Babak 1: Pertemuan yang Menentukan
“Nona Belka,” Bu Marni memulai, suaranya sedikit gemetar, “apakah Anda… bersedia memeluk agama Islam? Ini keyakinan mendalam keluarga kami.”
Aku tertegun. Demi Jaka, aku akan melakukan apa pun. Perbedaan kami—dia pribumi, aku keturunan kolonial—bagaikan jurang. Namun cintaku padanya, sejak kecil, tak pernah luntur. Kehidupan tanpanya tak terbayangkan.
Bu Marni mendekat, sentuhannya hangat, namun ragu. “Pahamilah keadaan kami,” katanya lirih.
“Demi Jaka, saya akan menerima apapun,” jawabku, suara saya bergetar karena emosi, namun penuh keyakinan.
Keraguan Bu Marni tampak jelas. Senyumnya dipaksakan, tatapannya penuh pergulatan. Keheningan mencekam. “Kenapa diam, Nona?” tanyanya, sedikit mendesak.
Air mataku jatuh seperti hujan yang membasahi tanah kering. Bayangan kehilangan Jaka menusuk—sebuah luka menganga di hatiku, yang tak akan pernah sembuh sepenuhnya.
“Kami bukan keluarga berada,” Bu Marni melanjutkan, suaranya hampir tak terdengar, “Anda cantik, keturunan bangsawan. Carilah pria yang sepadan. Anda akan lebih bahagia.”
Kata-katanya—pukulan telak. Air mataku mengalir deras. Aku berbalik, ingin pergi. Tapi rasa penasaran menahan. Ada yang tersembunyi.
“Nona Belka…” Suaranya memanggilku, penuh keraguan.
Aku berbalik. Kesedihan di matanya yang berkaca-kaca. “Ada apa lagi?” tanyaku, suara bergetar.
“Nona Belka, aku ingin memberitahumu sesuatu…” Suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
“Tidak perlu, Bu,” kataku, suara serak karena tangis. “Saya… kira saya sudah tahu.” Keraguan mengguncangku. Apakah aku benar-benar tahu?
Aku pergi, meninggalkan rumah Bu Marni. Langkahku berat, penuh pertanyaan. Hanya pada Jaka, di ladang teh, aku akan menceritakan semuanya.
Babak 2: Di Tengah Ladang Teh
Udara sejuk perkebunan teh membasahi kulitku, aroma tanah basah dan dedaunan hijau seharusnya menenangkan, tapi debaran jantungku tak terkendali. Sinar matahari pagi menyinari dedaunan teh yang hijau, dan gemerisik daun teh seakan mengiringi kekacauan yang menguasai pikiranku. Perbukitan hijau yang luas, biasanya menenangkan, hari ini terasa sunyi, mencerminkan perasaan hampa yang mencengkeramku.
Aku memanggilnya, "Jaka..." Suaraku nyaris tak terdengar di antara gemerisik daun teh.
Dia menoleh, senyumnya—yang biasanya begitu ceria—memudar, diganti ekspresi yang sulit kubaca. "Belka..."
Kami bertemu di tengah ladang teh. Aroma teh yang khas, tanah yang lembab, angin sepoi-sepoi—seharusnya menyegarkan—tapi kecemasan mengikat tenggorokanku. Aku memeluknya erat, mencari ketenangan yang tak kunjung datang. Pelukannya terasa dingin, jauh.
"Aku mencintaimu, Jaka. Jangan tinggalkan aku," bisikku, suara bergetar, dipenuhi keputusasaan yang menggigit. Air mata mulai membasahi pipiku, terasa asin di kulitku.
Jaka mengusap rambutku, sentuhannya lembut, tapi ada jarak di antara kami, jarak yang lebih dalam dari jarak fisik. "Ada apa, Belka? Kenapa tiba-tiba?" suaranya terdengar khawatir, tapi ada sesuatu yang disembunyikan di balik kekhawatiran itu.
"Ibumu… Ibumu memintaku mencari pria lain," tangisku pecah, tak tertahankan. Kesedihanku bercampur dengan aroma tanah dan teh, menciptakan rasa pahit yang menyesakkan. "Tolong, bicaralah pada Ibumu. Tolong, Jaka."
