__________________________________
Di sudut kota yang paling ramai, tersembunyi sebuah perkampungan unik bernama Kampung Cina Suka Damai. Dibilang unik karena warganya, perpaduan antara Tionghoa peranakan dan suku lokal, hidup rukunnya sudah level "lupa cara bertengkar". Kalau ada selisih paham, solusinya bukan adu mulut, tapi adu resep masakan.
Siapa yang masakannya paling enak, dialah yang pendapatnya diterima. Alhasil, kampung itu selalu wangi aroma capcay dan rendang yang bersatu padu.
Di tengah alun-alun kampung, sedang dibangun sebuah proyek mahakarya: "Bahtera Harapan Sejahtera". Ini bukan bahtera sungguhan untuk mengarungi lautan, melainkan sebuah panggung festival raksasa berbentuk kapal jong kuno.
Rencananya, di puncak acara Cap Go Meh nanti, bahtera ini akan "dilarungkan" dengan pesta kembang api dan pertunjukan barongsai terbesar se-kecamatan.
Kerukunan inilah yang membuat gerah penghuni alam bawah. Seorang setan bernama Khasmir diutus untuk mengacaukan semuanya. Khasmir bukan setan sembarangan. Ia adalah setan spesialis, seorang ahli ibadah.
Tentu saja ibadahnya kaum setan berbeda.
Sajadahnya adalah bayangan kelam di sudut-sudut sepi. Tasbihnya adalah untaian tulang belulang tikus. Wiridnya adalah mantra-mantra pembisik keraguan, kemalasan, dan iri dengki. Khasmir sangat khusyuk dalam "ibadahnya". Ia yakin, dengan bisikan-bisikan halusnya, Bahtera Harapan Sejahtera itu akan bubar sebelum tiang layarnya terpasang.
"Wahai Koh Sudu, kepala proyek," bisik Khasmir ke telinga Koh Sudu yang sedang mengukur kayu, "Yakin kayunya kuat? Nanti kalau ambruk pas dipakai joget, kan malu..."
Koh Sudu berhenti sejenak, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu tertawa. "Justru itu seru, Mir! Eh, siapa kau? Kalau ambruk, kita bangun lagi lebih kuat! Gotong royong lagi, makan-makan lagi! Hahaha!"
Khasmir melongo. Gagal.
Ia pindah target. Bik Surti dan Cik Mei sedang berdebat soal menu konsumsi para pekerja. Momen sempurna! Khasmir berwirid di antara mereka. "Bik Surti, rendangmu itu terlalu pedas, nanti perut Cik Mei sakit. Cik Mei, capcay-mu itu kurang garam, hambar seperti hidup tanpa cinta..."
Bik Surti dan Cik Mei saling pandang. Bukannya marah, mereka malah bertukar sendok icip. "Eh, iya juga ya," kata Cik Mei. "Punyamu kepedesan, punyaku keasinan dikit."
"Bagaimana kalau kita bikin... Rendang Bumbu Capcay?" usul Bik Surti.
"Jenius!" pekik Cik Mei.
Lahirlah menu fusi baru yang anehnya lezat. Khasmir menepuk jidatnya yang panas. Ibadahnya yang bertahun-tahun ia tekuni sama sekali tidak mempan di Kampung Cina Suka Damai. Ia merasa seperti sales panci yang mencoba jualan di toko perabotan.
Frustrasi, Khasmir duduk di bawah pohon beringin, meratapi nasibnya. Ibadahnya gagal total. Reputasinya sebagai setan ahli ibadah hancur lebur. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu. Sebuah gelang giok tergeletak di meja, ditinggal pemiliknya yang sedang ke toilet.
Tidak ada bisikan. Tidak ada wirid. Hanya ada dorongan iseng. Tangannya yang kurus panjang terulur dan... sret! Gelang itu lenyap di kantong jubahnya.
Anehnya, Khasmir merasakan sensasi yang berbeda. Sebuah kepuasan instan yang tidak pernah ia dapat dari "ibadahnya". Mengambil sesuatu secara diam-diam ternyata lebih memuaskan daripada membisikkan keraguan berjam-jam.
