Kupandangi horizon tak berujung dengan butiran kristal yang menyebar dari balik jendela sebuah benda kotak yang berjalan. Roda-roda itu terus bergulir membawaku ke tempat yang entah tak aku kenali.
Punggungku tengah bersandar nyaman pada kursi dengan pikiran yang senantiasa berkecamuk. Tangan kecilku menggenggam erat sebuah tiket yang sudah tak beraturan bentuknya bertuliskan “Welcome to Avenged's Land”
Angin yang lembut berpadu dengan dengungan mesin yang menggertak menjadi teman perjalananku. Sembari menikmati elusan lembut dengan memejamkan mata, bus itu berhenti di sebuah gerbang taman yang megah.
Kulangkahkan kakiku menuruni bus bersama dengan orang-orang yang ikut berwisata.
“Selamat datang di Avenged Land. Tempat di mana Anda sekalian dapat merasakan pengalaman yang belum pernah Anda temukan sebelumnya. Sebelumnya perkenalkan saya Mr. Shadows, tour guide yang akan memandu perjalanan Anda. Selamat menikmati!” ujar seseorang yang aku ketahui bernama Mr. Shadows itu. Huh, nama yang aneh.
Aku beserta rombongan memasuki gerbang Avenged Land. Rasa rindu seolah menyeruak dalam hati dengan doa yang mengalun diterangi bintang yang mengikuti setiap langkah kaki. Hangat ... tenang, seolah mengetuk pintu perasaan ini.
Namun tiba-tiba ....
Krek! Krek! Brak! Suara retakan menyapa runguku. Disusul dengan tanah yang terbuka lebar hingga aku jatuh terperosok di dalamnya. Tempat ini gelap ... hawa dingin seolah memeluk seluruh tubuhku.
Samar-samar terdengar suara jeritan, tangisan, dan tawa jahat yang semakin menggema. Sekelebat api mimpi buruk terus membayangiku. Ingin rasanya kuteriak, tetapi api mimpi buruk seolah menelan jeritan ketakutanku.
Tebing-tebing itu seolah mengejek diriku, mentertawakan ketakutanku. Rasa sesak mulai menyusup, hawa mencekam seakan menghimpit dadaku.
“Tidak ini terlalu mengerikan, aku harus lari dari sini. Aku belum ingin mati!” batinku berteriak hingga tanpa sadar aku mengambil langkah. Namun, lagi-lagi aku terjatuh, lantaran ada rantai-rantai yang membelenggu.
Bau anyir yang begitu menyusuk indra penciuman seakan mengatakan halo padaku dengan seringainya yang mengerikan.
Kuberanikan diri menghancurkan rantai itu dengan sekuat tenagaku. Hingga rantai itu terlepas. Senyum kecilku tersemat di wajah bersamaan dengan datangnya rasa bangga hingga berhasil lolos dari jeratan rantai kesesakan. Aku terus berlari menyusuri labirin yang dihiasi dengan jeruji besi. Berusaha menghancurkan dan melarikan diri, hingga pada akhirnya aku terbebas dari segala mimpi buruk yang menghantui.
Namun, sepertinya aku masih terlalu dini untuk merasa bebas, karena langkah kakiku mengayun—membawaku ke tempat yang salah.
Jilatan api kemarahan menyapa kulitku sebelum akhirnya berkobar disusul dengan jeritan kekecewaan dan kebencian yang menggema, memekakkan telinga.
“Lihat, kami semua di sini tersiksa karena ulahmu! Karena keegoisanmu dalam mengambil setiap keputusan, hingga kau mengorbankan kami yang kau bilang seseorang yang paling kau sayangi!” teriaknya.
Ingin rasanya kubalas teriakan itu dan membela diriku sendiri. Akan tetapi, perasaan bersalah langsung menghajarku dan mengingatkan aku pada semuanya, karena nyatanya yang mereka katakan itu benar adanya. Sakit rasanya, sampai aku hampir menyerah.
Kumundurkan langkahku ke tempat lain, berusaha menghindari jeratan menghakimi, sampai kakiku terpleset dan terperosok ke dalam kegelapan tak berujung. Samar-samar aku melihat setitik cahaya yang semakin lama, semakin terang.
Bruk!
