____________________________________
Di tepian Danau Toba yang berkilauan bak permata hijau di pelukan bumi Sumatera, hiduplah seorang Bodul. Bukan Bodul biasa, ia adalah pemuda dengan ambisi setinggi Gunung Semeru dan kepercayaan diri seluas Samudra Hindia, terutama soal ketampanannya. Sejak kecil, ia telah memproklamasikan dirinya sebagai titisan Adonis lokal, meski cermin di rumahnya kerap menunjukkan refleksi yang lebih mirip kentang rebus dengan kumis tipis.
Bodul punya satu cita-cita mulia: menjadi konglomerat dengan cara instan. Setiap pagi, ia akan duduk bersila di bawah pohon mangga keramat, dekat persimpangan jalan menuju Balige, menanti wangsit. Wangsit itu, katanya, akan datang dari Maha Guru Abah Jenggot Kusut, sesepuh yang konon sakti mandraguna, mampu mengubah daun menjadi uang.
Padahal, Abah Jenggot Kusut hanyalah seorang kakek yang hobinya bergumam sendiri, sesekali melempar kerikil ke arah bebek yang lewat, dan koleksi jenggotnya memang benar-benar kusut masai. Namun bagi Bodul, Abah adalah mercusuar kebijaksanaan.
"Abah!" seru Bodul suatu sore, matanya berbinar penuh harap. "Kapan hamba bisa kaya tujuh turunan tanpa kerja keras?"
Abah Jenggot Kusut meliriknya dengan mata yang berkedip tak sinkron. "Dengar, cucuku," katanya sambil membersihkan upil di ujung tongkatnya.
"Rezeki itu seperti ikan gabus. Dia ada, tapi kau harus mancingnya dengan jala emas. Jala emas itu adalah... keripik singkong buatan Mak Ijah.
Resepnya kuno, rezekinya kenceng!"
Bodul mengangguk-angguk serius, mencatat setiap patah kata Abah. Malam itu, ia langsung bergerilya mencari Mak Ijah dan resep keripik singkongnya. Ia yakin, inilah gerbang menuju kesugihan hakiki.
Waktu berlalu, tahun berganti. Bodul memang menjadi sugih. Bukan dari keripik singkong Mak Ijah (yang ternyata rasanya biasa saja), melainkan dari bisnis e-commerce aneh yang menjual “Jimat Ketampanan Instan” dengan gambar dirinya sebagai model utama.
Anehnya, jimat itu laku keras, terutama di kalangan ibu-ibu sosialita yang mendambakan suami lebih rupawan. Keuntungan Bodul melambung, ia membangun villa megah di tepi Danau Toba, lengkap dengan kolam renang berbentuk angka delapan dan patung dirinya sendiri di gerbang utama.
Namun, di puncak kejayaannya, hati Bodul justru gersang. Ia rindu masa-masa bodohnya, rindu Danau Toba yang tenang, rindu aroma kopi di warung pojok, bahkan rindu celotehan Abah Jenggot Kusut. Suatu sore, saat memandang pantulan wajahnya di kolam renang, ia merasa kesepian. "Apakah ini harga ketampanan?" gumamnya dramatis.
Tiba-tiba, suara nyaring memecah keheningan. "Woi, Cucu Bodul! Jangan melamun kayak ayam sakit! Bayar utang arisanmu!"
Bodul menoleh. Di gerbang villanya, berdiri seorang nenek bertubuh ringkih, dengan balutan kebaya lusuh dan senyum penuh gigi ompong. Matanya berbinar nakal, persis seperti mata seorang gadis muda yang dulu sering ia goda di pasar. Jantung Bodul berdebar.
"Nenek... Nenek siapa?" tanyanya ragu.
Nenek itu tertawa renyah, tawa yang entah mengapa terasa begitu akrab di telinga Bodul.
"Dasar kau, anak muda! Sudah kaya kok jadi pikun? Aku ini Inong Butet! Dulu, kau bilang mau kawiniku kalau sudah kaya raya, biar anak kita setampan dirimu!"
Darah Bodul berdesir. Inong Butet! Cinta monyetnya di masa remaja, gadis Batak yang manis dengan lesung pipi dan tawa membahana.
Kini ia seorang nenek, namun kilauan di matanya masih sama. Rasa nostalgia menyeruak, membanjiri Bodul dengan gelombang kehangatan yang tak pernah ia rasakan dari tumpukan uangnya.
"Inong Butet?" Bodul mendekat, matanya berkaca-kaca. "Kau... kau masih ingat?"
"Tentu saja! Ingatanku tajam seperti pisau daging! Makanya kau itu jangan sombong mentang-mentang kaya!" balas Inong Butet sambil menepuk lengan Bodul.
Mulai hari itu, Bodul dan Inong Butet sering menghabiskan waktu bersama. Mereka berbagi cerita, tawa, dan sesekali Inong Butet akan mengingatkan Bodul tentang kenakalan-kenakalan masa mudanya.
Suatu hari, saat mereka sedang menyeruput kopi susu di beranda villa, Inong Butet tiba-tiba berujar, "Cucu Bodul, Inong ini sudah tua. Uang pensiun tak seberapa. Kau ada kerjaan sampingan untuk Inong?"
Bodul tertegun. Nenek ini, mantan cinta pertamanya, ingin order padanya? Sebuah ide jenius melintas di benaknya, terinspirasi dari pengalaman masa lalunya yang konyol.
"Tentu saja, Inong!" seru Bodul penuh semangat. "Bagaimana kalau Inong jadi duta produk terbaru saya: 'Minyak Rambut Anti Uban Sakti Mandraguna'? Dengan foto Inong dan Abah Jenggot Kusut sebagai modelnya. Saya jamin, penghasilan Inong akan lebih besar dari uang pensiun sepuluh tahun!"
Inong Butet tertawa terbahak-bahak, "Kau ini memang Bodul yang tidak ada duanya! Baiklah! Tapi kalau rambutku tidak hitam lagi, kau kutampol pakai centong nasi!"
Sejak saat itu, Inong Butet dan Abah Jenggot Kusut (yang dijemput paksa dari bawah pohon mangga keramat) menjadi model iklan Minyak Rambut Anti Uban Sakti Mandraguna.
Iklan mereka yang kocak, dengan Abah Jenggot Kusut bergumam tidak jelas dan Inong Butet dengan centong nasi di tangan, langsung viral. Bodul semakin kaya, dan Inong Butet memiliki penghasilan tambahan yang lebih dari cukup.
Setiap sore, mereka berdua akan duduk di tepi danau, memandang senja yang memerah di atas air, sesekali Bodul mencuri pandang ke arah Inong Butet, mengakui bahwa pesona sejati tidak pernah lekang oleh waktu, bahkan jika rambut sudah memutih dan gigi sudah tak lengkap.
Dan tentu saja, Abah Jenggot Kusut tetap setia duduk di bawah pohon mangga, masih dengan jenggot kusutnya, menanti ikan gabus rezeki yang tak kunjung datang.