```Kamis, 24 Aprl 2025```
■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■
Di jantung Ranah Minang yang kaya akan petatah-petitih, tersembunyilah Nagari Batang Aiu Kelulutan yang tenteram. Namun, ketenteraman itu sedikit terusik semenjak tampuk kepemimpinan dipegang oleh Pak Jamus. Beliau ini bak api dalam sekam, punya ambisi membara namun sayangnya, bagai pungguk merindukan bulan, tak sebanding dengan kemampuannya di bidang pemerintahan.
Modal beliau tak seberapa: sebiji mobil kinclong yang konon katanya "beranak pinak" sendiri, secuil harta pusaka, dan sebongkah ambisi sekeras batu karang, sayangnya berbalut niat kurang elok.
Setiap kali berpidato, Pak Jamus selalu berusaha menyelipkan bahasa kalbu Minang, namun seringkali malah terdengar bagai bunyi gong retak.
Maksud hati ingin terlihat berwibawa, eh, malah mengundang senyum simpul yang berusaha disembunyikan warga.
"Kito musti mancaliakkan program unggulan, supayo nagari kito cako di mato dunia!" begitulah kira-kira sabdanya suatu kali. Padahal, maksudnya 'memperlihatkan' dan 'terkenal', namun entah mengapa terdengar seperti ajakan untuk 'mencolokkan' sesuatu agar nagari jadi 'gagah' di mata dunia. Sontak, alis warga bertautan menahan geli.
Awalnya, warga Nagari Batang Aiu Kelulutan masih berbaik sangka, berpikir mungkin Pak Jamus ini anak baru belajar berjalan. Namun, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, janji-janji manisnya tentang jalan mulus bagai pipi gadis dan irigasi lancar bagai air terjun hanya tinggal angan-angan kosong. Dana nagari yang seharusnya menjadi pelita di kegelapan untuk kemajuan bersama, justru raib bagai ditelan bumi.
Klimaksnya terjadi saat program penyuluhan pertanian digulirkan. Pak Jamus, dengan dada membusung bagai burung merak, ditunjuk sebagai nahkoda. Dana pun mengalir deras bagai sungai musim hujan. Anehnya, batang hidung rombongan penyuluh tak pernah terlihat. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami, tak ada jejak keberangkatan mereka. Rupanya, dana tersebut telah "berpindah tangan" ke kantong pribadi Pak Jamus, entah untuk memupuk ambisinya yang tak berakar itu.
Tak cukup dengan itu, angin kencang kabar tak sedap berhembus. Pak Jamus disinyalir menjual beberapa urat nadi nagari, yakni tanah-tanah ulayat, secara sembunyi-sembunyi, tanpa permisi pada pemilik sah dan tetua bijak nagari. Hal ini bagai petir di siang bolong, menggelegar di telinga seluruh warga Batang Aiu Kelulutan.
Kesabaran warga yang sudah setipis kulit bawang akhirnya pecah. Mereka berkumpul bagai air bah, menghadap para pucuk pimpinan adat, ninik mamak nan arif bijaksana, dan alim ulama suluh nagari untuk menuntut pertanggungjawaban Pak Jamus. Bukti-bukti penyelewengan dana dan penjualan tanah ilegal terbentang bagai permadani, tak bisa lagi disembunyikan di balik awan.
Sidang nagari pun digelar, seperti pengadilan rakyat di bawah langit Batang Aiu Kelulutan. Pak Jamus yang biasanya lincah bagai ikan tapah dalam beretorika, kini hanya bisa terduduk lesu bagai layu sebelum berkembang. Semua pembelaannya terdengar bagai bunyi kentongan sumbing, tak lagi mampu menghipnotis telinga warga. Dulu, mereka tertawa karena keanehan bahasanya, kini tatapan mereka setajam sembilu, penuh kekecewaan dan amarah yang membara dalam diam.
Akhirnya, keputusan pahit diambil. Tongkat kepemimpinan Pak Jamus dicabut bagai mencabut duri dalam daging. Mobil kinclongnya, harta pusakanya, dan ambisi jahatnya yang setinggi gunung tak mampu lagi menyelamatkannya dari rasa malu yang menggerogoti hati.
Sejak saat itu, Pak Jamus hilang ditelan bumi pergaulan. Tak ada lagi sapaan ramah, tak ada lagi ajakan berdiskusi. Keberadaannya sunyi bagai kuburan di malam sepi. Ia menjadi cermin buram bagi siapapun yang bercita-cita menjadi pemimpin hanya bermodal ambisi tanpa bekal kemampuan dan hati yang bersih.
Dari kisah lucu sekaligus memilukan Pak Jamus, warga Nagari Batang Aiu Kelulutan memetik pelajaran berharga. Kepemimpinan sejati bukan tentang kilauan harta atau tingginya jabatan, melainkan tentang ketulusan hati melayani, kecerdasan pikiran dalam bertindak, dan kejujuran bagai emas murni. Pemimpin yang hanya mengandalkan ambisi busuk, ibarat rumah tanpa fondasi, pasti akan roboh dan menanggung malu seumur jagung.
Mereka juga semakin sadar bahwa memilih pemimpin harus teliti bagai menampi beras dan berani menegakkan kebenaran walaupun langit runtuh.
_________
By : Karim