Malam itu, Uda Buyuang, seorang juragan kontraktor yang lagi naik daun di Padang, iseng ingin ‘menyentuh’ Uni Ani, istrinya. Tapi apa daya, Uni Ani sudah terlelap pulas, bahkan terdengar ngorok halus macam kucing kekenyangan rendang. Uda Buyuang menghela napas. Dulu, waktu masih jadi kuli bangunan proyek jembatan Siti Nurbaya, rasanya tiap malam bisa memeluk Uni Ani, wanita yang membuatnya bahagia walau hidup pas-pasan. Dia bahkan pernah bersumpah di bawah Jam Gadang (dalam hati tentunya) akan membahagiakan Uni Ani seumur hidupnya.
Tapi waktu berjalan, Uda Buyuang yang dulu cuma tukang aduk semen, kini jadi bos besar "Kontraktor Gadang Uda Buyuang & Kawan-Kawan". Proyeknya dari Painan sampai Payakumbuh. Mobilnya Pajero Sport baru, dompetnya tebal macam bantal. Godaan pun datang silih berganti, terutama dari gadis-gadis kamek (cantik) di kantornya yang wangi parfum Eropa, bukan wangi minyak kayu putih macam Uni Ani kalau masuk angin.
Malam itu, sambil memandangi Uni Ani yang tertidur, pikiran jahat mulai merasuki Uda Buyuang. "Waduh, Uni Ani ko lah agak malambuang (agak berisi) badannya, kulik lah ndak samulus paha ayam pop lagi. Kalah jauah dek gadih-gadih kinclong di kantor," gumamnya dalam hati. Keberadaan Uni Ani serasa mengingatkannya pada zaman susah, makan nasi pakai garam.
Dia merasa pernikahan ini sudah sampai di simpang jalan. Dengan gaya sok dermawan, dia transfer Rp 1 Miliar ke rekening Uni Ani. Katanya, buat beli rumah nan rancak (yang bagus) di pusat kota Bukittinggi, biar Uni Ani hidup nyaman. Uda Buyuang merasa sudah jadi pria bertanggung jawab, walau sebenarnya sedang merencanakan ‘pembuangan’ secara halus. Akhirnya, dengan berat hati (pura-pura), dia minta cerai.
Uni Ani duduk di depannya, di ruang tamu gadang mereka. Mendengar alasan Uda Buyuang dengan tenang, matanya tak beriak. Tapi Uda Buyuang, yang sudah 20 tahun makan samba lado buatan Uni Ani, tahu betul, ketenangan itu cuma bungkuih lua (bungkus luar). Di dalamnya, hati Uni Ani pasti remuk redam macam kerupuk jangek diremas. Tiba-tiba Uda Buyuang merasa jadi lelaki durhako bana.
Hari H perpisahan pun tiba. Pagi itu, ada masalah genting di proyek Lubuk Basung, Uda Buyuang terpaksa ke lapangan. "Uni tunggu di rumah dulu yo, siang ambo (saya) pulang, bantu Uni pindahan," katanya sebelum berangkat. Pindah ke rumah baru di Bukittinggi, dan pernikahan 20 tahun mereka putuih di tangah jalan.
Sepanjang pagi, hati Uda Buyuang gelisah bukan main. Entah kenapa, bayangan Uni Ani muda yang membawakannya nasi bungkus saat dia kepanasan di proyek dulu terus muncul. Begitu siang menjelang, dia langsung tancap gas pulang. Sampai di rumah, suasana sepi. Uni Ani sudah pergi.
Di atas meja makan, tergeletak kunci rumah baru di Bukittinggi, buku tabungan berisi Rp 1 Miliar, dan sepucuk surat. Surat pertama dari Uni Ani untuknya selama 20 tahun menikah.
Tulisan tangan Uni Ani agak karuik-karuik (keriting), tapi isinya… Onde mande!
_________________________
11 Mei 1885 M
"Uda Buyuang nan Ambo sayangi,
Ambo lah pai, pulang ka kampuang di Agam. Indak usah dicari.
Sado selimut lah Ambo basuah, lah kariang dijamua di balakang. Ambo latakkan di lamari suok bagian ateh. Beko kalau lah musim dingin atau Uda masuk angin, jan lupo kaluaan.
Sapatu kulik Uda nan tigo pasang tu lah Ambo semir sampai mangkilek. Kalau ado nan cabiak, baok se ka tukang sol sapatu dakek Simpang Alai tu.
Kemeja Uda di lamari bagian ateh, sarawa jo kaos kaki di laci bawah macam biaso.
Kalau bali bareh, jan lupo Bareh Solok nan asli, Uda. Bali di swalayan tu lah, bia ndak kanai nan palsu.
Si Upik nan biaso mambarasiahan rumah datang tiok hari Sabtu. Jan lupo agiah gajinyo akhir bulan. Oiyo, kalau ado baju Uda nan lah sampik atau lah bosan Uda pakai, agiah se ka si Upik tu. Nyo bisa kirim ka kampuangnyo di Pariaman, sanang bana keluarganyo tu.
