Cerpen Sabtu 02 November 2024
--------------------------------------
Di suatu desa kecil yang dikelilingi oleh hutan lebat dan sungai yang dingin, hiduplah seorang pemuda bernama Broi. Ia dikenal sebagai "Broi sang pahlawan egoisme" karena pandangannya yang selalu tertuju pada kepentingan dirinya sendiri.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia memiliki mimpi sederhana: ingin mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara yang mandiri.
Suatu hari, ketika cuaca sangat dingin, Broi terbangun dari tidurnya dan merasa tubuhnya kedinginan. Hujan deras mengguyur desa, membuat tanah licin dan sungai meluap. Namun, perutnya yang keroncongan memaksanya untuk bergerak. Ia tahu bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ia harus berusaha mendapatkan makanan, terutama ikan dari sungai yang biasanya kaya akan hasil tangkapan.
Dengan pakaian yang basah kuyup dan kaki telanjang yang menggigil, Broi melangkah keluar rumah. Setiap tetes air hujan seakan menohok kulitnya, menjadi pengingat betapa sulitnya hidup. Namun, semangatnya tak pudar. Ia terus melangkah ke tepi sungai, tempat di mana ia biasanya menangkap ikan.
Sesampainya di tepi sungai, Broi melihat air yang mengalir deras. Ia tahu bahwa hari ini akan sangat sulit, tetapi ia tidak mau menyerah. Dengan penuh tekad, ia merunduk dan mulai meraba-raba di dalam air.
Menangkap ikan bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi dalam kondisi cuaca yang tidak bersahabat ini.
Waktu berlalu, dan Broi merasakan lelah yang luar biasa. Tubuhnya menggigil semakin kencang, tetapi ia terus mencoba. Setiap kali ia merasakan gerakan, hatinya berdebar. Namun, semua usaha itu tampak sia-sia. Ia tidak mendapatkan satu pun ikan. Air yang dingin seakan menghisap semua semangatnya.
Dalam keputusasaannya, Broi teringat akan cerita orang-orang tua di desanya yang sering mengajarkan pentingnya berbagi. Ia teringat pada seorang nenek yang sering membagikan ikan tangkapannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Seketika itu, pandangan egoisnya mulai goyah. Jika nenek itu bisa berbagi meski hidupnya serba kekurangan, mengapa ia tidak?
Dengan tekad baru, Broi memutuskan untuk berusaha lebih keras. Ia mulai mencari cara lain, mungkin dengan membuat jaring dari dedaunan dan ranting.
Ia mengumpulkan semua bahan yang ada di sekitarnya, merangkai jaring sederhana yang mungkin bisa membantunya menangkap ikan.
Setelah berjam-jam mencoba, akhirnya jaringnya berhasil menangkap sepotong ikan kecil. Ia melompat penuh kegembiraan, air matanya bercampur dengan hujan.
Namun, saat ia melihat ikan itu, teringatlah ia pada nenek itu. Tiba-tiba, rasa egoisnya tergerus oleh rasa haru. "Sebesar apapun masalahku, aku tidak sendirian. Ada banyak orang di luar sana yang juga membutuhkan," pikirnya.
Ternyata, dengan menciptakan jaring dan berusaha lebih keras lagi, Broi tidak hanya mendapatkan ikan untuk dirinya, tetapi juga bertekad untuk membagikannya kepada yang membutuhkan. Ia pulang dengan membawa ikan kecil itu, dan di tengah perjalanan, ia melihat nenek itu yang duduk sendirian di rumahnya.
Broi mendekati nenek itu dan memberikan ikan yang telah ia tangkap. "Nek, ini untukmu," katanya dengan tulus. Nenek itu terharu, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, nak. Kebaikanmu akan selalu diingat," jawabnya.
Sejak hari itu, Broi tidak lagi dikenal sebagai "sang pahlawan egoisme". Ia menjadi pahlawan bagi desanya, yang berusaha tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Ia belajar bahwa dalam kedinginan dan kesulitan, ada kekuatan yang lebih besar ketika kita berbagi.
Dengan demikian, Broi menemukan makna sebenarnya dari hidup: saling membantu dan mendukung satu sama lain.
_______________
_Edisi tahun ini_