari yang masuk ke dalam hutan begitu minim, disaring oleh rimbunnya dedaunan. Aroma lumut basah dan tanah gembur memenuhi udara. Suara-suara alam yang biasanya ia dengar di pinggir desa tidak lagi terdengar. Yang ada hanya keheningan yang mencekam, seolah hutan itu menahan napasnya sendiri.
Tiba-tiba, Syura merasakan sesuatu yang aneh. Bisikan air yang ia ikuti terasa semakin kuat, tapi bukan dari arah yang ditunjukkan oleh peta. Bisikan itu datang dari samping, dari arah tebing yang curam. Ia ragu. Haruskah ia mengikuti peta ayahnya, atau mengikuti nalurinya? Peta adalah panduan, tetapi bisikan air adalah bagian dari dirinya. Syura memutuskan untuk mengikuti bisikannya, berbelok dari jalan setapak yang seharusnya.
Jalur yang ia ambil sangat sulit. Ia harus mendaki tebing-tebing licin dan menerobos semak belukar yang berduri. Beberapa kali ia terpeleset dan jatuh, membuat lututnya memar. Namun, ia terus berjalan, karena bisikan itu kini berubah menjadi alunan melodi yang indah dan menenangkan. Setelah berjuang selama hampir satu jam, ia tiba di sebuah gua yang tersembunyi di balik akar-akar pohon beringin raksasa.
Dari dalam gua, cahaya kebiruan memancar samar. Syura memegang parangnya erat-erat dan melangkah masuk dengan hati-hati. Di dalam gua, ia menemukan sebuah kolam kecil. Airnya tidak banyak, tetapi memancarkan cahaya yang memukau. Syura terkejut, bukan karena kolam itu, tetapi karena di pinggirnya, duduk seorang wanita tua dengan rambut seputih salju dan wajah yang penuh dengan keriput. Wanita itu tidak memandangnya, matanya terpejam.
"Kamu datang," kata wanita itu dengan suara yang serak, seolah sudah tahu kedatangan Syura. "Bisikan air memanggilmu, bukan petamu."
Syura terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. "Siapa Anda?" tanyanya akhirnya.
Wanita tua itu tersenyum. "Aku adalah penjaga mata air. Aku adalah penjaga Tirta. Dan kamu, Syura, adalah keturunan yang ditunggu-tunggu."
Wanita itu lalu membuka matanya. Matanya berwarna hijau kebiruan, persis seperti warna air di kolam itu. "Mata Air Kedua adalah takdirmu, tetapi jalan yang kamu tempuh tidak akan mudah. Kamu harus membuktikan diri. Ujian pertamamu sudah kamu lewati. Ujian kedua adalah menembus Kabut Kesesatan. Setelah itu, barulah kamu akan menemukan jalan menuju Mata Air Kedua."
Syura mendengarkan dengan seksama, merasa takjub sekaligus bingung. Ternyata, legenda tentang penjaga hutan itu nyata. Wanita tua itu lalu mengulurkan tangannya. Di telapak tangannya, ada sebuah liontin kecil berbentuk tetesan air. "Ambillah ini. Ini akan melindungimu dari Kabut Kesesatan."
Syura mengambil liontin itu dan merasakannya di tangannya. Liontin itu terasa hangat, dan bisikan air di hatinya menjadi semakin kuat. Ia menunduk hormat kepada wanita itu, berterima kasih atas petunjuknya. "Saya akan terus berjalan, untuk desa saya," katanya dengan suara mantap.
Wanita tua itu mengangguk pelan. "Pergilah. Waktumu tidak banyak."
Dengan tekad yang baru, Syura keluar dari gua. Ia kini tidak hanya membawa peta dan parang, tetapi juga harapan baru dan liontin ajaib. Jalan yang harus ia tempuh kini jelas. Ujian pertama sudah ia lewati dengan mengandalkan nalurinya, dan ujian berikutnya adalah menghadapi Kabut Kesesatan. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.