_______________________________________
Malam telah larut di Kampung Kembang Sepatu. Kelambu gelap semesta turun membekap bebunyian, menyisakan hanya orkestra nokturno jangkrik dan sesekali lolongan anjing di kejauhan yang memecah hening. Usai Isya dan sedikit obrolan ringan di beranda surau, tiga serangkai warga—Pak Bejo yang bijaksana namun pendengarannya mulai selektif, Bu Parmi yang hatinya selembut bolu kukus dan mudah terkesiap, serta Mas Agus yang masih lajang dan perutnya malam itu terasa penuh misteri—duduk bersantai di bale-bale bambu depan rumah Pak Bejo.
Angin malam berembus sepoi, membawa aroma bunga sedap malam dan sisa-sisa wangi dupa dari surau. Suasana syahdu itu tiba-tiba terusik oleh sebuah suara aneh. Suara itu lirih, nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang kehilangan kata-kata, bergaung entah dari mana. Frekuensinya rendah, sedikit berdesis, mirip suara speaker masjid yang sedang ngadat atau mungkin mikrofon yang lupa dimatikan.
"Sssst... dengar tidak?" bisik Bu Parmi, matanya membola, jemarinya mencengkeram lengan baju Pak Bejo.
Pak Bejo memasang pose khusyuk, memiringkan kepalanya, telapak tangannya ditangkupkan ke daun telinga yang mulai menolak usia. "Ah, iya... Itu sepertinya suara setelah masjid kita," ujarnya dengan nada penuh keyakinan. "Mungkin Pak Marbot sedang mencoba pengeras suara baru, atau ada pengumuman penting tapi pelan sekali penyampaiannya."
Mas Agus di ujung bale-bale mendadak kaku. Wajahnya pias diterpa cahaya lampu teras yang redup. Ia berusaha keras mempertahankan ekspresi datar, padahal di dalam perutnya sedang terjadi revolusi gas yang menuntut pembebasan segera. 'Bukan setelah masjid, Pakde,' rintihnya dalam hati, 'itu simfoni internal saya!'
Suara misterius itu kembali terdengar, kali ini sedikit lebih panjang, seperti desahan napas orang tua yang kelelahan. "Tuh, kan! Makin jelas!" seru Pak Bejo. "Pasti ada sesuatu yang penting ini. Mungkin pengumuman jadwal ronda besok?"
"Atau mungkin... ada pesan gaib?" imbuh Bu Parmi dengan nada bergetar, imajinasinya mulai berkelana ke alam supranatural.
Mas Agus semakin panik. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan gejolak di dalam rongga abdomennya yang terasa seperti balon udara yang siap meledak perlahan. Ia sedikit menggeser posisi duduknya, berharap tekanan bisa mereda. Namun, pergeseran itu justru menghasilkan efek akustik tak terduga. Suara "berbisik" itu berhenti sejenak, lalu muncul lagi dengan timbre yang sedikit berbeda, lebih... personal.
Pak Bejo mengernyit. "Lho, kok suaranya seperti... berpindah?" Ia menoleh ke arah Mas Agus yang kini duduk tegak lurus dengan wajah sepucat kain kafan.
Hening sejenak. Hanya suara jangkrik yang setia mengisi kekosongan. Dan dalam keheningan absolut itulah, sebuah bukti empiris lain menyelinap tanpa permisi. Bukan lagi suara, melainkan aroma. Aroma samar namun distingtif, perpaduan antara telur rebus kemarin sore dan harapan yang pupus, mulai mengambang pelan di udara malam.
Mata Pak Bejo yang tadi terarah ke masjid nun jauh di sana, kini perlahan beralih menatap Mas Agus. Prasangka bijaknya tentang setelah masjid mulai goyah oleh bukti olfaktori yang tak bisa disangkal. Bu Parmi terkesiap lagi, kali ini bukan karena takut, tapi karena pemahaman yang tiba-tiba menyingsing di benaknya.
Wajah Pak Bejo berubah dari serius menjadi bingung, lalu perlahan memerah padam menahan tawa yang siap meledak. Bu Parmi menutup mulutnya dengan ujung kerudung, bahunya berguncang kecil.
Mas Agus? Ia hanya bisa menunduk dalam-dalam, berharap bale-bale bambu itu memiliki fitur tembus pandang ke inti bumi. Gema yang dikira sakral dari menara masjid, ternyata hanyalah resonansi personal dari perut seorang pemuda yang malam itu salah memilih menu makan malam. Suara kentutnya yang lirih dan berbisik, sukses menipu dua pasang telinga dan menciptakan drama komedi hening di bawah langit malam Kampung Kembang Sepatu.
Malam itu, mereka belajar satu hal: tidak semua suara misterius berasal dari tempat yang agung, kadang ia lahir dari tempat yang... paling intim dan memalukan.