~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Alkisah, di sebuah persimpangan kota yang riuhnya seperti pasar kaget abadi, hiduplah seorang pria bernama Bang Gopoh. Nama yang seolah takdir, karena hidupnya adalah sebuah simfoni ketergesa-gesaan. Bang Gopoh selalu merasa dikejar waktu, dikejar cicilan, dikejar impian instan menjadi sultan dadakan yang viral di aplikasi video pendek. Pikirannya bercabang seribu, tangannya cekatan menggulir layar ponsel mencari peluang—entah itu investasi bodong berkedok robot pintar atau sayembara menangkap cicak albino berhadiah motor.
Pagi itu, Bang Gopoh berlari kecil—lebih mirip jogging panik—menyusuri trotoar. Matanya sibuk memelototi grafik saham digital yang warnanya merah menyala seperti cabai setan, sementara kakinya melangkah serampangan. Ia sedang terburu-buru menuju sebuah alamat mencurigakan yang menjanjikan "pelipatgandaan uang dalam 24 jam". Logika? Itu kemewahan yang tak sempat ia pikirkan.
"Aduaaaah!" Bang Gopoh terpekik saat kakinya menabrak sesuatu yang keras namun empuk—sebuah kambuik (tas anyaman pandan khas Minang) yang tergeletak di dekat lapak sederhana. Isinya berhamburan: beberapa lembar daun pisang, seikat pucuak ubi, dan sebuah dompet kulit kusam.
Dari balik lapak yang menjual katupek pical dengan aroma kuah kacang yang menggoda iman, muncullah seorang perempuan paruh baya bertubuh sintal dengan kerudung berenda dan senyum maklum. Dialah Mak Dadang, perantau legendaris dari Bangkinang yang logatnya masih kental meski puluhan tahun mengadu nasib di ibu kota.
"Astaghfirullah! Angku ko lah Gopooh bana nampaknyo!" seru Mak Dadang, nadanya campuran antara geli dan prihatin. ("Astaghfirullah! Tuan ini terlihat Gopoh (terburu-buru) sekali!")
Bang Gopoh, alih-alih malu, malah menggerutu. "Aduh, Mak! Kenapa pula keranjang ditaruh di jalan? Saya ini lagi buru-buru, Mak! Waktu adalah uang!" hardiknya, sambil memunguti barang belanjaan Mak Dadang dengan setengah hati.
Mak Dadang terkekeh pelan, suara tawanya serak-serak basah. "Iyo, wakatu tu pitih kato urang kini. Tapi kok lari mancari pitih sampai ndak nampak jalan di kaki, nan ka tajatuah juo awak dibueknyo," balas Mak Dadang lembut, sambil merapikan isi kambuik-nya. ("Iya, waktu itu uang kata orang sekarang. Tapi kalau lari mencari uang sampai tidak lihat jalan di kaki, yang akan jatuh juga kita dibuatnya.")
Ia mengambil dompet kusamnya, membukanya, dan mengeluarkan selembar lima ribuan.
"Ko ha, untuak Angku minum aia di jalan. Jan lari juo taruih, beko kapalo angek, pitih ndak dapek, darah tinggi nan naiak." ("Ini, untuk Tuan minum air di jalan. Jangan lari terus, nanti kepala panas, uang tidak dapat, darah tinggi yang naik.")
Bang Gopoh menerima uang itu dengan ragu. Ada sedikit rasa malu, tapi lebih besar rasa kesalnya karena merasa waktunya terbuang. "Terima kasih, Mak," gumamnya, lalu tanpa basa-basi lagi, ia kembali berlari mengejar impian instannya, meninggalkan Mak Dadang yang menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Namun, takdir punya selera humor yang aneh. Seminar "pelipatgandaan uang" itu ternyata sudah digerebek aparat beberapa jam sebelumnya. Bang Gopoh hanya menemukan garis polisi dan beberapa korban lain yang menangis bombay. Ia terduduk lemas di trotoar seberang, merasa dunianya runtuh. Lima ribu pemberian Mak Dadang masih tergenggam di tangannya.
Dalam keputusasaan itu, ia merogoh sakunya mencari rokok, berharap nikotin bisa menenangkan sarafnya yang tegang. Tapi tangannya malah menyentuh sesuatu yang lain: dompet kulit kusam milik Mak Dadang! Rupanya tadi, saat ia buru-buru memunguti barang yang berserakan, dompet itu malah tak sengaja masuk ke saku celananya yang longgar.