Esoknya, ia mencoba lagi. Sepotong bakpao kacang hijau dari dapur umum. Hap! Lusa, patung kucing hoki emas dari depan toko kelontong. Cling! Minggu depannya, ia berhasil mengambil kotak sumbangan di kelenteng.
Khasmir menemukan bakat terpendamnya. Ia banting setir. Dari ahli ibadah, kini ia menjelma menjadi ahli nyolong.
Kampung Cina Suka Damai yang tadinya aman tenteram mulai geger. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kehilangan. Warga mulai saling curiga.
"Jangan-jangan si Udin yang ambil," tuduh seseorang.
"Bukan! Pasti si Engkoh Acong, tokonya kan sepi!" balas yang lain.
Benih perpecahan yang gagal Khasmir tanam lewat ibadah, kini tumbuh subur lewat aksi pencuriannya. Ironis sekali.
Engkong Liem, sesepuh kampung yang paling bijak, hanya mengelus janggutnya yang panjang. Ia tahu ini bukan ulah warga biasa. "Pencurinya aneh," katanya dalam rapat warga. "Dia mencuri gelang giok, tapi juga mencuri tiga buah onde-onde. Dia mengambil uang, tapi juga mengambil kemoceng bulu ayam. Ini bukan soal butuh, ini soal iseng."
Maka, Engkong Liem pun menyusun sebuah rencana.
Malam puncak perayaan Cap Go Meh tiba. Bahtera Harapan Sejahtera berdiri megah, diterangi ratusan lampion. Di geladak utama, diletakkan persembahan paling menggoda: sebuah nanas yang seluruhnya dilapisi emas murni, sumbangan dari juragan emas sekampung.
Khasmir, yang kini matanya sudah hijau karena keserakahan, tidak bisa menahan diri. Ini adalah mahakarya pencuriannya! Dengan ilmu menghilangnya, ia menyelinap ke atas bahtera. Saat tangannya menyentuh nanas emas itu...
BYUUUR!
Sebuah jaring yang tersembunyi terangkat, dan seember penuh lem kanji super lengket tumpah menimpa Khasmir. Lengket dari ujung rambut sampai ujung kuku. Belum cukup, dari atas, sekantong bulu angsa ditumpahkan. Jadilah Khasmir mirip onde-onde raksasa yang gagal produksi.
Warga berkerumun, tertawa melihat makhluk aneh yang lengket dan berbulu itu.
Engkong Liem maju mendekat. "Wahai engkau, makhluk pesakitan," katanya dengan tenang. "Kau datang kemari sebagai ahli ibadah untuk menghancurkan iman kami dengan cara yang agung. Tapi kau gagal."
Khasmir hanya bisa mengerang lengket.
"Namun," lanjut Engkong Liem, "Ketika kau meninggalkan ibadahmu dan menuruti nafsu paling dasar, yaitu keserakahan, barulah kau berhasil membuat kami resah. Kau tahu apa pelajarannya?"
Khasmir menggeleng, membuat bulu-bulu angsa di kepalanya berjatuhan.
"Pelajaran untukmu, dan untuk kami semua," kata Engkong Liem sambil tersenyum. "Ternyata, musuh terbesar bukanlah setan yang khusyuk dalam ibadah kesesatannya. Musuh terbesar adalah keserakahan kecil di dalam hati yang tidak kita kendalikan. Ibadah yang sejati bukanlah ritual, tapi kemampuan menaklukkan keinginan untuk 'nyolong', baik itu harta, hak, maupun kebahagiaan orang lain."
Khasmir terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa sebuah "hikmah" menamparnya lebih keras dari lem kanji.
Sebagai hukuman, Khasmir tidak dibakar. Ia dihukum untuk membersihkan setiap sudut Kampung Cina Suka Damai dengan sikat gigi selama sebulan penuh, hanya dengan mengenakan celana kolor bergambar durian.
Bahtera Harapan Sejahtera pun akhirnya "berlayar" dalam lautan kembang api malam itu, lebih meriah dari rencana. Warga kembali rukun, bahkan lebih erat, karena kini mereka punya cerita lucu untuk dikenang. Cerita tentang setan ahli ibadah yang akhirnya sadar, bahwa menjadi ahli nyolong ternyata jauh lebih merepotkan.