Nan paliang penting, jan lupo minum ubek lambuang, Uda! Paruik Uda tu sensitif bana dek acok makan dendeng batokok pake lado banyak. Ambo lah titip boli samo kawan nan baru pulang dari Pasa Ateh Bukittinggi, cukuik tu untuak stok satangah taun.
Ciek lai (satu lagi), Uda tu acok bana lupo mambaok kunci rumah. Kunci serep lah Ambo titip ka Pak Satpam komplek, si Malin namanya. Kalau Uda lupo lai, mintak se ka inyo.
Kalau pagi ka pai karajo, jan lupo tutuik jendela kamar, beko kalau hujan badai masuak aia, licin lantai tu, jatuah Uda beko, sia nan ka maubek?
Ambo lah buekan sala lauak jo sambalado tanak kesukaan Uda. Ambo simpan di tuduang saji. Angekkan se kalau ka makan.
Salam sayang,
Ani."
________________________
Setiap kata dalam surat itu terasa seperti puluik-puluik (peluru) yang menembus dada Uda Buyuang. Dia berjalan gontai ke dapur, membuka tudung saji. Benar saja, ada sala lauak dan sambalado tanak yang masih hangat.
Seketika, pikirannya melayang ke 20 tahun lalu. Dia, si kuli dekil, berdiri di antara tiang-tiang beton proyek PLTA Maninjau. Terdengar suara lembut Uni Ani memanggil namanya dari kejauhan, menenteng rantang berisi sala lauak hangat.
Mengingatkannya pada rasa bahagia sederhana setelah melahap habis bekal dari istrinya. Mengingatkannya pada sumpahnya dulu, "Ambo akan buek Uni Ani bahagia!"
Onde mande, salah awak ko! Dapek piti banyak, lupo jo nan di rumah! (Oh Tuhan, salah aku ini! Dapat uang banyak, lupa sama yang di rumah!), batin Uda Buyuang menjerit.
Tanpa pikir panjang, dia berlari menuruni tangga, melompat ke Pajero Sport-nya. Dia menyetir gila-gilaan menuju Stasiun Simpang Haru, Padang. Ngebut macam pembalap liar di By Pass, hampir menyerempet bendi yang sedang santai. Jantungnya berdebar kencang, takut Uni Ani keburu naik kereta Sibinuang menuju Pariaman (transit ke Agam).
Sampai di stasiun, matanya liar mencari. Nah, itu dia! Uni Ani sedang berjalan gontai menuju peron. Uda Buyuang langsung berteriak sekuat tenaga (sambil menahan tangis dan rasa malu):
"OIII, UNI ANIII! KA MA UNI?! PANEEK AWAK KARAJO SATANGAH HARI KO, NASI INDAK ADO DI RUMAH! ISTRI MACAM APO UNI KO?! PULANG KINI JUO! KETERLALUAN!" (Hei, Uni Ani! Mau kemana?! Capek aku kerja setengah hari ini, nasi tidak ada di rumah! Istri macam apa kamu ini?! Pulang sekarang juga! Keterlaluan!)
Uda Buyuang sengaja pasang tampang pamberang (pemarah) paling sangar yang dia bisa, padahal dalam hati sudah dag dig dug takut ditinggal.
Uni Ani terkejut, menoleh. Melihat Uda Buyuang dengan tampang sangar tapi mata berkaca-kaca, dia tak bisa menahan senyum di balik air matanya. Tanpa kata, dia berbalik dan mengikuti suaminya dari belakang. Perlahan, air mata Uni Ani berubah menjadi senyum lega yang mekar.
Dia tidak tahu, Uda Buyuang yang berjalan gagah (padahal lutut gemetar) di depannya itu juga sedang mati-matian menahan tangis. Sepanjang jalan dari rumah ke stasiun tadi, dia ketakutan setengah mati. Takut tidak menemukan Uni Ani, takut kehilangan wanita yang diam-diam merawatnya luar dalam selama 20 tahun ini.
Dia memaki dirinya sendiri, "Buyuang… Buyuang… Pandia bana ang! Alah diagiah nan lamak, dicari juo nan masam!" (Buyuang… Buyuang… Bodoh sekali kamu! Sudah dikasih yang enak, dicari juga yang asam!). Kehilangan Uni Ani terasa seperti kehilangan tulang rusuk, nyilu-nya sampai ke ubun-ubun.
Pengalaman hampir kehilangan ini justru membuat cinta mereka kembali bararak (bersemi) lebih kuat dari sebelumnya.
Hikmah Lucu tapi Dalam:
Sayangilah istri Anda, terutama yang sudah menemani dari zaman makan indomie akhir bulan. Kehilangan istri yang baik itu rasanya lebih nyesek daripada dompet hilang pas tanggal tuo. Istri baik itu ibarat Randang Asli Payakumbuh, prosesnya lama, tapi hasilnya lamak bana dan tahan lama. Jangan sampai pas sudah jadi juragan, malah cari ayam penyet pinggir jalan.
Ingat pesan orang tua:
“Kesetiaan istri diuji saat suami tidak punya apa-apa ( bahkan untuk beli kuota, pulsa), kesetiaan suami diuji saat dia punya segalanya (bahkan bisa beli pabriknya).” Jangan sampai Anda gagal dalam ujian kedua!
___________
By : Karim