Cerpen Sabtu 02 November 2024
-------------------------------------
Hari itu, matahari bersinar cerah di atas langit Dama Gadang. Setelah mengantar pesanan roti dari Bakkery, langkahku tanpa sadar membawaku ke arah Balai Ahad. Sebuah tempat yang sering kudengar dari teman-temanku, tetapi belum pernah aku kunjungi. Penasaran, aku pun melangkah lebih cepat.
Sesampainya di Balai Ahad, aku disambut oleh pemandangan yang memukau. Pepohonan rindang berjejer rapi di sepanjang jalan, menciptakan suasana sejuk dan nyaman. Aroma segar dari udara dan bunga-bunga yang mekar membuat hatiku berbunga-bunga. Di tengah balai, ada sebuah panggung kecil dengan beberapa pemuda yang sedang berlatih memainkan alat musik tradisional. Suara gamelan berpadu harmonis dengan tawa dan canda para pengunjung.
Aku mengambil tempat duduk di salah satu bangku kayu yang ada di sana. Tidak lama kemudian, seorang lelaki paruh baya mendekatiku. “Selamat datang di Balai Ahad, Nak! Tempat ini selalu ramai di akhir pekan. Apakah kamu baru pertama kali ke sini?” tanyanya ramah.
“Iya, Pak. Baru kali ini saya mampir. Tempatnya indah sekali,” jawabku sambil tersenyum.
Lelaki itu memperkenalkan dirinya sebagai Pak Hasan, pengelola Balai Ahad. Ia bercerita tentang berbagai kegiatan seni dan budaya yang diadakan di sana. “Setiap minggu, kita mengadakan pertunjukan seni, pameran kerajinan tangan, dan berbagai kuliner lokal. Balai Ahad adalah tempat berkumpulnya masyarakat untuk merayakan budaya kita,” ujarnya dengan semangat.
Aku semakin tertarik mendengar ceritanya. Suasana hangat dan keterlibatan masyarakat di sini membuatku merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar. Tak jauh dari tempatku duduk, sekelompok anak-anak sedang bermain, melukis dengan warna-warni ceria di atas kanvas. Tawa mereka mengundang senyum di wajahku.
Pak Hasan mengajak aku berkeliling. Kami menyusuri deretan kios kerajinan tangan yang dipamerkan oleh para pengrajin lokal. Setiap karya memiliki cerita unik, mencerminkan kekayaan budaya daerah. Dari ukiran kayu, tenunan, hingga perhiasan tradisional, semua tampak indah dan istimewa. Aku tidak dapat menahan diri untuk membeli beberapa cinderamata kecil sebagai kenang-kenangan.
Saat senja mulai tiba, langit Dama Gadang berubah warna menjadi oranye keemasan. Suara gamelan semakin merdu, dan orang-orang mulai berkumpul di depan panggung. Ibu-ibu membawa makanan yang mereka siapkan di rumah, dan sekelompok pemuda mulai menari dengan penuh semangat. Suasana di Balai Ahad terasa seperti sebuah festival kecil yang penuh kehangatan dan kebersamaan.
Aku duduk di antara mereka, menikmati setiap momen yang ada. Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Keceriaan di wajah orang-orang di sekitarku membuat hatiku penuh. Aku berpesan dalam hati, bahwa aku harus kembali ke Balai Ahad lagi. Tempat ini bukan hanya tentang keindahan, tetapi juga tentang ikatan yang tercipta antarsesama.
Saat malam semakin larut, aku mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Hasan dan para pengunjung lainnya. Dengan langkah ringan, aku berjalan kembali ke rumah, membawa pulang bukan hanya oleh-oleh, tetapi juga kenangan manis yang takkan pernah terlupakan.
Indahnya Ranah Balai Ahad, sebuah tempat yang menyuguhkan kehangatan, kebersamaan, dan seni budaya dalam setiap sudutnya. Dari hari itu, aku berjanji untuk selalu mengingat, bahwa di Dama Gadang ada sebuah tempat yang selalu siap menyambut siapa saja dengan senyuman dan keindahan.
_____________
_Edisi terbaru_