Panik sekaligus merasa bersalah, Bang Gopoh segera berlari kembali ke tempat Mak Dadang. Ia menemukan Mak Dadang sedang mengipasi bara arang untuk sate padangnya, tampak tenang meski mungkin menyadari dompetnya hilang.
"Mak! Maaf, Mak! Dompet Mak tadi tidak sengaja terbawa!" seru Bang Gopoh, napasnya tersengal, sambil menyerahkan dompet itu.
Mak Dadang menatap Bang Gopoh, lalu ke dompetnya, lalu kembali ke Bang Gopoh. Beliau tidak marah, malah tersenyum lebih lebar. "Alhamdulillah... Aden kiro lah hilang diambiak jin," katanya lega. "Ndak ba'a doh, Gopoh. Nan namonyo barang ko bisa salah latak. Nan pantiang hati awak ndak salah jalan." ("Alhamdulillah... Saya kira sudah hilang diambil jin. Tidak apa-apa, Gopoh. Yang namanya barang ini bisa salah letak. Yang penting hati kita tidak salah jalan.")
Mak Dadang membuka dompetnya, memeriksa isinya. Lalu ia terdiam sejenak, matanya membelalak. Ia menarik keluar secarik kertas lotre yang terselip di antara lembaran uang lusuh. Kertas yang sudah ia lupakan keberadaannya.
"Astaga, Gopoh! Nomor ko!" pekik Mak Dadang tiba-tiba, menunjuk nomor di kertas lotre itu, lalu ke arah koran bekas pembungkus lontong yang memuat hasil undian terbaru. Nomornya cocok! Jackpot utama!
Bang Gopoh ikut melongo. Mak Dadang, si penjual katupek pical sederhana, baru saja memenangkan hadiah lotre yang jumlah nolnya bisa membuat kalkulator error.
Mak Dadang menatap Bang Gopoh yang masih bengong. Lalu ia tertawa terbahak-bahak, tawa lepas yang menular. "Nampak tu, Gopoh? Rezeki tu datangnyo ndak disangko-sangko. Bukan dek lari kancang, tapi dek niat nan lurus. Angku tadi ndak jadi rugi bandar, malah mambaliak an dompet ambo. Mungkin iko pulo bagian dari rezeki Angku!" (Lihat itu, Gopoh? Rezeki itu datangnya tidak disangka-sangka.
Bukan karena lari kencang, tapi karena niat yang lurus. Tuan tadi tidak jadi rugi bandar, malah mengembalikan dompet saya. Mungkin ini juga bagian dari rezeki Tuan!)"
Dan memang benar, sebagai ucapan terima kasih atas kejujurannya (yang ironisnya lahir dari ketidaksengajaan), Mak Dadang memberikan sebagian kecil tapi tetap signifikan dari hadiah lotrenya kepada Bang Gopoh. Tidak cukup untuk jadi sultan, tapi lebih dari cukup untuk melunasi cicilan dan memulai usaha kecil yang benar.
Bang Gopoh tidak langsung jadi "kaya raya" seperti impian instannya, tapi ia "kaya" mendadak dengan cara yang tak terduga, melalui sebuah kejujuran yang dipicu oleh ketergesaannya sendiri. Ia berdiri di sana, di antara aroma kuah kacang dan asap sate, memegang uang 'kaget' di tangan, sambil mengingat kata-kata Mak Dadang.
Hikmah & Inspirasi:
Cerita ini menunjukkan bahwa rezeki seringkali datang dari arah yang tak terduga dan bukan semata hasil dari kerja keras yang membabi buta atau ketergesa-gesaan (Gopoh). Kejujuran, niat baik (meski awalnya tak disengaja), dan ketenangan hati justru bisa menjadi pembuka pintu rezeki. Inspirasinya adalah bahwa mengejar kekayaan secara membabi buta seringkali menjauhkan kita dari keberkahan itu sendiri. Kadang, berhenti sejenak, melihat sekitar, dan bertindak benar—sekecil mengembalikan dompet yang salah ambil—justru bisa mendatangkan keberuntungan yang lebih besar dan lebih berkah daripada semua skema cepat kaya yang fana. Bang Gopoh belajar, kekayaan sejati bukan hanya soal jumlah nol di rekening, tapi juga ketenangan hati dan keberkahan dalam mendapatkannya.
FIKSI ANEKDOT
_________
By : Karim