```Cerpen 02 November 2024```
-------------------------------
Zaid adalah seorang pemuda yang dikenal di desanya bukan sebagai kiyai, ustadz, tuanku, atau buya. Dia hanyalah Zaid, seorang pemuda biasa yang menjalani hidup sederhana. Meskipun bukan seorang tokoh agama, Zaid memiliki hati yang tulus dan selalu ingin membantu orang lain. Dari pagi hingga petang, ia sering terlihat membantu tetangga-tetangganya, baik itu menyiapkan sayur di kebun, mengantar anak-anak ke sekolah, atau sekadar mendengarkan keluh kesah orang-orang di sekitarnya.
Suatu hari, Zaid mendengar kabar bahwa di desa sebelah, ada seorang kiyai terkenal yang akan mengadakan ceramah. Kiyai tersebut dikenal sangat berpengaruh dan banyak orang datang untuk mendapatkan ilmu darinya. Zaid, yang penasaran, memutuskan untuk hadir dan mendengarkan langsung ceramah tersebut.
Di tengah keramaian, Zaid melihat kiyai itu berdiri dengan angkuh, dikelilingi oleh para pengikut setia yang memuja dan mengagungkannya. Dalam hatinya, Zaid merasa ada sesuatu yang kurang. Kiyai itu berbicara tentang pentingnya kerendahan hati dan kesederhanaan, namun sikap dan cara bicaranya justru mencerminkan sebaliknya.
Setelah ceramah selesai, Zaid bertanya kepada seorang pengikut kiyai, “Apakah ini yang diajarkan oleh kiyai kita? Bukankah seharusnya kita saling menghormati, tidak hanya memberi penghormatan kepada seseorang karena jabatannya?”
Pengikut itu terdiam, seolah merenungkan kata-kata Zaid. Zaid melanjutkan, “Di liang lahat, kita semua sama. Kafan adalah teman tidur kita, tanpa memandang jabatan, gelar, atau seberapa banyak ilmu yang kita miliki. Yang terpenting adalah amal dan bagaimana kita memperlakukan orang lain.”
Sejak hari itu, Zaid semakin berkomitmen untuk hidup dengan rendah hati. Ia selalu mengingat bahwa menjadi seorang kiyai, buya, atau ustadz bukanlah jaminan untuk lebih baik di hadapan Tuhan. Yang terpenting adalah niat dan tindakan kita di dunia ini, bagaimana kita bisa memberi manfaat bagi orang lain, dan bagaimana kita bisa berjalan di atas jalan yang penuh kasih dan pengertian.
Zaid mulai mengajak teman-temannya untuk berbagi ilmu dan pengalaman. Ia menginisiasi kelompok belajar di desanya, di mana setiap orang bisa berbagi pengetahuan tanpa merasa lebih tinggi dari yang lain. Dalam grup itu, semua orang adalah guru dan murid sekaligus. Mereka belajar tentang agama, etika, dan kehidupan dengan cara yang saling menghargai.
Seiring berjalannya waktu, desa Zaid menjadi lebih harmonis. Masyarakat saling mendukung dan membantu satu sama lain. Zaid tidak hanya dikenal sebagai pemuda biasa, tetapi juga sebagai sosok yang menginspirasi, dan ternyata banyak pengetahuan Agamanya hanya mobil yang belum dimilikinya. Dia menunjukkan bahwa setiap orang, terlepas dari status atau gelar, bisa menjadi agen perubahan dengan sikap rendah hati dan rasa empati yang tinggi.
Kisah Zaid mengajarkan kita semua bahwa kerendahan hati adalah kunci untuk meraih keberkahan. Kita mungkin tidak memiliki gelar yang mengesankan, tetapi dengan hati yang tulus dan niat yang baik, kita dapat meninggalkan jejak yang mendalam di hati orang lain. Di akhir perjalanan hidup kita, yang kita bawa bukanlah jabatan atau gelar, melainkan cinta dan kebaikan yang telah kita tanamkan di hati sesama.
____________________________
_Cerpen Ke 313 di Email lama_