______________________________________
Bodul, seorang pemuda dengan cita-cita setinggi menara masjid, punya satu ambisi: menjadi ustadz kondang. Bukan sekadar ustadz kampung yang ceramahnya hanya dihargai dengan sekotak nasi dan tiga biji kurma.
Bukan! Bodul memimpikan menjadi Ustadz Bodul Al-Milenial, yang jadwalnya diatur manajer, punya program TV sendiri, dan tarif satu jam ceramahnya bisa untuk membeli motor sport terbaru. Masalahnya, modalnya cekak. Wajahnya lumayan, tapi dompetnya merana.
Di sudut hatinya, ada satu motivasi lain yang lebih lembut: Sunti. Guru muda di TPA seberang jalan. Wajahnya teduh, senyumnya laksana embun pagi, dan prestasinya luar biasa: sudah berhasil mengumrohkan satu keluarga.
Sunti adalah definisi "Bidadari Pagi" bagi Bodul. Setiap kali melihat Sunti, Bodul bergumam, "Ya Allah, jika dia jodohku, segerakanlah. Jika bukan, tolong jodohkanlah paksa."
Sayangnya, untuk melamar bidadari sekelas Sunti, Bodul butuh lebih dari sekadar mulut manis dan beberapa hafalalan ayat. Ia butuh status. Ia butuh harta.
Di tengah kegalauannya, datanglah Eyang Mudo, penasihat spiritual sekaligus provokator utama di hidup Bodul.
"Dul, kau mau kaya mendadak dan jadi ustadz terpandang dalam satu malam?" tanya Eyang Mudo sambil menyeruput teh tubruknya.
"Mau, Eyang! Bagaimana caranya?" jawab Bodul antusias.
Eyang Mudo menunjuk ke sebuah rumah paling besar di ujung kampung. Rumah megah milik Inong Butet, seorang nenek kaya raya yang suaminya sudah lama berpulang.
"Nikahi dia," kata Eyang Mudo singkat.
Bodul tersedak ludahnya sendiri. "Inong Butet? Nenek yang kalau ketawa giginya lepas satu itu, Eyang? Yang hobinya senam rock n' roll di halaman rumah pakai lagu 'Sweet Child O' Mine'?"
"Betul! Hartanya tak akan habis tujuh turunan, Dul. Bayangkan, kau jadi suaminya, otomatis kau jadi ustadz kehormatan di kampung ini.
Harta dapat, status 'Ustadz Bodul' melekat!"
"Tapi, Eyang... itu..."
"Sssst!" potong Eyang Mudo. "Dengar hadis ini baik-baik.
Rasulullah ﷺ bersabda, 'إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ' (Innamal a'malu binniyat), yang artinya 'Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya'. Niatmu kan mulia, untuk dakwah! Untuk meminang Sunti! Menikahi Inong Butet ini hanya wasilah, jalan tol menuju keridhoan-Nya. Paham?"
Logika bengkok Eyang Mudo itu, anehnya, terdengar sangat masuk akal di telinga Bodul yang sedang dibutakan ambisi.
Singkat cerita, dengan bujuk rayu Eyang Mudo yang melukiskan Bodul sebagai ustadz muda sholeh yang ingin berbakti pada orang tua, pernikahan itu terjadi. Bodul mengucapkan ijab kabul dengan suara bergetar, lebih karena menahan tangis daripada terharu. Inong Butet, dengan kebaya ungu menyala dan lipstik merah jambu, menyahut "SAH!" lebih kencang dari penghulu.
Malam pertama adalah awal dari penderitaan komedi Bodul. Ia berharap bisa menyendiri untuk meratapi nasib, tapi Inong Butet malah mengajaknya main catur sambil bertanya, "Dudul sayang, menurutmu investasi di saham pertambangan atau properti yang lebih cuan?"
Bodul yang hanya tahu saham akhirat langsung pusing.
Kehidupan "Ustadz Bodul" pun dimulai. Ia kini tinggal di rumah megah. Pagi-pagi ia dibangunkan bukan oleh adzan merdu, tapi oleh suara Inong Butet yang sedang karaoke lagu-lagu lawas.
Sarapannya bukan nasi uduk, tapi sereal impor yang namanya sulit diucapkan, disajikan di mangkok porselen seharga DP motor.
Setiap kali ia mencoba tampil wibawa di depan warga, selalu ada saja ulah Inong Butet yang meruntuhkan citranya.
Suatu kali, saat Bodul sedang memberikan tausiyah tentang kesabaran di masjid, Inong Butet tiba-tiba datang membawa rantang.
"Dudul! Ceramahnya jangan lama-lama! Ini Inong bawakan sup buntut, nanti dingin nggak enak!" teriaknya dari pintu masjid. Jamaah yang tadinya khusyuk langsung cekikikan. Wibawa Bodul luntur seketika.
