------------------------------
Mari kita telaah bersama sebuah narasi—yang mungkin lebih tepat dikategorikan sebagai urban legend bernuansa komedi—mengenai genealogi toponimi negeri yang unik, Garagahan. Menurut catatan (yang keabsahannya masih diperdebatkan di kalangan ahli sejarah lokal), negeri ini konon diprakarsai oleh seorang tokoh yang eksentrik sekaligus brilian, yang kita kenal dengan gelar Tuanku Cadiak Pandai Dari Pantai Pasir dan Marapi. Gelar yang sungguh deskriptif dan sedikit hiperbolis, bukan? Seolah-olah beliau ini adalah produk hibrida dari keindahan pesisir dan kearifan pegunungan vulkanik.
Dikisahkan pada suatu masa (entah abad ke berapa, catatan sejarahnya agak absurd), Tuanku Cadiak Pandai ini melakukan sebuah eksperimen sosial—atau mungkin beliau sedang menghindari tagihan kopi di kedai langganannya. Beliau berkeinginan untuk mendirikan sebuah permukiman yang ideal, yang katanya akan menjadi model peradaban masa depan. Dengan semangat seorang ilmuwan yang baru saja menemukan diskon besar alat laboratorium, beliau memilih sebuah lokasi yang—mari kita jujur—agak terpencil dan sepi.
Nah, di sinilah letak anekdotnya. Konon, ketika beliau pertama kali menjejakkan kaki di lokasi tersebut, yang beliau dapati bukanlah tanah subur yang menjanjikan, melainkan hamparan… batu-batu kecil yang berserakan. Saking banyaknya batu-batu itu, setiap kali beliau melangkah, terdengar bunyi “krak… krak…” yang cukup mengganggu konsentrasi saat bermeditasi (konon beliau juga gemar bermeditasi, mungkin untuk mencari ide brilian lainnya, atau mungkin hanya untuk tidur siang tanpa gangguan).
Karena bunyi “krak… krak…” yang terus-menerus itulah, dan mungkin karena beliau sudah kehabisan ide nama yang lebih intelek, Tuanku Cadiak Pandai dengan spontan—dan sedikit frustrasi—berujar, “Baiklah, kalau begitu, negeri ini kita namakan saja… Garagahan! Biar semua orang ingat dengan bunyi batu yang menyebalkan ini!”
Maka, berdirilah negeri Garagahan, yang namanya abadi karena onomatope yang kurang lebih menggambarkan kondisi awal geografisnya. Tentu saja, para pengikut beliau yang saat itu mungkin sedang mengantuk atau terlalu sopan untuk membantah, mengangguk-angguk setuju. Mereka mungkin berpikir, “Sudahlah, yang penting ada nama, bisa buat alamat surat.”
Sungguh sebuah etimologi yang tidak terlalu heroik, bahkan cenderung komikal. Namun, begitulah cerita yang beredar. Sebuah pengingat bahwa kadang-kadang, hal-hal besar—atau setidaknya nama-nama tempat—bisa berawal dari hal yang sepele dan bahkan menjengkelkan. Dan barangkali, inilah yang membuat negeri Garagahan memiliki daya tarik tersendiri, sebuah negeri yang namanya lahir dari bunyi langkah seorang cendekiawan yang menginjak kerikil.
Demikianlah anekdot mengenai asal-usul negeri Garagahan. Sebuah kisah yang mungkin tidak akan kita temukan dalam buku-buku sejarah yang serius, tetapi cukup menghibur untuk kita renungkan di sela-sela perkuliahan yang padat ini. Semoga anekdot ini dapat sedikit menyegarkan pikiran kita.