Jaka melepaskan pelukanku. Jarak di antara kami tiba-tiba terasa sangat lebar, seperti jurang yang tak mungkin dijembatani. "Aku juga mencintaimu, Belka. Tapi ada hal yang harus kau tahu…" Suaranya berat, menahan sesuatu yang besar, sesuatu yang menakutkan.
"Apa?" Aku mendesaknya, kecemasan menggerogotiku, seperti ulat yang memakan daun teh di sekitarku.
"Tidak sekarang, kau belum siap," Jaka menggeleng, matanya dipenuhi kesedihan yang dalam, kesedihan yang lebih dari sekadar kekhawatiran.
"Katakan sekarang!" Aku memohon, putus asa. Aku meraih tangannya, tapi dia menariknya pergi.
Jaka tampak menatapku dalam-dalam, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu, terbelenggu oleh sesuatu yang tak terlihat. "Pulanglah, Belka. Besok kita berjumpa lagi di sini. Aku akan bicara pada Ibu." Kata-kata itu, yang seharusnya menenangkan, terdengar seperti ancaman, menambah keputusasaan yang telah membanjiri hatiku. Aku berbalik, langkahku berat, meninggalkan Jaka di tengah ladang teh yang kini terasa begitu sunyi dan hampa.
Babak 3: Konsekuensi Pilihan
Kecemasan menggerogotiku, bayang-bayang kemarahan Papi seperti ular yang melilit jantungku. Pertemuan dengan Jaka—harapan dan ketakutan bercampur aduk, mencekam—menghantui pikiranku. Aku ingin mendekat, tapi rasa khawatir itu bagai tembok yang tak bisa kurebut.
Di perkebunan teh, tempat kita sepakat bertemu, aku menemukan Jaka. Wajahnya tegang, tapi senyumnya—walau tipis—menenangkanku sejenak. “Aku siap, Belka,” bisiknya, memelukku erat. “Tapi tak ada jaminan, kau tahu.” Kejujurannya, polos dan tanpa beban, justru melegakan.
“Aku juga,” bisikku, membalas pelukannya. Pelukan yang terasa seperti perpisahan terakhir.
Di rumah Papi, suasana mencekam. Udara seakan membeku, berat. Jaka menyatakan niatnya dengan suara mantap, meskipun sedikit gemetar: “Tuan Dendrick, saya ingin meminang Belka. Ibu saya telah memberikan restu.”
Papi menatap Jaka tajam, tatapannya menusuk seperti pisau beracun. “Kau berani?” Suaranya dingin, penuh ancaman. Suasana tegang sampai bisa diraba.
Jaka, meski gemetar, tetap teguh. “Saya mencintainya, Tuan. Dan saya berjanji akan menjaganya, sekuat tenaga saya.”
Papi mendengus, mengejek. “Buruh teh! Kau tahu, kau tak pantas untuknya! Lihatlah rumah ini, kekayaan kita! Kau hanya akan membuatnya menderita!” Ia menunjuk sekeliling ruangan yang mewah, menonjolkan jurang perbedaan antara mereka.
Air mata mengancam jatuh, tapi aku teguh. Aku tak akan membiarkan Papi menghancurkan kebahagiaanku. “Papi, aku mencintainya! Cinta bukan soal kekayaan, Papi! Itu soal hati!” Suaraku bergetar, tapi aku berusaha agar tetap terdengar lantang.
Papi membentak, wajahnya memerah menahan amarah. “Diam! Kau tidak mengerti apa-apa! Kau anak manja yang hanya memikirkan perasaan sendiri!”
Jaka, dengan suara tenang namun penuh tekad, mencoba membela. “Saya akan bekerja keras, Tuan. Saya akan membuktikan bahwa saya mampu memberikan kebahagiaan untuk Belka. Saya akan bekerja keras untuk masa depan kami.”
Papi tertawa sinis, mengejek usaha Jaka. “Omong kosong! Kekayaan dan kedudukan jauh lebih penting daripada cinta murahanmu itu!”