“Aduh!” aku mengaduh. Kularikan netraku menatap sekeliling. Tempat apa ini, kenapa sangat terang, berbeda dari yang tadi? Denting piano menggelitik rungu, hawa dingin yang tak biasa memeluk erat tubuhku. Rasa sesak menghantam dadaku hingga tanpa kusadari embusan napas tak keluar dari hidungku.
Ini terlalu dalam ... sesak ... dan mengerikan. Namun, ini terdengar indah. Sampai-sampai aku terhanyut dalam arus melodi yang dimainkan seseorang. Seolah sedang menghipnotisku.
“Welcome to Avenged's Land. Akhirnya kau sampai sini juga, Nak. Bagaimana sambutanku tadi, apa cukup meriah?” kata seorang pria yang duduk di depan piano tua. Sorot matanya yang mengintimidasi seolah menelanjangi diriku, tetapi tersirat kesan hangat di dalamnya.
“Siapa kau dan di mana ini, lalu melodi apa itu?” tanyaku.
“Hmm? Aku Rev dan ini ruanganku,” jawabnya tenang.
Aku berdiri dan kuberanikan diriku melangkah mendekatinya, meski bulu kudukku berdiri tegak, karena ketakutan.
Senyum Rev yang penuh arti tersemat di wajahnya.
“Kau takut padaku. Lantas, kenapa kau kemari jika kau takut?” tanyanya padaku.
“Ak ... aku tidak tahu, kenapa aku sampai ke sini. Dan Paman belum menjawab pertanyaanku, melodi apa itu?”
“Melodi tadi?” beonya, “this is my last note. Dan itu sebuah pintu.”
“Last note ... pintu? ... artinya Paman tidak bermain lagi? Lalu apa maksudnya dengan pintu?” tanyaku, “tapi kenapa?”
Dia menatapku penuh arti. Sorot matanya melembut layaknya tatapan seorang ayah pada anaknya, “Karena tugasku sudah selesai, Nak, dan itu pintu terakhirku. Ini aku titipkan kuncinya padamu. Jangan lupa selalu dengarkan melodiku ini. Ini sebagai tanda bahwa aku terus bersamamu, dan pintu itu takkan pernah terkunci.”
“Judulnya?”
“Fiction.”
“Fiction?” beoku, “tapi melodi tadi terdengar seperti bukan kisah fiksi.”
“Suatu hari nanti, kau akan mengerti, apa yang aku katakan,” ujar pria bernama Rev itu. Seketika ruangan putih itu memudar bersamaan dengan piano tua dan juga pria itu. Menyisakan perasaan hangat yang menyeruak di dadaku.
Suara yang penuh kehangatan layaknya seorang ayah itu berbisik di telingaku, “Hargailah setiap harinya yang terus berjalan, sebelum semuanya hilang, Nak.”
Aku menutup mata, setetes kristal bening meluncur bersamaan dengan rasa kehilangan yang mendalam. Seolah itu adalah sebuah perpisahan terakhir dan aku takkan bisa melihat wajahnya lagi.
Kubuka mataku, kuayunkan kakiku melanjutkan perjalanan. Langkah kaki membawaku pada sebuah panggung pertunjukan opera gila cinta yang penuh obsesi gelap hingga menuju keabadian sampai akhirnya mereka bersatu di sana.
Miris, gelap, takut, dan sakit. Semua bercampur menjadi satu. Akan tetapi, aku menikmati panggung pertunjukan itu sampai selesai dan panggung itu memudar dengan sendirinya.
Kupejamkan kedua mataku sesaat, sebelum terbuka kembali. Aku sudah berada di tempat semula didekap oleh kesunyian. Semuanya, doa, neraka, kebebasan, penebusan, kehilangan, cinta, dan kegilaan telah berakhir dalam keheningan dan kesunyian.
“Sudah selesai dengan jalan-jalannya?” sebuah suara berat menyapa runguku.
“Mr. Shadows?”
“Jika sudah selesai, bangunlah. Hari sudah siang kau bisa terlambat, nanti,” ujarnya seraya menepuk bahuku dengan keras, hingga aku tersentak kaget. Jam di kamarku menjerit menunjukkan pukul 7.
“Ah, ternyata hanya mimpi.”
Kuputar lagu fiction untuk menemaniku melanjutkan tidurku yang sempat tertunda.
Cerpen ini terinspirasi dari lagu Avenged Sevenfold : Dear God - Nightmare - Afterlife - Almost Easy - Fiction - Seize The Day - So far away - A little piece of heaven - And All Things Will End.