Matahari baru saja terbit ketika Darman melangkahkan kakinya ke terminal tua di ujung pasar. Jaket kulitnya yang lusuh melambai diterpa angin pagi, sementara helm retro warna perak menggantung di siku tangannya. Sepeda motornya, Honda CB klasik yang diberi nama "Si Badak", berdiri gagah meski sudah berumur. Knalpotnya meraung seperti singa kelaparan setiap kali Darman memutarnya di jalanan kampung.
“Darman! Mau ke kota lagi?” teriak Pak Lurah dari warung kopi.
“Iya, Pak. Urusan motor. Ada yang nantangin,” jawab Darman singkat sambil tersenyum miring.
Kabar tentang Darman sudah lama beredar. Sejak ia pulang merantau dari Jakarta, namanya kembali menggema di antara anak-anak muda kampung. Dulu, dia dikenal sebagai pembalap liar yang disegani di ibu kota. Tapi setelah kecelakaan yang membuatnya nyaris kehilangan kaki, Darman memutuskan pulang — katanya, untuk “menemukan jalan yang benar”.
Tapi jalan itu ternyata masih berupa aspal, tikungan tajam, dan deru mesin yang meraung di tengah malam.
Siang itu, Darman sudah berdiri di pinggir jalan aspal lintas desa, tempat anak-anak muda biasa adu nyali. Helm sudah terpasang, sarung tangan dikencangkan. Di seberangnya, berdiri Bram, pembalap baru dari kota sebelah yang katanya belum pernah kalah. Bram muda, cepat, dan sombong.
“Jawara kampung, ya? Tunjukin kalau lo masih bisa,” ejek Bram.
Darman tak banyak bicara. Hanya satu anggukan, satu kedipan mata, lalu suara mesin membelah udara.
Jalanan desa itu panjang dan berliku, melintasi kebun teh dan jurang menganga. Mereka melaju, saling salip, seperti dua peluru yang dilepaskan bersamaan. Tapi di tikungan terakhir, Bram terlalu cepat. Rodanya tergelincir. Darman sempat melihatnya terlempar ke semak, lalu mengerem mendadak, memutar balik, dan menghampiri.
Beberapa menit kemudian, Darman duduk di pinggir jalan. Bram duduk di sebelahnya, lututnya berdarah, tapi masih bisa tertawa.
“Lo gila, man. Masih bisa berhenti padahal lo udah pasti menang.”
Darman menoleh, tersenyum lebar. “Gue udah kalah di banyak tempat, Bram. Tapi bukan di kemanusiaan.”
Bram terdiam.
Sejak hari itu, cerita tentang “Jawara dari Kampung” menyebar lagi, tapi bukan karena kecepatannya. Anak-anak muda menghormatinya bukan cuma sebagai pembalap, tapi sebagai sosok yang tahu bahwa jalanan bukan cuma tempat untuk menang—tapi tempat untuk pulang, dan membawa orang lain pulang juga.
Dan Si Badak? Masih meraung setiap malam. Tapi kini, bukan untuk balapan. Hanya untuk mengantar Darman dan senyumnya yang hangat, berkeliling kampung, memastikan jalanan tetap aman bagi mereka yang belum tahu ke mana arah pulangnya.