Aku menarik napas panjang, melepaskan genggaman Jaka. Aku tahu konsekuensinya, tapi tak ada jalan mundur. Aku memberontak melawan kehendak Papi. Jaka, aku akan tetap menikah denganmu, apapun yang terjadi.
Wajah Papi memerah. Kemarahannya meledak. “Baiklah! Jika itu maumu! Tapi kau bukan anakku lagi!” Ia berbalik ke Jaka, suaranya menggelegar. “Dan kau, Jaka! Kau akan menyesal atas keputusanmu ini!” Aku merasakan jantungku berdebar kencang.
Jaka tampak menahan amarah selama ini. Lalu, tiba-tiba, ia meledak. “Saya sudah berusaha sebaik mungkin, Tuan. Dan saya tidak akan menyesal! Ladang teh yang kau kuasai sekarang, itu milik ayah saya! Kau merebutnya dengan kelicikan!” Aku melihat api kemarahan membara di matanya.
Papi kalap. Ia memukul Jaka dan memerintahkan anak buahnya untuk memenjarakannya, dengan ancaman hukuman gantung keesokan harinya.
“Papi, jangan!” teriakku, berusaha menghalangi. “Lepaskan dia, Papi! Tolong!”
Papi mengabaikan permohonanku. Aku dijatuhkan, Jaka diseret pergi. Ini bukan hanya soal cinta, tetapi ketidakadilan yang nyata. Kelicikan Papi membuatku terkejut dan kecewa mendalam.
Malam itu, aku menyelinap ke penjara. Bau pengap dan anyir menusuk hidungku. Aku menemukan Jaka dan membantunya melarikan diri. Teriakan dan langkah kaki mengejar kami, namun kami berhasil menghilang dalam kegelapan. Dentuman senapan—Jaka tertembak.
“Papi!” teriakku, putus asa, suara penuh kepedihan.
Di tepi sungai yang dingin, aku memeluknya erat, berusaha menghentikan pendarahan. Jauh dari desa, di bawah langit gelap, Jaka menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukanku. Air mata membasahi pipiku saat ia berbisik, “Belka... maafkan aku... takdir berkata lain... Tetapi, tetaplah hidup, panjang umur, menikahlah dengan pria yang kau cintai, dan raihlah kebahagiaanmu...”
Meskipun takdir memisahkan aku dan dia, cintaku padanya abadi. Suatu hari nanti, aku akan menemukan kebahagiaan—kebahagiaan yang juga ia impikan untukku.
Babak 4: Kenangan di Jembatan Gantung
Delapan puluh lima tahun kemudian, aku, Belka, seorang wanita berusia seratus dua tahun, berdiri di atas jembatan gantung baru. Jembatannya berbeda, tentu saja, tapi angin yang berhembus dan pemandangan sungai di bawahnya masih terasa sama. Tangan renta menggenggam erat tangan Janine, cucuku. Rambut pirang panjang dan mata birunya mengingatkan masa muda.
Janine meremas tanganku. “Ceritakan lagi masa mudamu, Oma,” bisiknya.
Aku tersenyum lemah. “Banyak cerita, Janine,” suaraku serak. “Tentang Jaka... cinta pertama yang membekas. Ibu Marni, pengasuhku, meninggal dua tahun setelah kepergian Jaka, meninggalkan kesedihan mendalam.” Aku menceritakan kisahku dengan Jaka, dan kehilangan Ibu Marni, kepada Janine, cucu kesayanganku. Aku menikah dengan seorang pria Belanda.
Aku pulang, dengan langkah tertatih dibantu tongkat dan Janine. Di Nusantara, masa kecil dan cinta pertamaku berlalu. Kenangan Jaka dan kesedihan kehilangan Ibu Marni tetap abadi. Aku menepati janji: membina keluarga penuh cinta dan bahagia, sedikit meringankan duka cita masa lalu.
Malam itu, aku berbaring; Janine duduk di samping ranjang, menggenggam tanganku. Dalam mimpi, Jaka dan aku berdansa di atas awan putih. Meski kenangan menyakitkan, cinta pertama tetap abadi. Cinta keluarga dan cucu-cucu menghangatkan sisa usiaku.