Puncaknya adalah saat ia berpapasan dengan Sunti di pasar. Dengan percaya diri, Bodul turun dari mobil antik yang kini menjadi miliknya. Ia ingin menunjukkan kesuksesannya.
"Assalamualaikum, Ukhti Sunti," sapanya dengan senyum semanis mungkin.
"Wa'alaikumsalam, Ustadz Bodul," jawab Sunti sambil tersenyum tipis.
Baru saja Bodul mau membuka percakapan, jendela mobil terbuka. Inong Butet menjulurkan kepalanya.
"Duduuul! Kalau ke pasar jangan lupa beli balsam gosok sama popok dewasa ya! Persediaan Inong habis!"
Dunia Bodul serasa runtuh. Ia melihat Sunti menahan tawa. Mimpi bidadari paginya kini terasa seperti fatamorgana di tengah gurun penderitaan yang sangat mewah.
Malam itu, Bodul tak tahan lagi. Ia masuk ke kamar Inong Butet dengan niat untuk mengakhiri semuanya. Ia akan menceraikannya, biarlah ia kembali miskin asal jiwanya tenang.
Namun, pemandangan di kamar itu membuatnya tertegun.
Inong Butet tidak sedang mendengarkan musik rock. Ia duduk di kursi goyangnya, memakai kacamata tebal, dan dengan jari keriputnya yang bergetar, ia sedang terbata-bata membaca Al-Quran. Suaranya lirih dan serak. Di sampingnya, ada setumpuk buku-buku agama.
"Inong?" sapa Bodul pelan.
Nenek itu terkejut. "Eh, Dudul. Inong kira kau sudah tidur. Maaf ya kalau mengganggu, Inong lagi belajar ngaji, biar nanti di akhirat nggak malu-maluin di depan suami Inong yang pertama."
Bodul terdiam.
"Inong tahu kok, kau nikahi Inong karena harta," lanjutnya sambil tersenyum getir. "Inong juga kesepian, Dul. Anak-anak Inong sibuk di kota.
Paling tidak, dengan adanya kau, rumah ini jadi ramai lagi. Inong bisa dengar ada yang ngaji setiap Subuh, meskipun orangnya nggak ikhlas."
JLEB! Hati Bodul seperti ditusuk ribuan jarum.
Ambisinya, mimpinya, keluhannya, semua terasa begitu kerdil dan memalukan di hadapan ketulusan nenek di depannya. Ia yang mengaku ustadz, ternyata kalah ikhlas dengan seorang nenek yang belajar mengaji karena rindu pada almarhum suaminya.
Hikmah dan Dalil yang Sebenarnya
Sejak malam itu, Bodul berubah. Ia mulai merawat Inong Butet dengan tulus. Ia yang kini menyuapinya saat sakit, membetulkan bacaan Qurannya yang masih salah, dan sabar mendengarkan cerita masa mudanya. Ia tak lagi peduli pada Sunti, pada status, atau pada harta.
Ia sadar, Eyang Mudo benar tentang hadis 'Innamal a'malu binniyat'. Namun, ia salah memahaminya. Niatnya sejak awal sudah bengkok: dakwah hanya kedok untuk menutupi keserakahan dan ambisi duniawi. Allah Maha Tahu isi hati. Maka Allah berikan apa yang ia mau—harta dan status—namun dengan cara yang mencabut ketenangan hatinya.
Hingga suatu subuh, Inong Butet berpulang dengan tenang dalam tidurnya. Dalam surat wasiatnya, sebagian besar hartanya diwakafkan untuk pembangunan pesantren, dan sisanya cukup untuk Bodul hidup sederhana dan melanjutkan dakwahnya.
Beberapa tahun kemudian, "Ustadz Bodul" benar-benar menjadi penceramah. Bukan ustadz selebriti, tapi ustadz kampung yang dihormati. Ceramahnya bukan tentang motivasi menjadi kaya, tapi tentang keikhlasan, bakti pada orang tua, dan mencari berkah dalam kesederhanaan. Jamaahnya selalu penuh sesak.
Di salah satu ceramahnya, ia berkata sambil tersenyum, "Dulu, saya seorang pemuda yang angkuh, memimpikan bidadari pagi untuk menyempurnakan dunia saya. Tapi Allah, dengan kasih sayang-Nya, justru menghadiahkan saya seorang bidadari senja. Dia tidak memberiku apa yang aku inginkan, tapi Dia memberiku apa yang aku butuhkan: sebuah pelajaran tentang ketulusan yang nilainya melebihi seluruh harta di dunia."
Di antara jamaah, Sunti menatapnya dengan pandangan penuh kekaguman. Sementara di pojok masjid, Eyang Mudo mengangguk-angguk bijak, seolah-olah semua itu memang bagian dari rencana agungnya sejak awal.